26.6 C
Jakarta
24 April 2024, 22:44 PM WIB

Dijebloskan ke Bui, Ketua Kadin Caleg Gerindra Ungkap Fakta Kasusnya

DENPASAR – Anak Agung Alit Wiraputra, Ketua Kadin Provinsi Bali ditangkap Ditreskrimum Polda Bali di Jakarta, Kamis (4/4) dini hari.

Dia diamankan di hotel Belligio, yang terletak di Kuningan, Jakarta. Caleg DPR-RI Dapil Bali dari partai Gerindra ini ditangkap

karena diduga terkait dengan penggelapan dana perizinan proyek pelebaran pelabuhan Benoa milik Pelindo senilai Rp 16,1 miliar.

Sebelumnya, kepada Jawa Pos Radar Bali, Alit Wiraputra membantah terlibat penggelapan uang pengusaha Jakarta bernama Sutrisno Lukito Disastro.

Edisi RadarBali.id 31 Januari 2018, Alit Wiraputra mengatakan, uang Rp 16 miliar tersebut merupakan uang hasil kerjanya selama perencanaan proyek pengembangan pelabuhan Benoa tahun 2013 lalu.

Dari uang tersebut, Alit hanya mendapat jatah 15 persen atau sekitar Rp 2,4 miliar. Sisanya dibagi dengan beberapa pejabat perusahaan tempat ia bernaung bersama pelapor Sutrisno.

Alit Wiraputra menceritakan, dia dengan terlapor saat itu hingga saat ini bernaung dalam satu perusahaan investasi yang bernama PT Bangun Segitiga Emas.

Dalam perusahaan tersebut Alit menjadi direktur, sementara pelapor yakni Sutrisno menjabat sebagai komisaris.

Saat itu, perusahaan yang bergerak di bidang investasi ini berencana mengembangkan pelabuhan Benoa salah satunya membuat pelabuhan Peti Kemas.

“Nilai investasinya itu Rp 3 triliun. Ada tiga tahapan yang harus diselesaikan untuk bisa investasi tersebut berjalan,” ujar Alit Wiraputra kepada Jawa Pos Radar Bali.

Sementara dalam perjalananya, tahap satu dan dua telah diselesaikan oleh Alit bersama beberapa temannya.

Untuk dua tahapan pekerjaan itu meliputi pengurusan izin hingga keluarnya rekomendasi untuk proyek tersebut.

“Dan sudah selesai dua tahapan itu dan dibayar Rp 16 miliar. Seperti audiensi dengan pemangku kebijakan juga persentasi proyek,” kata Alit.

“Saat itu saya belum menjabat Ketua Kadin,” imbuhnya. Uang Rp 16 miliar tersebut oleh perusahaan diberikan kepada Trenggono yang menjabat sebagai Komisaris Utama PT Bangun Segitiga Emas.

Selanjutnya uang yang diserahkan kepada dirinya, ini didistribusikan kepada Made Jaya Antara selaku Komisaris,

Chandra Wijaya selaku Direktur Utama dan beberapa konsultan yang dilibatkan dalam pengerjaan proyek tersebut untuk hasil kerjanya sebagai gaji.

“Saat itu saya ada perjanjian dengan Sutrisno. Dan uang itu akan diserahkan kepada yang berhak menerima sebagai salary,” jelasnya.

Namun, untuk tahapan ketiga dari proyek tersebut hingga saat ini tidak diselesaikan untuk kepengurusan kesiapan izin prinsip dan lainnya agar proyek tersebut bisa berjalan.

Dalam tahap ketiga ini juga berisi studi kelayakan dan juga kajian Amdal. “Ini wewenang dari Pak Candra Wijaya tapi tidak dilanjutkan sampai sekarang,” paparnya.

Dalam kurun satu minggu ini, dia dan beberapa pejabat penting termasuk pelapor akan melakukan pertemuan membahas ini.

Dalam laporan tersebut ke Polda Bali itu, kata Alit, pelapor tidak melakukan komunikasi terlebih dahulu kepada pejabat tertinggi yakni Komisaris Utama selaku pemegang kewenangan.

“Ujug-ujug ada laporan. Makanya dalam pertemuan itu siapa yang tidak datang perlu dipertanyakan,” pungkasnya.

DENPASAR – Anak Agung Alit Wiraputra, Ketua Kadin Provinsi Bali ditangkap Ditreskrimum Polda Bali di Jakarta, Kamis (4/4) dini hari.

Dia diamankan di hotel Belligio, yang terletak di Kuningan, Jakarta. Caleg DPR-RI Dapil Bali dari partai Gerindra ini ditangkap

karena diduga terkait dengan penggelapan dana perizinan proyek pelebaran pelabuhan Benoa milik Pelindo senilai Rp 16,1 miliar.

Sebelumnya, kepada Jawa Pos Radar Bali, Alit Wiraputra membantah terlibat penggelapan uang pengusaha Jakarta bernama Sutrisno Lukito Disastro.

Edisi RadarBali.id 31 Januari 2018, Alit Wiraputra mengatakan, uang Rp 16 miliar tersebut merupakan uang hasil kerjanya selama perencanaan proyek pengembangan pelabuhan Benoa tahun 2013 lalu.

Dari uang tersebut, Alit hanya mendapat jatah 15 persen atau sekitar Rp 2,4 miliar. Sisanya dibagi dengan beberapa pejabat perusahaan tempat ia bernaung bersama pelapor Sutrisno.

Alit Wiraputra menceritakan, dia dengan terlapor saat itu hingga saat ini bernaung dalam satu perusahaan investasi yang bernama PT Bangun Segitiga Emas.

Dalam perusahaan tersebut Alit menjadi direktur, sementara pelapor yakni Sutrisno menjabat sebagai komisaris.

Saat itu, perusahaan yang bergerak di bidang investasi ini berencana mengembangkan pelabuhan Benoa salah satunya membuat pelabuhan Peti Kemas.

“Nilai investasinya itu Rp 3 triliun. Ada tiga tahapan yang harus diselesaikan untuk bisa investasi tersebut berjalan,” ujar Alit Wiraputra kepada Jawa Pos Radar Bali.

Sementara dalam perjalananya, tahap satu dan dua telah diselesaikan oleh Alit bersama beberapa temannya.

Untuk dua tahapan pekerjaan itu meliputi pengurusan izin hingga keluarnya rekomendasi untuk proyek tersebut.

“Dan sudah selesai dua tahapan itu dan dibayar Rp 16 miliar. Seperti audiensi dengan pemangku kebijakan juga persentasi proyek,” kata Alit.

“Saat itu saya belum menjabat Ketua Kadin,” imbuhnya. Uang Rp 16 miliar tersebut oleh perusahaan diberikan kepada Trenggono yang menjabat sebagai Komisaris Utama PT Bangun Segitiga Emas.

Selanjutnya uang yang diserahkan kepada dirinya, ini didistribusikan kepada Made Jaya Antara selaku Komisaris,

Chandra Wijaya selaku Direktur Utama dan beberapa konsultan yang dilibatkan dalam pengerjaan proyek tersebut untuk hasil kerjanya sebagai gaji.

“Saat itu saya ada perjanjian dengan Sutrisno. Dan uang itu akan diserahkan kepada yang berhak menerima sebagai salary,” jelasnya.

Namun, untuk tahapan ketiga dari proyek tersebut hingga saat ini tidak diselesaikan untuk kepengurusan kesiapan izin prinsip dan lainnya agar proyek tersebut bisa berjalan.

Dalam tahap ketiga ini juga berisi studi kelayakan dan juga kajian Amdal. “Ini wewenang dari Pak Candra Wijaya tapi tidak dilanjutkan sampai sekarang,” paparnya.

Dalam kurun satu minggu ini, dia dan beberapa pejabat penting termasuk pelapor akan melakukan pertemuan membahas ini.

Dalam laporan tersebut ke Polda Bali itu, kata Alit, pelapor tidak melakukan komunikasi terlebih dahulu kepada pejabat tertinggi yakni Komisaris Utama selaku pemegang kewenangan.

“Ujug-ujug ada laporan. Makanya dalam pertemuan itu siapa yang tidak datang perlu dipertanyakan,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/