DENPASAR – Saat ini daya mampu pasok listrik di Bali adalah 1.320 mega watt (MW). Pada tahun 2025, daya mampu pasok listrik Bali diharapkan mencapai 2.000 MW, di mana setengahnya berasal dari energi terbarukan.
Hal tersebut disampaikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignatius Jonan sebagai saran untuk peningkatan penyediaan energi di Provinsi Bali dengan penggunaan energi bersih.
“Daya mampu Bali saat ini sekitar 1.300 MW. Sampai tahun 2025 kita perkirakan tambah jadi 2.000 MW. Saran saya dua saja.
Pertama, tambahannya itu kan 700 MW. Jadi 350 MW dibangun di provinsi Bali, dan 350 MW lagi dipasok dari Pulau Jawa, dengan Jawa Bali Connection yang 500 kV,” ujar Jonan.
“Harapan saya, 350 MW yang dibangun di Bali ini seluruhnya dari energi baru dan terbarukan (EBT),” ujar Jonan usai menyaksikan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara
Pemerintah Provinsi Bali dengan PT PLN (Persero) terkait Penguatan Sistem Ketenagalistrikan dengan Pemanfaatan Energi Bersih di Provinsi Bali, di Kantor Gubernur Bali, Rabu (21/8) kemarin.
Yang kedua , menurut Jonan, tambahan kapasitas EBT di Bali nanti utamanya dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan penggunaan Crude Palm Oil (CPO) pada Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).
CPO atau yang dikenal sebagai Fatty Acid Methyl Esters (FAME), selain mengurangi impor Bahan Bakar Minyak (BBM), penambahan FAME pada pembangkit juga ramah lingkungan.
“Di Bali saya kira Pembangkit Listrik Tenaga Surya bisa besar. Selain itu, Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) tidak lagi
menggunakan minyak diesel tapi menggunakan minyak Crude Palm Oil (CPO). Itu hitungannya jadi EBT juga,” terangnya.
Sementara itu, Gubernur Bali I Wayan Koster mengatakan bahwa Bali sebagai destinasi wisata dunia memiliki visi yang fokus membangun keseimbangan antara alam, manusia dan budaya yang bersih.
“Dalam rangka pelaksanaan visi ini kami menyiapkan skenario bali mandiri energi dan energinya adalah energi bersih.
Kenapa mandiri energi? Karena Bali adalah tujuan wisata dunia dan energinya harus bersih,” jelas Wayan Koster.
Peningkatan konsumsi listrik di Provinsi Bali sebagai ikon pariwisata Indonesia harus diimbangi dengan infrastruktur ketenagalistrikan yang mumpuni.
Pembangunan pembangkit energi bersih yang mengutamakan pembangkit dari energi baru terbarukan (EBT) di Pulau Dewata juga
perlu penguatan agar sistem kelistrikan menjadi lebih stabil, mengingat karakteristik pembangkit EBT bersifat intermiten.
Untuk itu Pemerintah akan menyatukan sistem kelistrikan Bali dengan sistem di Pulau Jawa, agar layanan listrik lebih andal dan konsisten.
Jonan berharap dengan kerja sama ini dapat meningkatkan pembangunan pembangkit EBT di pulau Bali, mengingat Bali memiliki
berbagai potensi energi pembangkit EBT yang dapat dikembangkan, seperti surya, panas bumi, air, biomassa, angin, hingga arus laut.
Pengembangan ini juga memdorong tercapainya target bauran energi secara nasional dari EBT yang sebesar 23% pada tahun 2025.
Dengan adanya JBC, lanjut Jonan, akan diperoleh manfaat seperti cadangan bersama sistem Jawa Bali, bauran energi dan skala keekonomian, serta Biaya Pokok Penyediaan (BPP)
tenaga listrik yang rendah karena dapat menggunakan PLTU Ultra Super Critical di Jawa dan transmisi JBC 500 kV.
Sebagai informasi, rasio elektrifikasi di Provinsi Bali telah mencapai 100%. Sementara daya mampu pembangkit yang dihasilkan untuk kebutuhan
pasokan listrik Bali sebesar 1.320 mega watt (MW), yang dipasok dari PLTU Celukan Bawang 380 MW, kabel laut Jawa-Bali 400 MW, PLTDG Pesanggaran 182 MW, PLTG Pesanggaran 22 MW dan pembangkit BBM 336 MW.
Di samping pembangunan JBC 500 kV, kerja sama juga memuat rencana pengembangan dan pembangunan infrastruktur Hub LNG dan Terminal LNG di lokasi Gilimanuk, Benoa, dan lokasi lain di Provinsi Bali.
Peningkatan kapasitas jaringan listrik menuju jaringan cerdas (smart grid) untuk mengoptimalkan pemanfaatan dan pembangunan pembangkit EBT di Provinsi Bali juga diminta dapat berjalan dengan sesuai rencana.
Diharapkan seluruh proyek ini cepat terealisasi, sehingga listrik dari energi bersih ini dapat segera dimanfaatkan untuk kendaraan listrik, kompor listrik, dan peralatan lainnya.
“Pemerintah sekarang mendorong penggunaan kompor listrik atau kompor induksi sebagai pengganti kompor Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Dengan energi listrik berasal dari sumber-sumber energi domestik, kompor listrik bisa mengurangi impor LPG yang mencapai 5 juta ton setahun,” pungkas Jonan.