26.4 C
Jakarta
25 April 2024, 8:22 AM WIB

Kuat Konsep, Visual Lemah Hasil Suguhan Sanggar Kayonan

RadarBali.com – Suguhan  Sanggar Seni Kayonan, Semarapura di panggung Madya Mandala, Taman Budaya, Denpasar, dinilai sangat kuat secara konsep Selasa malam (18/7).  

Menampilkan oratorium tradisional kontemporer “Jaratkaru”. Pementasan ini bahkan dinilai mampu melenyapkan dahaga para penikmat seni akan suguhan seni berkualitas di Bali Mandara Mahalango.

Namun dibalik penampilan berkualitas ini ada beberapa hal yang menjadi kendala. Kendala ini juga dianggap mampu mengurangi tingkat kualitas penampilan di atas panggung.

Hal ini diakui oleh para penampil, stage manager bahkan pengamat seni. Salah satu kendala yang dimaksudkan di sini adalah tingkat kualitas pencahayaan panggung. 

“Pementasannya bagus. Cuma dalam pertunjukan ini karena tidak didukung oleh visual yang kuat seperti suasana, pencahayaan maka secara visual terasa kering,” komentar pengamat seni, Dr. I Nyoman Astita, MA usai pementasan.

Menurut Astita, karena pada dasarnya, untuk pementasan-pementasan sejenis ini tidak hanya mengandalkan kekuatan dialog semata.

Namun lebih dari itu, penampilan ini juga harus  didukung banyak faktor seperti tata panggung dan faktor tata lampu untuk pencahayaan.

Pasalnya, dukungan kuat artistik pencahayaan sebenarnya sangat berperan penting dalam membangun imajinasi para penonton.

Dengan adanya pencahayaan panggung yang lebih baik, semua yang dibawakan di atas panggung akan  menjadi lebih sesuai dengan cerita yang dibawakan.

Komposer (penata iringan) oratorium tradisional kontemporer ‘Jaratkaru’, IB Made Widnyana juga merasakan apa yang dirasakan Astita.

Menurut Widnyana, keberhasilan pementasan tidak hanya ditunjang oleh konsep yang bagus saja. Melainkan juga memerlukan banyak faktor seperti audio, pencahayaan dan artistic panggung.

Awalnya Widnyana membayangkan fasilitas tata lampu pementasan di Art Centre sudah mampu menunjang pementasan oratorium ‘Jaratkaru’ yang tampil di panggung Madya Mandala, Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar, Selasa malam (18/7).

Nyatanya, ia harus mengubur bayangannya itu. Karena itu Widnyana dapat menerima apa yang disampaikan Astita bahwa secara visual penampilan terasa kering.

“Itu karena jembatannya (faktor pendukung seperti tata cahaya-red) kurang mulus. Sebab sebuah pementasan akan berhasil seperti yang dibayangkan bila jembatan nya itu mulus,” tutur Widnyana.

Khusus untuk tata musik yang digarapnya, ketika ia menerima naskah ia sengaja tidak membawa konsep sendiri. Melainkan mencoba memanfaatkan yang ada.

“Kemudian berdasarkan pengalaman saya baik itu dari tradisi, pengalaman teater kontemporer, teater barat ini cukup menginsipirasi. Apalagi tadi juga ada musik film. Itu sangat sekali membantu. Dan, dari itu saya sesuaikan dengan scenario dengan tetap berakar pada gamelan semar pegulingan,” papar Widnyana.

Kembali soal kendala lighting yang begitu mengganggu, selaku stage manager Bali Mandara Mahalango, Kadek Wahyudita, tidak mengelak.

“Jujur kami tidak dapat melayanai mereka (sanggar Kayonan-red) secara maksimal terutama di estetika cahaya yang diinginkan,” ujar Wahyudita.

Menurut Wahyudita, itu terjadi karena fasilitas di Art Centre hanya itu adanya. Belum dapat menunjang pementasan yang memerlukan fasilitas-fasilitas khusus.

Wahyudita berharap ini menjadi catatan yang perlu segera dipecahkan. “Karena banyak pementasan ke depan yang memerlukan fasilitas seperti ini. Termasuk pementasan di Nawanatya,” ucapnya.

Keluhan tata pencahayaan ini ditanggapi secara cepat oleh Kabid Kesenian, Tenaga Kebudayaan dan Seni Rupa Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Ni Wayan Sulastriani, SST, M.Si.

“Dalam jangka pendek untuk pementasan berikutnya kita coba pinjam di ISI Denpasar atau di Penggak Mersi. Ke depannya ini menjadi bahan evaluasi kami untuk dicarikan jalan keluarnya,” tandas Sulastriani di akhir pertunjukan.

Sementara itu, pertunjukan malam itu menceritakan tentang kisah hidup seorang petapa yakni Jaratkaru yang memilih sebagai hidup sebagai brahmacari yang tulus memberikan persembahan kepada dewa dan melupakan hal duniawi.

Dalam cerita ini dikisahkan perjalanan Jaratkaru dalam menempuh perjalanan di duni bhur bwah swah (dunia bawah, tengah dan atas). Cerita ini diangkat dari bagian epos Mahabrata yaitu Adi Parwa. 

RadarBali.com – Suguhan  Sanggar Seni Kayonan, Semarapura di panggung Madya Mandala, Taman Budaya, Denpasar, dinilai sangat kuat secara konsep Selasa malam (18/7).  

Menampilkan oratorium tradisional kontemporer “Jaratkaru”. Pementasan ini bahkan dinilai mampu melenyapkan dahaga para penikmat seni akan suguhan seni berkualitas di Bali Mandara Mahalango.

Namun dibalik penampilan berkualitas ini ada beberapa hal yang menjadi kendala. Kendala ini juga dianggap mampu mengurangi tingkat kualitas penampilan di atas panggung.

Hal ini diakui oleh para penampil, stage manager bahkan pengamat seni. Salah satu kendala yang dimaksudkan di sini adalah tingkat kualitas pencahayaan panggung. 

“Pementasannya bagus. Cuma dalam pertunjukan ini karena tidak didukung oleh visual yang kuat seperti suasana, pencahayaan maka secara visual terasa kering,” komentar pengamat seni, Dr. I Nyoman Astita, MA usai pementasan.

Menurut Astita, karena pada dasarnya, untuk pementasan-pementasan sejenis ini tidak hanya mengandalkan kekuatan dialog semata.

Namun lebih dari itu, penampilan ini juga harus  didukung banyak faktor seperti tata panggung dan faktor tata lampu untuk pencahayaan.

Pasalnya, dukungan kuat artistik pencahayaan sebenarnya sangat berperan penting dalam membangun imajinasi para penonton.

Dengan adanya pencahayaan panggung yang lebih baik, semua yang dibawakan di atas panggung akan  menjadi lebih sesuai dengan cerita yang dibawakan.

Komposer (penata iringan) oratorium tradisional kontemporer ‘Jaratkaru’, IB Made Widnyana juga merasakan apa yang dirasakan Astita.

Menurut Widnyana, keberhasilan pementasan tidak hanya ditunjang oleh konsep yang bagus saja. Melainkan juga memerlukan banyak faktor seperti audio, pencahayaan dan artistic panggung.

Awalnya Widnyana membayangkan fasilitas tata lampu pementasan di Art Centre sudah mampu menunjang pementasan oratorium ‘Jaratkaru’ yang tampil di panggung Madya Mandala, Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar, Selasa malam (18/7).

Nyatanya, ia harus mengubur bayangannya itu. Karena itu Widnyana dapat menerima apa yang disampaikan Astita bahwa secara visual penampilan terasa kering.

“Itu karena jembatannya (faktor pendukung seperti tata cahaya-red) kurang mulus. Sebab sebuah pementasan akan berhasil seperti yang dibayangkan bila jembatan nya itu mulus,” tutur Widnyana.

Khusus untuk tata musik yang digarapnya, ketika ia menerima naskah ia sengaja tidak membawa konsep sendiri. Melainkan mencoba memanfaatkan yang ada.

“Kemudian berdasarkan pengalaman saya baik itu dari tradisi, pengalaman teater kontemporer, teater barat ini cukup menginsipirasi. Apalagi tadi juga ada musik film. Itu sangat sekali membantu. Dan, dari itu saya sesuaikan dengan scenario dengan tetap berakar pada gamelan semar pegulingan,” papar Widnyana.

Kembali soal kendala lighting yang begitu mengganggu, selaku stage manager Bali Mandara Mahalango, Kadek Wahyudita, tidak mengelak.

“Jujur kami tidak dapat melayanai mereka (sanggar Kayonan-red) secara maksimal terutama di estetika cahaya yang diinginkan,” ujar Wahyudita.

Menurut Wahyudita, itu terjadi karena fasilitas di Art Centre hanya itu adanya. Belum dapat menunjang pementasan yang memerlukan fasilitas-fasilitas khusus.

Wahyudita berharap ini menjadi catatan yang perlu segera dipecahkan. “Karena banyak pementasan ke depan yang memerlukan fasilitas seperti ini. Termasuk pementasan di Nawanatya,” ucapnya.

Keluhan tata pencahayaan ini ditanggapi secara cepat oleh Kabid Kesenian, Tenaga Kebudayaan dan Seni Rupa Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Ni Wayan Sulastriani, SST, M.Si.

“Dalam jangka pendek untuk pementasan berikutnya kita coba pinjam di ISI Denpasar atau di Penggak Mersi. Ke depannya ini menjadi bahan evaluasi kami untuk dicarikan jalan keluarnya,” tandas Sulastriani di akhir pertunjukan.

Sementara itu, pertunjukan malam itu menceritakan tentang kisah hidup seorang petapa yakni Jaratkaru yang memilih sebagai hidup sebagai brahmacari yang tulus memberikan persembahan kepada dewa dan melupakan hal duniawi.

Dalam cerita ini dikisahkan perjalanan Jaratkaru dalam menempuh perjalanan di duni bhur bwah swah (dunia bawah, tengah dan atas). Cerita ini diangkat dari bagian epos Mahabrata yaitu Adi Parwa. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/