29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:29 AM WIB

Sisa Dana Penanganan Covid 19 di Bali Dipertanyakan

DENPASAR – Persoalan Covid 19 kini tak hanya soal kesehatan, tetapi juga meluas terkait keterbukaan informasi dalam penanganan pandemi yang menghancurkan dunia perekonomian hampir semua sektor ini.

Dapat diketahui, tak sedikit anggaran publik yang sudah dialokasikan untuk penanganan Covid-19 di Indonesia, termasuk di Bali. Pemerintah pusat mengalokasikan sebanyak Rp695,2 triliun.

Demikian juga Pemerintah Provinsi Bali yang mengalokasikan dari sumber APBD sebanyak Rp 756.069.643.295. Dibagi menjadi penanganan kesehatan terkait COVID-19 dengan pagu sebesar Rp 274.769.643.295, penanganan dampak COVID-19 terhadap masyarakat dalam bentuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) dengan pagu sebesar Rp 261.300.000.000, dan penanganan dampak COVID-19 terhadap ekonomi dengan pagu sebesar Rp 220.000.000.000. 

Data itu tercantum dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 15 tahun 2020 tentang percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Namun Pergub ini diubah dua kali.

Pertama, diubah dengan Pergub Nomor 32 Tahun 2020 yang disahkan 25 Juni 2020. Dalam Pergub ini ada tambahan lampiran terkait Petunjuk Teknis (Juknis) Pemanfaatan Dana Desa Adat yang bersumber dari APBD 2020 dalam penanganan Covid-19.

Pemerintah Provinsi Bali mulai tahun 2020 mengalokasikan Dana Desa Adat yang bersumber dari APBD masing-masing sebesar Rp 300 juta kepada 1.493 Desa Adat di Bali yang sudah ditransfer langsung ke rekening masing-masing Desa Adat.

Dari Juknis itu disebutkan pembagian dana tersebut yakni Rp150 juta untuk penanganan Covid, sisanya saldo akhir per Juni tidak ada penjelasannya. Ini yang perlu dipertanyakan.

Kedua, Pergub itu diubah lagi dengan Pergub Nomor 39 Tahun 2020 yang disahkan 6 Agustus 2020. Perubahannya pada penambahan penjelasan di dua pasal, yakni pasal 12 (ayat 2) dan pasal 13 (ayat 3) tentang BST pada kelompok Pekerja Formal dan kelompok Pekerja Informal yang terkena pemutusan hubungan kerja atau yang dirumahkan tanpa dan/atau dibayarkan upahnya dibawah 50 persen (lima puluh persen) dari upah per bulan oleh perusahaan bidang pariwisata, perdagangan dan industri.  Nilainya Rp 6oo ribu sejak Mei-Juli, bisa diperpanjang sampai September.

Mekanisme pemberian (lampiran II Pergub) ini sangat tergantung pada validitas data Dinas Ketenagakerjaan. “Data ini harus dibuka tiap saat agar warga yang berhak mudah mengecek,” ujar Seira Tamara, salah satu pemantau dari alumni Sekolah Antikorupsi (Sakti) Bali.

Jaringan pemantauan bansos dan pengadaan barang dan jasa di Bali terdiri dari BaleBengong, Sakti Bali, AJI Denpasar, dan LBH Bali.

Ni Kadek Vany Primaliraning, Direktur LBH Bali menilai perubahan dalam jangka waktu sebulan dari perubahan kedua sampai ketiga ini menunjukkan ketergesaan dan minimnya sosialisasi. Selain itu, ada dugaan cacat hukum karena distribusi bantuan disebutkan sejak Mei, padahal kedua regulasi disahkan setelah Mei (akhir Juni dan awal Agustus).

Dalam pasal 6 peraturan tersebut disebutkan bahwa pemanfaatan realokasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2020 untuk percepatan penanganan Covid-19 harus berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan kepatutan.  Karena itu warga berhak mendapat informasi setiap saat.
Selain itu, dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik disebutkan bahwa “Badan Publik wajib mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.”

Selain Pergub di atas, ada juga regulasi lain yang perlu mendapat pengawasan. Yakni Pergub No. 23 tahun 2020 tentang Pemberian Bantuan Jaring Pengaman Sosial kepada Lembaga/Organisasi dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Provinsi Bali.

Bentuk dan besaran bantuan yang diberikan kepada lembaga/organisasi ini berupa barang kebutuhan dasar dan disalurkan kepada anggotanya tersebut. Bantuan tersebut hanya diberikan satu kali. Bansos ini juga berisiko disalahgunakan di tengah masa Pilkada serentak kali ini, karena itu pemerintah harus memberikan informasi berkala siapa lembaga penerimanya.

Yoyo Raharyo dari AJI Denpasar menyebut kurangnya transparansi data dan informasi terkait penanganan Covid ini. Padahal media berperan sangat vital. “Itu informasi yang bisa disediakan tiap saat. Cara kerja jurnalistik hari ini menggunakan investigasi, padahal (seharusnya) bisa dilakukan dengan liputan biasa,” keluhnya.
Dari sisi pengadaan alat kesehatan, lanjut dia, susah didapatkan informasinya. Misalnya, harga pokok alat rapid test, juga bagaimana proses pengadaannya.

DENPASAR – Persoalan Covid 19 kini tak hanya soal kesehatan, tetapi juga meluas terkait keterbukaan informasi dalam penanganan pandemi yang menghancurkan dunia perekonomian hampir semua sektor ini.

Dapat diketahui, tak sedikit anggaran publik yang sudah dialokasikan untuk penanganan Covid-19 di Indonesia, termasuk di Bali. Pemerintah pusat mengalokasikan sebanyak Rp695,2 triliun.

Demikian juga Pemerintah Provinsi Bali yang mengalokasikan dari sumber APBD sebanyak Rp 756.069.643.295. Dibagi menjadi penanganan kesehatan terkait COVID-19 dengan pagu sebesar Rp 274.769.643.295, penanganan dampak COVID-19 terhadap masyarakat dalam bentuk Jaring Pengaman Sosial (JPS) dengan pagu sebesar Rp 261.300.000.000, dan penanganan dampak COVID-19 terhadap ekonomi dengan pagu sebesar Rp 220.000.000.000. 

Data itu tercantum dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Bali Nomor 15 tahun 2020 tentang percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Namun Pergub ini diubah dua kali.

Pertama, diubah dengan Pergub Nomor 32 Tahun 2020 yang disahkan 25 Juni 2020. Dalam Pergub ini ada tambahan lampiran terkait Petunjuk Teknis (Juknis) Pemanfaatan Dana Desa Adat yang bersumber dari APBD 2020 dalam penanganan Covid-19.

Pemerintah Provinsi Bali mulai tahun 2020 mengalokasikan Dana Desa Adat yang bersumber dari APBD masing-masing sebesar Rp 300 juta kepada 1.493 Desa Adat di Bali yang sudah ditransfer langsung ke rekening masing-masing Desa Adat.

Dari Juknis itu disebutkan pembagian dana tersebut yakni Rp150 juta untuk penanganan Covid, sisanya saldo akhir per Juni tidak ada penjelasannya. Ini yang perlu dipertanyakan.

Kedua, Pergub itu diubah lagi dengan Pergub Nomor 39 Tahun 2020 yang disahkan 6 Agustus 2020. Perubahannya pada penambahan penjelasan di dua pasal, yakni pasal 12 (ayat 2) dan pasal 13 (ayat 3) tentang BST pada kelompok Pekerja Formal dan kelompok Pekerja Informal yang terkena pemutusan hubungan kerja atau yang dirumahkan tanpa dan/atau dibayarkan upahnya dibawah 50 persen (lima puluh persen) dari upah per bulan oleh perusahaan bidang pariwisata, perdagangan dan industri.  Nilainya Rp 6oo ribu sejak Mei-Juli, bisa diperpanjang sampai September.

Mekanisme pemberian (lampiran II Pergub) ini sangat tergantung pada validitas data Dinas Ketenagakerjaan. “Data ini harus dibuka tiap saat agar warga yang berhak mudah mengecek,” ujar Seira Tamara, salah satu pemantau dari alumni Sekolah Antikorupsi (Sakti) Bali.

Jaringan pemantauan bansos dan pengadaan barang dan jasa di Bali terdiri dari BaleBengong, Sakti Bali, AJI Denpasar, dan LBH Bali.

Ni Kadek Vany Primaliraning, Direktur LBH Bali menilai perubahan dalam jangka waktu sebulan dari perubahan kedua sampai ketiga ini menunjukkan ketergesaan dan minimnya sosialisasi. Selain itu, ada dugaan cacat hukum karena distribusi bantuan disebutkan sejak Mei, padahal kedua regulasi disahkan setelah Mei (akhir Juni dan awal Agustus).

Dalam pasal 6 peraturan tersebut disebutkan bahwa pemanfaatan realokasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2020 untuk percepatan penanganan Covid-19 harus berdasarkan prinsip efisien, efektif, transparan, akuntabel, dan kepatutan.  Karena itu warga berhak mendapat informasi setiap saat.
Selain itu, dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik disebutkan bahwa “Badan Publik wajib mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum.”

Selain Pergub di atas, ada juga regulasi lain yang perlu mendapat pengawasan. Yakni Pergub No. 23 tahun 2020 tentang Pemberian Bantuan Jaring Pengaman Sosial kepada Lembaga/Organisasi dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Provinsi Bali.

Bentuk dan besaran bantuan yang diberikan kepada lembaga/organisasi ini berupa barang kebutuhan dasar dan disalurkan kepada anggotanya tersebut. Bantuan tersebut hanya diberikan satu kali. Bansos ini juga berisiko disalahgunakan di tengah masa Pilkada serentak kali ini, karena itu pemerintah harus memberikan informasi berkala siapa lembaga penerimanya.

Yoyo Raharyo dari AJI Denpasar menyebut kurangnya transparansi data dan informasi terkait penanganan Covid ini. Padahal media berperan sangat vital. “Itu informasi yang bisa disediakan tiap saat. Cara kerja jurnalistik hari ini menggunakan investigasi, padahal (seharusnya) bisa dilakukan dengan liputan biasa,” keluhnya.
Dari sisi pengadaan alat kesehatan, lanjut dia, susah didapatkan informasinya. Misalnya, harga pokok alat rapid test, juga bagaimana proses pengadaannya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/