KUTA – Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menerbitkan izin lokasi reklamasi Teluk Benoa jilid III akhir November 2018, menjadi tantangan bagi seluruh desa adat di Bali.
Mantan Koordinator Pasubayan Desa Adat/Pakraman Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa, I Wayan Swarsa berharap komitmen 39 desa adat yang bergabung dalam barisan tolak reklamasi (BTR) tidak berubah.
Dengan kata lain tetap “teguh” mengawal hasil paruman desa adatnya masing-masing yang telah sepakat menolak rencana reklamasi Teluk Benoa.
“Upaya pelemahan desa adat akan, sedang, dan telah dilakukan. Ada upaya penggembosan pasubayan. Sekarang terbukti. Kini, saat saya tidak ada dalam pasubayan,
saya berharap para bendesa adat baru yang tergabung dalam pasubayan tetap teguh memegang hasil rapat,” harap pria asal Banjar Buni, Kuta, Badung tersebut.
Swarsa menilai sudah ada upaya agar para bendesa adat di Bali “tidak aktif” berjuang dalam BTR. Sejak pasubayan dibentuk tahun 2016 silam, diakui Swarsa ada dua karakter yang mencolok.
Pertama, pasubayan adalah wahana berkumpulnya para bendesa adat yang telah mengeluarkan keputusan dalam paruman desa adat untuk menolak reklamasi. Kedua, pasubayan terdiri atas kumpulan banyak individu di luar bendesa adat.
I Wayan Swarsa menilai masyarakat Bali sangat berhak mendesak Gubernur Bali Wayan Koster.
Dikatakannya, publik sudah sangat gamblang mengetahui apa yang dijanjikan oleh politisi kelahiran Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng itu.
“Bukan hanya janji saat Pilgub. Tapi juga setelah menjabat. Dalam konferensi pers tanggal 25 Agustus 2018 yang dihadiri Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama mengatakan
bahwa tidak akan ada reklamasi di Teluk Benoa sekalipun Perpres 51 Tahun 2014 tidak dicabut. Gubernur Bali adalah manggala adat Bali, garda terdepan untuk “menjaga” Bali.
Harus satya wacana. Bila ini tidak berhasil diperjuangkan, apalagi ingkar janji, bagi kami ini berarti I Wayan Koster bukan pemimpin yang bisa diteladani,” tegas Swarsa.
Lebih lanjut, pria yang akhirnya terjun ke dunia politik setelah mendapat restu dari Presiden Joko Widodo itu mengatakan selama 5 tahun terakhir masyarakat Bali telah mendapatkan edukasi alias pembelajaran berharga dari perjuangan BTR.
“Edukasi yang didapat baik dari jalanan, pembelajaran di desa adat masing-masing saya pikir akan membuat perjuangan penolakan rencana reklamasi Teluk Benoa tetap berlanjut. Semangat ini akan membesar,” pungkasnya.
Selain perjuangan di jalanan, Swarsa menekankan penolakan reklamasi Teluk Benoa ini juga sudah saatnya diperjuangkan lewat kursi legislatif.
Berkaca pada pengalaman selama 5 tahun terakhir, Swarsa menyebut dukungan dari para legislator sangat lemah.
“Di tahun politik 2019, ada kesempatan untuk mengubah struktur keanggotaan legislatif baik di tingkat II (kabupaten), tingkat 1 (provinsi),
tingkat pusat (DPR RI), maupun DPD RI. Siapa yang bisa menjamin bahwa di tahun 2019-2024 reklamasi Teluk Benoa ini tidak terjadi?” tanyanya.
Swarsa menegaskan kinilah saatnya masyarakat Bali berpikir cerdas memilih wakil rakyat. “Ini mutlak ada. Kalau tidak akan pincang. Karena pihak eksekutif belum bisa kita pegang dengan baik,
maka di legislatiflah kita mempunyai kesempatan untuk “mendudukan” orang-orang yang tepat. Ini hal strategis untuk memperjuangkan penolakan rencana reklamasi Teluk Benoa sekaligus pencabutan Perpres 51 tahun 2014 “ bebernya. (rba)