25.2 C
Jakarta
22 November 2024, 6:40 AM WIB

Ini Kunci Redam Berita Hoax; Terapkan Praktik Jurnalistik Secara Ketat

DENPASAR – Tantangan besar dihadapi media massa sebagai  pilar demokrasi di Indonesia. Terlebih dunia sedang diguncang pandemi Covid-19.

Dalam berbagai kondisi, pers memiliki arti penting dalam menyebarkan informasi dan berita yang aktual dan faktual. 

Beredarnya informasi hoax tentu meresahkan dan mengakibatkan ketidakstabilan dalam suatu negara.  

Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia atau AMSI Wilayah Bali  I Nengah Muliartha menyatakan,  80 persen masyarakat sangat percaya terhadap informasi yang disebarkan oleh teman dekat dan saudara.

Dan, menurutnya, itu terjadi secara berantai.  Muliartha menerangkan masih banyak yang belum bisa membedakan informasi dan berita sehingga latah menyebutkan setiap informasi yang ada itu berita hoax. 

Ia menjelaskan, informasi adalah data atau pesan yang belum dikonfirmasi kebenarannya. Jadi, siapapun bisa menyebarkan informasi tapi kebenarannya tidak bisa dijamin. 

“Sebelum memilah informasi, banyak juga yang masih belum bisa membedakan informasi dan berita, sehingga latah menyebutkan berita hoax.

Jika dipilah, informasi adalah data atau pesan yang belum dikonfirmasi kebenarannya,” ucap Muliarta, Sabtu (20/3). 

Hal ini tentu berbeda dengan berita yang  merupakan data dan informasi yang  sudah terverifikasi oleh wartawan.

Wartawan yang menulis sekarang juga wajib bersertifikasi. Jadi tidak mungkin ada istilah berita hoax. Kalaupun  ada berita yang  tidak sesuai fakta itu namanya fake news.

“Jadi, jangan terlalu percaya pada informasi dan bacalah berita dari media mainstream,” cetus pria asal Dawan, Klungkung ini. 

Muliartha meminta masyarakat juga berhati-hati ketika membaca berita karena  banyak akun medsos ataupun blog yang mengaku media.

Ia menyarankan warganet memeriksa  media  di web Dewan Pers. “Jika dia benar maka cek susunan redaksi,

kemudian pastikan atau cek apakah sudah terverifikasi oleh Dewan Pers. Karena sekarang sangat mudah bikin web,” terang Muliarta.

Dikonfirmasi terpisah, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Udayana Made Ras Amanda Gelgel mengatakan untuk mempercayai suatu informasi dan berita harus

mengecek siapa narasumbernya apakah berkompeten atau tidak. Baik dari instansi pemerintah maupaun orang yang memiliki kapabilitas. 

Media massa memiliki kewajiban memberitakan dengan menerapkan jurnalisme. Tidak dipungkiri informasi cepat beredar karena pesatnya teknologi dan banyaknya   media sosial. 

Lebih lanjut dijelaskan, jurnalis yang harus mampu mendeteksi apakah informasi benar atau tidak.  

“Bagaimana mengetahui atau tidaknya kan melalui proses-proses  kinerja jurnalistik. Seperti verifikasi menanyakan kembali informasi yang beredar, harus  cover both side dan yang lainnya,” ungkap mantan jurnalis ini.

Ras Amanda menekankan jangan menjadikan  akun media sosial  sebagai sumber berita. 

Menurutnya apabila ada yang menjadikan viral, jurnalis harus menempatkan diri sebagai tempat dimana dapat mengonfirmasi apakah berita tersebut benar atau tidak.

Pewarta harus  mendidik masyarakat apa yang viral apa yang dibicarakan  oleh akun media sosial tersebut apakah  memiliki nilai kebenaran, faktualitas, dan aktualitas.

“Tapi, bukan berarti kita langsung menjudge akun media sosial tidak benar, kita dapat juga menggunakan menjadikan

hal viral itu ide sebuah berita, itu dimungkinkan, perbedaannya  kita melakukan praktik jurnalistik,” pungkasnya. 

DENPASAR – Tantangan besar dihadapi media massa sebagai  pilar demokrasi di Indonesia. Terlebih dunia sedang diguncang pandemi Covid-19.

Dalam berbagai kondisi, pers memiliki arti penting dalam menyebarkan informasi dan berita yang aktual dan faktual. 

Beredarnya informasi hoax tentu meresahkan dan mengakibatkan ketidakstabilan dalam suatu negara.  

Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia atau AMSI Wilayah Bali  I Nengah Muliartha menyatakan,  80 persen masyarakat sangat percaya terhadap informasi yang disebarkan oleh teman dekat dan saudara.

Dan, menurutnya, itu terjadi secara berantai.  Muliartha menerangkan masih banyak yang belum bisa membedakan informasi dan berita sehingga latah menyebutkan setiap informasi yang ada itu berita hoax. 

Ia menjelaskan, informasi adalah data atau pesan yang belum dikonfirmasi kebenarannya. Jadi, siapapun bisa menyebarkan informasi tapi kebenarannya tidak bisa dijamin. 

“Sebelum memilah informasi, banyak juga yang masih belum bisa membedakan informasi dan berita, sehingga latah menyebutkan berita hoax.

Jika dipilah, informasi adalah data atau pesan yang belum dikonfirmasi kebenarannya,” ucap Muliarta, Sabtu (20/3). 

Hal ini tentu berbeda dengan berita yang  merupakan data dan informasi yang  sudah terverifikasi oleh wartawan.

Wartawan yang menulis sekarang juga wajib bersertifikasi. Jadi tidak mungkin ada istilah berita hoax. Kalaupun  ada berita yang  tidak sesuai fakta itu namanya fake news.

“Jadi, jangan terlalu percaya pada informasi dan bacalah berita dari media mainstream,” cetus pria asal Dawan, Klungkung ini. 

Muliartha meminta masyarakat juga berhati-hati ketika membaca berita karena  banyak akun medsos ataupun blog yang mengaku media.

Ia menyarankan warganet memeriksa  media  di web Dewan Pers. “Jika dia benar maka cek susunan redaksi,

kemudian pastikan atau cek apakah sudah terverifikasi oleh Dewan Pers. Karena sekarang sangat mudah bikin web,” terang Muliarta.

Dikonfirmasi terpisah, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Udayana Made Ras Amanda Gelgel mengatakan untuk mempercayai suatu informasi dan berita harus

mengecek siapa narasumbernya apakah berkompeten atau tidak. Baik dari instansi pemerintah maupaun orang yang memiliki kapabilitas. 

Media massa memiliki kewajiban memberitakan dengan menerapkan jurnalisme. Tidak dipungkiri informasi cepat beredar karena pesatnya teknologi dan banyaknya   media sosial. 

Lebih lanjut dijelaskan, jurnalis yang harus mampu mendeteksi apakah informasi benar atau tidak.  

“Bagaimana mengetahui atau tidaknya kan melalui proses-proses  kinerja jurnalistik. Seperti verifikasi menanyakan kembali informasi yang beredar, harus  cover both side dan yang lainnya,” ungkap mantan jurnalis ini.

Ras Amanda menekankan jangan menjadikan  akun media sosial  sebagai sumber berita. 

Menurutnya apabila ada yang menjadikan viral, jurnalis harus menempatkan diri sebagai tempat dimana dapat mengonfirmasi apakah berita tersebut benar atau tidak.

Pewarta harus  mendidik masyarakat apa yang viral apa yang dibicarakan  oleh akun media sosial tersebut apakah  memiliki nilai kebenaran, faktualitas, dan aktualitas.

“Tapi, bukan berarti kita langsung menjudge akun media sosial tidak benar, kita dapat juga menggunakan menjadikan

hal viral itu ide sebuah berita, itu dimungkinkan, perbedaannya  kita melakukan praktik jurnalistik,” pungkasnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/