DENPASAR – Tantangan besar dihadapi media massa sebagai pilar demokrasi di Indonesia. Terlebih dunia sedang diguncang pandemi Covid-19.
Dalam berbagai kondisi, pers memiliki arti penting dalam menyebarkan informasi dan berita yang aktual dan faktual.
Beredarnya informasi hoax tentu meresahkan dan mengakibatkan ketidakstabilan dalam suatu negara.
Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia atau AMSI Wilayah Bali I Nengah Muliartha menyatakan, 80 persen masyarakat sangat percaya terhadap informasi yang disebarkan oleh teman dekat dan saudara.
Dan, menurutnya, itu terjadi secara berantai. Muliartha menerangkan masih banyak yang belum bisa membedakan informasi dan berita sehingga latah menyebutkan setiap informasi yang ada itu berita hoax.
Ia menjelaskan, informasi adalah data atau pesan yang belum dikonfirmasi kebenarannya. Jadi, siapapun bisa menyebarkan informasi tapi kebenarannya tidak bisa dijamin.
“Sebelum memilah informasi, banyak juga yang masih belum bisa membedakan informasi dan berita, sehingga latah menyebutkan berita hoax.
Jika dipilah, informasi adalah data atau pesan yang belum dikonfirmasi kebenarannya,” ucap Muliarta, Sabtu (20/3).
Hal ini tentu berbeda dengan berita yang merupakan data dan informasi yang sudah terverifikasi oleh wartawan.
Wartawan yang menulis sekarang juga wajib bersertifikasi. Jadi tidak mungkin ada istilah berita hoax. Kalaupun ada berita yang tidak sesuai fakta itu namanya fake news.
“Jadi, jangan terlalu percaya pada informasi dan bacalah berita dari media mainstream,” cetus pria asal Dawan, Klungkung ini.
Muliartha meminta masyarakat juga berhati-hati ketika membaca berita karena banyak akun medsos ataupun blog yang mengaku media.
Ia menyarankan warganet memeriksa media di web Dewan Pers. “Jika dia benar maka cek susunan redaksi,
kemudian pastikan atau cek apakah sudah terverifikasi oleh Dewan Pers. Karena sekarang sangat mudah bikin web,” terang Muliarta.
Dikonfirmasi terpisah, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Udayana Made Ras Amanda Gelgel mengatakan untuk mempercayai suatu informasi dan berita harus
mengecek siapa narasumbernya apakah berkompeten atau tidak. Baik dari instansi pemerintah maupaun orang yang memiliki kapabilitas.
Media massa memiliki kewajiban memberitakan dengan menerapkan jurnalisme. Tidak dipungkiri informasi cepat beredar karena pesatnya teknologi dan banyaknya media sosial.
Lebih lanjut dijelaskan, jurnalis yang harus mampu mendeteksi apakah informasi benar atau tidak.
“Bagaimana mengetahui atau tidaknya kan melalui proses-proses kinerja jurnalistik. Seperti verifikasi menanyakan kembali informasi yang beredar, harus cover both side dan yang lainnya,” ungkap mantan jurnalis ini.
Ras Amanda menekankan jangan menjadikan akun media sosial sebagai sumber berita.
Menurutnya apabila ada yang menjadikan viral, jurnalis harus menempatkan diri sebagai tempat dimana dapat mengonfirmasi apakah berita tersebut benar atau tidak.
Pewarta harus mendidik masyarakat apa yang viral apa yang dibicarakan oleh akun media sosial tersebut apakah memiliki nilai kebenaran, faktualitas, dan aktualitas.
“Tapi, bukan berarti kita langsung menjudge akun media sosial tidak benar, kita dapat juga menggunakan menjadikan
hal viral itu ide sebuah berita, itu dimungkinkan, perbedaannya kita melakukan praktik jurnalistik,” pungkasnya.