29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:06 AM WIB

Pameran di Rumah, Cara Perempuan Terdampak Skizofrenia Berekspresi

DENPASAR – Sejumlah relawan pewarta warga dan perempuan terdampak skizofrenia menghelat pameran karya di rumah.

Ini kelanjutan dari kampanye publik menyuarakan perjuangan mereka dalam memulihkan diri dari skizofrenia, mengakses layanan psikososial, dan mendampingi keluarga mereka.

Kampanye ini bertajuk Kami Bersuara Kami Mendengar. Dimulai dari Kelas Jurnalisme Warga bersama orang dengan skizofrenia (ODS) dan keluarganya di Rumah Berdaya (RB)-Kelompok Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Bali, Denpasar.

Di pertemuan ini, untuk pertama kali para penyintas ODS dan keluarganya, khusus perempuan bertemu dan saling merekam cerita perjuangan masing-masing.

Pertemuan ini difasilitasi psikiater seperti dr. Rai dan dr. Yudi, bidan, Koordinator Rumah Berdaya-KPSI Bali, dan media jurnalisme warga Balebengong.id.

Setelah itu mereka menuliskan ceritanya di sebuah buku harian, ada juga yang merekam cerita temannya, dan kemudian disalin oleh relawan pewarta warga.

Di sisi lain ada anak-anak muda yang tertarik merekam lewat foto dan video pendek. Kolaborasi ini adalah cara belajar memahami persoalan gangguan kejiwaan dan skizofrenia lebih dekat dari penyintasnya.

D. Rai, psikiater yang merintis RB-KPSI Bali mengatakan, walau jumlah pasien laki dan perempuan sama, tapi kehadiran perempuan di layanan psikoedukasi minim dengan berbagai alasan.

Seperti perlu antar jemput dan harus di rumah saja. Tapi, menurutnya, ini bisa juga jadi bukti jika perempuan lebih cepat pulih.

Perempuan sebagai pendamping keluarganya yang ODS juga sangat penting untuk pemulihan. Sedikitnya ada 7 rumah yang memajang karya-karya ini di rumahnya.

Misalnya rumah Ibu Sulandari, Ibu Sri, Made War, Wayan Sariasih, Savitri, dan Luh De. Rumah Berdaya juga ikut Pameran di Rumah ini dengan memajang foto-foto perempuan yang terlibat dan poster-poster kutipan cerita mereka.

Rangkaian kegiatan ini difasilitasi Balebengong dan Citradaya Nita-PPMN. Fotografer muda yang memotret adalah Prema Ananda, Gus Agung, dan Teja Artawan.

Sejumlah poster adalah kutipan dari cerita-cerita panjang mereka, di antaranya bertuliskan:

 

Kalau kita baik, orang akan baik juga. Kesetiaan seorang ibu, doa ibu sepanjang masa, kasih orang tua sepanjang masa.

Apa itu bikin malu saja, saya diamkan saja. Saya dulu juga sempat depresi. Kalau Indra sakit dan saya juga sakit, bagaimana?

(Ibu Sulandari)

 

Rasa percaya diri suami saya mulai timbul, merasa dihargai, dipedulikan, disayang, merasa ada dukungan. Mulai sering kumpul di KPSI, ada komunitas untuk berekspresi.

(Ibu Sri)

 

 “Saya ingin kuliah dan bekerja sebenarnya, tapi karena pengaruh obat yang bikin ngantuk, jadi lebih banyak tidur aja.”

(Made War)

 

Saya sangat sayang sama anak saya. Saya berharap anak saya rajin bekerja, sehat, punya uang, rajin sekolah, dan sayang sama nenek dan ibunya.

(Wayan Sariasih)

 

Pekerjaan saya di rumah sering bersih-bersih menyapu di rumah setiap pagi sore. Saya sekeluarga sehat. Harapan saya di tahun 2020 dapat pekerjaan sebagai pegawai kontrak pada pemerintah Kota Denpasar.

(Sagung Mas)

Ibu Sri memajang poster dan foto di sejumlah tembok rumahnya. Ia memajang satu poster didampingi satu foto dengan apik

usai bekerja sebagai buruh lokasi menjahit baju-baju khas Bali di Denpasar. “Kalau teman-teman saya datang biar dia bisa lihat fotonya,” ujarnya.

Bali masih tertinggi dalam jumlah ODGJ berat menurut Riskesdas 2018. Jumlahnya sekitar 11/1000 rumah tangga.

Jadi, dia berharap pengidap dan keluarga dengan ODGJ jangan merasa sendiri. “Cukup banyak, jumlahnya bisa sekitar 11 ribu.

Kenyataan yang berobat tidak banyak,” sebut dr. Rai. Rata-rata nasional ODGJ berat di Indonesia adalah 7/1000 rumah tangga.

DENPASAR – Sejumlah relawan pewarta warga dan perempuan terdampak skizofrenia menghelat pameran karya di rumah.

Ini kelanjutan dari kampanye publik menyuarakan perjuangan mereka dalam memulihkan diri dari skizofrenia, mengakses layanan psikososial, dan mendampingi keluarga mereka.

Kampanye ini bertajuk Kami Bersuara Kami Mendengar. Dimulai dari Kelas Jurnalisme Warga bersama orang dengan skizofrenia (ODS) dan keluarganya di Rumah Berdaya (RB)-Kelompok Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Bali, Denpasar.

Di pertemuan ini, untuk pertama kali para penyintas ODS dan keluarganya, khusus perempuan bertemu dan saling merekam cerita perjuangan masing-masing.

Pertemuan ini difasilitasi psikiater seperti dr. Rai dan dr. Yudi, bidan, Koordinator Rumah Berdaya-KPSI Bali, dan media jurnalisme warga Balebengong.id.

Setelah itu mereka menuliskan ceritanya di sebuah buku harian, ada juga yang merekam cerita temannya, dan kemudian disalin oleh relawan pewarta warga.

Di sisi lain ada anak-anak muda yang tertarik merekam lewat foto dan video pendek. Kolaborasi ini adalah cara belajar memahami persoalan gangguan kejiwaan dan skizofrenia lebih dekat dari penyintasnya.

D. Rai, psikiater yang merintis RB-KPSI Bali mengatakan, walau jumlah pasien laki dan perempuan sama, tapi kehadiran perempuan di layanan psikoedukasi minim dengan berbagai alasan.

Seperti perlu antar jemput dan harus di rumah saja. Tapi, menurutnya, ini bisa juga jadi bukti jika perempuan lebih cepat pulih.

Perempuan sebagai pendamping keluarganya yang ODS juga sangat penting untuk pemulihan. Sedikitnya ada 7 rumah yang memajang karya-karya ini di rumahnya.

Misalnya rumah Ibu Sulandari, Ibu Sri, Made War, Wayan Sariasih, Savitri, dan Luh De. Rumah Berdaya juga ikut Pameran di Rumah ini dengan memajang foto-foto perempuan yang terlibat dan poster-poster kutipan cerita mereka.

Rangkaian kegiatan ini difasilitasi Balebengong dan Citradaya Nita-PPMN. Fotografer muda yang memotret adalah Prema Ananda, Gus Agung, dan Teja Artawan.

Sejumlah poster adalah kutipan dari cerita-cerita panjang mereka, di antaranya bertuliskan:

 

Kalau kita baik, orang akan baik juga. Kesetiaan seorang ibu, doa ibu sepanjang masa, kasih orang tua sepanjang masa.

Apa itu bikin malu saja, saya diamkan saja. Saya dulu juga sempat depresi. Kalau Indra sakit dan saya juga sakit, bagaimana?

(Ibu Sulandari)

 

Rasa percaya diri suami saya mulai timbul, merasa dihargai, dipedulikan, disayang, merasa ada dukungan. Mulai sering kumpul di KPSI, ada komunitas untuk berekspresi.

(Ibu Sri)

 

 “Saya ingin kuliah dan bekerja sebenarnya, tapi karena pengaruh obat yang bikin ngantuk, jadi lebih banyak tidur aja.”

(Made War)

 

Saya sangat sayang sama anak saya. Saya berharap anak saya rajin bekerja, sehat, punya uang, rajin sekolah, dan sayang sama nenek dan ibunya.

(Wayan Sariasih)

 

Pekerjaan saya di rumah sering bersih-bersih menyapu di rumah setiap pagi sore. Saya sekeluarga sehat. Harapan saya di tahun 2020 dapat pekerjaan sebagai pegawai kontrak pada pemerintah Kota Denpasar.

(Sagung Mas)

Ibu Sri memajang poster dan foto di sejumlah tembok rumahnya. Ia memajang satu poster didampingi satu foto dengan apik

usai bekerja sebagai buruh lokasi menjahit baju-baju khas Bali di Denpasar. “Kalau teman-teman saya datang biar dia bisa lihat fotonya,” ujarnya.

Bali masih tertinggi dalam jumlah ODGJ berat menurut Riskesdas 2018. Jumlahnya sekitar 11/1000 rumah tangga.

Jadi, dia berharap pengidap dan keluarga dengan ODGJ jangan merasa sendiri. “Cukup banyak, jumlahnya bisa sekitar 11 ribu.

Kenyataan yang berobat tidak banyak,” sebut dr. Rai. Rata-rata nasional ODGJ berat di Indonesia adalah 7/1000 rumah tangga.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/