25.5 C
Jakarta
21 November 2024, 5:51 AM WIB

Gendo Suardana Heran Banyak yang Nyinyir Pelajar Ikut Demonstrasi

DENPASAR – Demonstrasi terkait penolakan Revisi UU KPK, RKUHP dan lainnya terjadi diberbagai daerah di Indonesia.

Tak terkecuali juga di Pulau Dewata. Bahkan, #BaliTidakDiam terus bergema. Sejumlah kalangan, baik kalangan mahasiswa, aktivis, jurnalis, dan juga masyarakat yang peduli tergabung menjadi satu barisan.

Namun, belakangan, pelajar pun terlihat ikut serta di barisan ini. Keterlibatan para pelajar pun menjadi perdebatan di masyarakat.

Alasannya, selain bentrok antara pelajar dan para aparat yang terjadi, ada pula yang melihat para pelajar ini belum cakap umur, terlebih terkait isu politik.

Menanggapi hal ini, Wayan “Gendo” Suardana, aktivis 98 yang masih konsisten hingga saat ini berada di jalanan bersama masyarakat memiliki pandangan tersendiri.

Kepada radarbali.id (Jawa Pos Grup), Gendo menyebutkan, tak ada persoalan jika para pelajar ini turun aksi.

Begitu juga tak ada aturan terkait cakap umur yang membuat para pelajar ini dilarang untuk aksi. “Itu (cakap umur) rumusannya dimana? Bahkan, kalau kita telisik

secara hukum dan konsitusi, peraturan mana dan bagian mana yang menyatakan ada atasan umur untuk melakukan penyampaian pendapat di muka umum?” singgungnya.

Sepanjang yang diketahui Gendo yang juga sebagai praktisi hukum ini, sama sekali tidak ada aturan yang membatasi umur dalam penyampaian pendapat di muka umum dan juga berbicara pelajar bicara sosial politik.

“Ini kan menyangkut masa depan mereka juga. Bukan hanya pelajar, tetapi juga mereka yang masih bayi dan anak-anak. Nggak ada persoalkan mereka menyampaikan aspirasinya?” ujarnya.

Pria yang sudah “kebal” dengan panasnya aspal jalanan ini menyebut jangan sampai apa yang dilakukan para pelajar ini dimunafikan dan disederhanakan sedemikian rupa,

seolah-olah pelajar karena belum cukup umur sehinggap tidak dianggap belum cakap untuk memahami situasi sosial dan politik.

“Mereka punya cara dan punya kecerdasan untuk melihat persoalan dan merasakan ketidakadilan. Mungkin mereka tidak bisa mengartikulasikan secara detail setiap persoalan,

tetapi mereka mampu mengartikulasikan situasi yang tidak adil seperti yang terjadi sekarang dan mereka harus bergerak,” ujarnya.

Dalam sejarah para pelajar terlibat dalam berbagai aksi-aksi demonstrasi di Indonesia juga cukup panjang. “Jangan seolah-olah kita A Historis (lupa sejarah) soal ini,” ujarnya.

Jika dirunut dari perang kemerdekaan, banyak tentara-tentara pelajar yang terlibat. Waktu itu, kolonial dalam hal ini Belanda juga menyampaikan tudingannya bahwa mereka tidak cakap umur dan tidak tahu apa-apa.

“Tudingan-tudingan negatif dan nyinyir itu kan datangnya dari Belanda dan atau antek-anteknya yang punya kepentingan dengan kolonisasi Belanda. Tapi, kalau bagi bangsa kita, itu kan satu hal yang heroik,” terangnya.

Lanjut di tahun 1960an. Waktu itu ada gerakan yang mengkritisi Presiden Soekarno yang banyak diikuti oleh aksi-aksi pelajar dan bahkan para pelajar yang terorganisir.

Bahkan, partai juga punya ikatan pelajar. Ada juga komite aksi pelajar Indonesia yang juga ikut mengkritisi Presiden Soekarno.

“Yang paling terdekat kalau amnesia, lihat tahun 1998, dua puluh satu tahun yang lalu. Hampir seluruh Indonesia muncul solidaritas dari pelajar, termasuk di Bali,” ujarnya

Pelajar SMA 2, Pelajar Swastiastu dan lainnya, mereka terlibat dalam aksi-aksi dan bergabung dengan mahasiswa. Bahkan mengimpun diri dalam Aliansi Pelajar Indonesia (API).

“Artinya dalam sejarah, termasuk 1998 yang terbaru, mahasiswa, pelajar itu aktif ikut aksi-aksi, baik dalam aksi damai atau aksi yang berakhir ricuh. Lalu apa persoalanya, kok tiba-tiba sekarang banyak yang nyinyir?” ujarnya.

Lanjut Gendo, memang aksi para mahasiswa dan pelajar ini tidak terlalu banyak yang memuji. Banyak yang nyinyir, terutama mereka yang pro terhadap kekuasaan.

Mereka yang menarasikan seolah-olah mahasiswa dan pelajar tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengkritisi sosial dan politik.

“Jika ada teman-teman 98 yang alergi dan nyiyirin pelajar, harusnya cek saja lagi sejarahnya. Refeleksi aja sendiri,” ujarnya.

Jika dikaitkan dengan Undang-undang pemilu, justru itu hal yang berbeda. Jangan dicampur adukan.

Jika aksi-aksi yang dilakukan oleh pelajar ataupun anak kecil ini terkait kampanye politik seperti Pilkada, Pilpres dan lainnya, baru mereka tidak boleh.

“Mereka yang nyinyir, adalah mereka yang kepentingannya terganggu. Cukup banyak juga kawan-kawan saya yang nyinyir,

tapi bagi saya mereka yang nyinyir ini karena kepentingannya tertanggu, kenyamannya yang terganggu,” ujarnya.

Gendo menegaskan, tidak ada persoalan jika pelajar ikut aksi, kecuali konsitusi membatasi hal tersebut.

“Jika ditabrakan dengan UU Perlindungan Anak, kalau anaknya mau gimana? kan nggak ada soal. Yang penting tetap pada koridor yang dijamin oleh konsititusi dan demokrasi,” pungkasnya.

DENPASAR – Demonstrasi terkait penolakan Revisi UU KPK, RKUHP dan lainnya terjadi diberbagai daerah di Indonesia.

Tak terkecuali juga di Pulau Dewata. Bahkan, #BaliTidakDiam terus bergema. Sejumlah kalangan, baik kalangan mahasiswa, aktivis, jurnalis, dan juga masyarakat yang peduli tergabung menjadi satu barisan.

Namun, belakangan, pelajar pun terlihat ikut serta di barisan ini. Keterlibatan para pelajar pun menjadi perdebatan di masyarakat.

Alasannya, selain bentrok antara pelajar dan para aparat yang terjadi, ada pula yang melihat para pelajar ini belum cakap umur, terlebih terkait isu politik.

Menanggapi hal ini, Wayan “Gendo” Suardana, aktivis 98 yang masih konsisten hingga saat ini berada di jalanan bersama masyarakat memiliki pandangan tersendiri.

Kepada radarbali.id (Jawa Pos Grup), Gendo menyebutkan, tak ada persoalan jika para pelajar ini turun aksi.

Begitu juga tak ada aturan terkait cakap umur yang membuat para pelajar ini dilarang untuk aksi. “Itu (cakap umur) rumusannya dimana? Bahkan, kalau kita telisik

secara hukum dan konsitusi, peraturan mana dan bagian mana yang menyatakan ada atasan umur untuk melakukan penyampaian pendapat di muka umum?” singgungnya.

Sepanjang yang diketahui Gendo yang juga sebagai praktisi hukum ini, sama sekali tidak ada aturan yang membatasi umur dalam penyampaian pendapat di muka umum dan juga berbicara pelajar bicara sosial politik.

“Ini kan menyangkut masa depan mereka juga. Bukan hanya pelajar, tetapi juga mereka yang masih bayi dan anak-anak. Nggak ada persoalkan mereka menyampaikan aspirasinya?” ujarnya.

Pria yang sudah “kebal” dengan panasnya aspal jalanan ini menyebut jangan sampai apa yang dilakukan para pelajar ini dimunafikan dan disederhanakan sedemikian rupa,

seolah-olah pelajar karena belum cukup umur sehinggap tidak dianggap belum cakap untuk memahami situasi sosial dan politik.

“Mereka punya cara dan punya kecerdasan untuk melihat persoalan dan merasakan ketidakadilan. Mungkin mereka tidak bisa mengartikulasikan secara detail setiap persoalan,

tetapi mereka mampu mengartikulasikan situasi yang tidak adil seperti yang terjadi sekarang dan mereka harus bergerak,” ujarnya.

Dalam sejarah para pelajar terlibat dalam berbagai aksi-aksi demonstrasi di Indonesia juga cukup panjang. “Jangan seolah-olah kita A Historis (lupa sejarah) soal ini,” ujarnya.

Jika dirunut dari perang kemerdekaan, banyak tentara-tentara pelajar yang terlibat. Waktu itu, kolonial dalam hal ini Belanda juga menyampaikan tudingannya bahwa mereka tidak cakap umur dan tidak tahu apa-apa.

“Tudingan-tudingan negatif dan nyinyir itu kan datangnya dari Belanda dan atau antek-anteknya yang punya kepentingan dengan kolonisasi Belanda. Tapi, kalau bagi bangsa kita, itu kan satu hal yang heroik,” terangnya.

Lanjut di tahun 1960an. Waktu itu ada gerakan yang mengkritisi Presiden Soekarno yang banyak diikuti oleh aksi-aksi pelajar dan bahkan para pelajar yang terorganisir.

Bahkan, partai juga punya ikatan pelajar. Ada juga komite aksi pelajar Indonesia yang juga ikut mengkritisi Presiden Soekarno.

“Yang paling terdekat kalau amnesia, lihat tahun 1998, dua puluh satu tahun yang lalu. Hampir seluruh Indonesia muncul solidaritas dari pelajar, termasuk di Bali,” ujarnya

Pelajar SMA 2, Pelajar Swastiastu dan lainnya, mereka terlibat dalam aksi-aksi dan bergabung dengan mahasiswa. Bahkan mengimpun diri dalam Aliansi Pelajar Indonesia (API).

“Artinya dalam sejarah, termasuk 1998 yang terbaru, mahasiswa, pelajar itu aktif ikut aksi-aksi, baik dalam aksi damai atau aksi yang berakhir ricuh. Lalu apa persoalanya, kok tiba-tiba sekarang banyak yang nyinyir?” ujarnya.

Lanjut Gendo, memang aksi para mahasiswa dan pelajar ini tidak terlalu banyak yang memuji. Banyak yang nyinyir, terutama mereka yang pro terhadap kekuasaan.

Mereka yang menarasikan seolah-olah mahasiswa dan pelajar tidak mempunyai kemampuan yang cukup untuk mengkritisi sosial dan politik.

“Jika ada teman-teman 98 yang alergi dan nyiyirin pelajar, harusnya cek saja lagi sejarahnya. Refeleksi aja sendiri,” ujarnya.

Jika dikaitkan dengan Undang-undang pemilu, justru itu hal yang berbeda. Jangan dicampur adukan.

Jika aksi-aksi yang dilakukan oleh pelajar ataupun anak kecil ini terkait kampanye politik seperti Pilkada, Pilpres dan lainnya, baru mereka tidak boleh.

“Mereka yang nyinyir, adalah mereka yang kepentingannya terganggu. Cukup banyak juga kawan-kawan saya yang nyinyir,

tapi bagi saya mereka yang nyinyir ini karena kepentingannya tertanggu, kenyamannya yang terganggu,” ujarnya.

Gendo menegaskan, tidak ada persoalan jika pelajar ikut aksi, kecuali konsitusi membatasi hal tersebut.

“Jika ditabrakan dengan UU Perlindungan Anak, kalau anaknya mau gimana? kan nggak ada soal. Yang penting tetap pada koridor yang dijamin oleh konsititusi dan demokrasi,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/