27 C
Jakarta
20 November 2024, 23:47 PM WIB

EBT Sulit Terwujud, Target Bali Wujudkan Green Province Terancam

DENPASAR – Upaya Pemprov Bali mewujudkan green province, tampaknya, sulit diwujudkan.

Penyebabnya, energi baru terbarukan (EBT) yang menjadi solusi dan selama ini dikampanyekan tersebut masih menemui sejumlah kendala.

Salah satunya karena sistem kelistrikan EBT sangat mahal. Tidak efisien. Pengamat Kelistrikan Universitas Udayana Prof Ir Ida Ayu Dwi Giriantari mengatakan,

Bali sebenarnya memiliki beberapa potensi energi yang mampu dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik.

Seperti matahari yang bisa dinikmati sepanjang tahun. Dengan potensi tersebut, sinar matahari paling layak dan tepat dijadikan sumber pembangkit listrik.

Namun masalahnya, biaya produksi untuk mengubah panas matahari menjadi listrik cukup mahal. Produksi tenaga listrik juga tidak maksimal karena sangat bergantung dengan keadaan matahari.

“Jadi produksi siang hari dengan panas matahari penuh berbeda dengan pagi hari yang panas matahari belum maksimal,” katanya.

“Sedangkan kalau pembangkit yang digunakan PLN selama ini menghasilkan daya yang sama sepanjang hari (24 jam),” imbuhnya.

Disamping itu, lahan yang dibutuhkan cukup banyak. Dia menjelaskan, Bali sebenarnya memiliki pembangkit tenaga surya.

Salah satunya ada di kawasan Kubu, Bangli. Untuk menghasilkan daya 1 MW, membutuhkan lahan sebanyak 1,2 hektare.

Itu artinya, untuk menghasilkan tenaga listrik 1.000 MW, dibutuhkan lahan seluas 1.000 hektare. Dan dari segi biaya, per kWh EBT ini sekitar Rp 3.000, sedangkan harga listrik PLN saat ini rata-rata Rp 1.350 per kWh.

“Tentu PLN tidak mau membeli listrik di atas harga penjualan. Investor juga tidak mau rugi menginvestasikan dananya disana,” ujarnya.

Ada potensi lain yang bisa digunakan. Yakni membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Namun, pembangunan PLTA tidak bisa dilakukan di Bali.

Pasalnya, banyak sungai di Bali dijadikan objek wisata. Beberapa sungai yang dibendung memang bisa menghasilkan listrik.

Tapi, hanya untuk masyarakat sekitar. Tidak bisa dieksploitasi untuk kepentingan masyarakat banyak. Salah satunya yang dikembangkan adalah di Jatiluwih, Tabanan.

Potensi tersebut bukannya tidak menjanjikan. Namun, keberadaannya saat ini masih mahal. Karena itu, dia berharap pemerintah memikirkan langkah-langkah untuk mendorong penggunaan EBT di Bali.

Saat ini instansi pemerintahan sudah mulai menggunakan. Seperti penggunaan panel surya yang di pasang di gedung-gedung pemerintahan.

“Kami berharap pemerintah mendorong pihak swasta turut serta untuk melakukan hal ini,” pungkasnya. 

DENPASAR – Upaya Pemprov Bali mewujudkan green province, tampaknya, sulit diwujudkan.

Penyebabnya, energi baru terbarukan (EBT) yang menjadi solusi dan selama ini dikampanyekan tersebut masih menemui sejumlah kendala.

Salah satunya karena sistem kelistrikan EBT sangat mahal. Tidak efisien. Pengamat Kelistrikan Universitas Udayana Prof Ir Ida Ayu Dwi Giriantari mengatakan,

Bali sebenarnya memiliki beberapa potensi energi yang mampu dimanfaatkan sebagai pembangkit tenaga listrik.

Seperti matahari yang bisa dinikmati sepanjang tahun. Dengan potensi tersebut, sinar matahari paling layak dan tepat dijadikan sumber pembangkit listrik.

Namun masalahnya, biaya produksi untuk mengubah panas matahari menjadi listrik cukup mahal. Produksi tenaga listrik juga tidak maksimal karena sangat bergantung dengan keadaan matahari.

“Jadi produksi siang hari dengan panas matahari penuh berbeda dengan pagi hari yang panas matahari belum maksimal,” katanya.

“Sedangkan kalau pembangkit yang digunakan PLN selama ini menghasilkan daya yang sama sepanjang hari (24 jam),” imbuhnya.

Disamping itu, lahan yang dibutuhkan cukup banyak. Dia menjelaskan, Bali sebenarnya memiliki pembangkit tenaga surya.

Salah satunya ada di kawasan Kubu, Bangli. Untuk menghasilkan daya 1 MW, membutuhkan lahan sebanyak 1,2 hektare.

Itu artinya, untuk menghasilkan tenaga listrik 1.000 MW, dibutuhkan lahan seluas 1.000 hektare. Dan dari segi biaya, per kWh EBT ini sekitar Rp 3.000, sedangkan harga listrik PLN saat ini rata-rata Rp 1.350 per kWh.

“Tentu PLN tidak mau membeli listrik di atas harga penjualan. Investor juga tidak mau rugi menginvestasikan dananya disana,” ujarnya.

Ada potensi lain yang bisa digunakan. Yakni membangun pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Namun, pembangunan PLTA tidak bisa dilakukan di Bali.

Pasalnya, banyak sungai di Bali dijadikan objek wisata. Beberapa sungai yang dibendung memang bisa menghasilkan listrik.

Tapi, hanya untuk masyarakat sekitar. Tidak bisa dieksploitasi untuk kepentingan masyarakat banyak. Salah satunya yang dikembangkan adalah di Jatiluwih, Tabanan.

Potensi tersebut bukannya tidak menjanjikan. Namun, keberadaannya saat ini masih mahal. Karena itu, dia berharap pemerintah memikirkan langkah-langkah untuk mendorong penggunaan EBT di Bali.

Saat ini instansi pemerintahan sudah mulai menggunakan. Seperti penggunaan panel surya yang di pasang di gedung-gedung pemerintahan.

“Kami berharap pemerintah mendorong pihak swasta turut serta untuk melakukan hal ini,” pungkasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/