28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 4:00 AM WIB

Dr. Radendra: Hukum Wajib Memenuhi Rasa Keadilan Masyarakat

DENPASAR – Kabar pencabutan laporan polisi nomor LP/135/III/2020/Bali/ Spkt tanggal 8 Maret 2020 dengan terlapor anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Wedasteraputra Suyasa alias AWK menjadi perhatian banyak pihak.

Bila dugaan tindakan penganiayaan oleh mantan model dan cover boy itu tidak “tersentuh hukum” alias bebas, pemerhati hukum, Dr. Ida Bagus Radendra Suastama, SH.,MH., menyebut akan terjadi keresahan di masyarakat.

IB Radendra mengapresiasi langkah Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bali, Kombes Pol Dodi Rahmawan yang akan segera melakukan gelar perkara kasus penganiayaan yang terjadi pada Kamis, 5 Maret 2020 pukul 12.00 di ruangan tesis Universitas Mahendradatta, Jalan Ken Arok No. 12 Peguyangan, Denpasar Utara itu.

“Dalam terminologi ilmu hukum pidana di Indonesia, tindakan penganiayaan termasuk kategori tindak pidana murni, bukan merupakan delik aduan. Artinya, jika benar korban mencabut laporannya, pihak kepolisian tetap berwenang

meneruskan proses penegakan hukum atas kasus ini. Tentu Polda Bali akan memberikan contoh terbaik dan tetap memproses hukum kasus tersebut. Tentu Polda Bali akan memberikan contoh terbaik bagi iklim penegakan hukum di Bali dan Indonesia,” ungkapnya. 

Imbuh Radendra dirinya mengapresiasi sikap tegas Dirreskrimum Polda Bali yang menyatakan meski laporan dicabut, kepolisian akan melanjutkan proses. “Ini sangat edukatif. Fungsi hukum justru ada di titik ini, khususnya dalam konteks hukum publik.

Walaupun misalnya korban sudah memaafkan “tindak pidana” yang dilakukan, sesuai filosofi Hukum Publik (berbeda dengan Hukum Privat, red), maka demi kepentingan umum atau kepentingan publik, penegakan hukum harus diteruskan sampai ke pengadilan,” beber pria yang juga berstatus Ketua Yayasan STIMI Handayani Denpasar itu.

Menghentikan kasus ini sebelum putusan pengadilan, terangnya akan menjadi edukasi yang buruk bagi masyarakat. Lebih-lebih terlapor adalah pejabat publik yang mestinya justru menjadi teladan. Masyarakat sedang melihat dan tentu menantikan prinsip kesamaan di depan hukum bagi semua warga negara benar-benar diterapkan.

“Bila pejabat bisa lolos dari jerat hukum walaupun sudah dilaporkan oleh korban dengan bukti awal yang memadai, yakni hasil visum dan 2 orang saksi, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri bisa hilang,” pungkasnya. 

Ditambahkan Radendra, dalam konsep hukum pidana yang termasuk kategori hukum publik, tiap perbuatan tindakan pidana (yang bukan delik aduan, red) yang diketahui penegak hukum harus diproses. Terlepas apakah korban merasa keberatan atau tidak. Karena tindak pidana itu sejatinya merugikan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi si korban saja. 

“Saya sebagai akademisi melihat persoalan dari perspektif keilmuan. Saya bukan politikus sehingga tidak punya kepentingan apapun dan tidak peduli siapa pelakunya. Hanya ingin agar masyarakat melihat bahwa proses penegakan hukum di negara ini telah berjalan sedemikian rupa sehingga memenuhi rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat,” ungkap Radendra.

Mengenai kemungkinan damai antara korban (pelapor) dan terlapor, Radendra menyatakan bahwa konsepsi perundang-undangan pidana di Indonesia sesungguhnya sudah sangat jelas. Bahwa delik pidana murni mesti diproses penegakan hukumnya sampai ke pengadilan demi kepentingan umum atau kepentingan publik. 

“Meskipun akan memakai “restorative justice” menurut saya untuk kasus ini kurang tepat. Salah satu syarat dalam peraturan Kapolri 6/2019 adalah bahwa dapat dilakukan keadilan restoratif apabila terpenuhi syarat materiil maupun formil.

Syarat materiil paling utama adalah tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau penolakan masyarakat, lalu syarat berikutnya antara lain tidak berdampak konflik sosial. Ini jelas tidak akan terpenuhi,” tekannya sembari menyebut di media sosial jelas terlihat adanya keresahan masyarakat terkait pencabutan laporan korban.

“Bahkan ada kecurigaan di kalangan netizen bahwa mungkin ada “tekanan” atau sebab tidak sah lainnya di balik pencabutan laporan ini,” sambungnya. 

Radendra percaya dan sekaligus berharap Polda Bali akan konsisten dengan yang telah disampaikan secara resmi. “Karena hal itu merupakan edukasi hukum yang baik bagi publik dan akan menjadi preseden yang positif dalam sejarah

penegakan hukum di Bali khususnya dan Indonesia umumnya,” pungkas Koordinator Rembuk Nasional Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme Tahun 2018 itu. 

DENPASAR – Kabar pencabutan laporan polisi nomor LP/135/III/2020/Bali/ Spkt tanggal 8 Maret 2020 dengan terlapor anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Wedasteraputra Suyasa alias AWK menjadi perhatian banyak pihak.

Bila dugaan tindakan penganiayaan oleh mantan model dan cover boy itu tidak “tersentuh hukum” alias bebas, pemerhati hukum, Dr. Ida Bagus Radendra Suastama, SH.,MH., menyebut akan terjadi keresahan di masyarakat.

IB Radendra mengapresiasi langkah Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Bali, Kombes Pol Dodi Rahmawan yang akan segera melakukan gelar perkara kasus penganiayaan yang terjadi pada Kamis, 5 Maret 2020 pukul 12.00 di ruangan tesis Universitas Mahendradatta, Jalan Ken Arok No. 12 Peguyangan, Denpasar Utara itu.

“Dalam terminologi ilmu hukum pidana di Indonesia, tindakan penganiayaan termasuk kategori tindak pidana murni, bukan merupakan delik aduan. Artinya, jika benar korban mencabut laporannya, pihak kepolisian tetap berwenang

meneruskan proses penegakan hukum atas kasus ini. Tentu Polda Bali akan memberikan contoh terbaik dan tetap memproses hukum kasus tersebut. Tentu Polda Bali akan memberikan contoh terbaik bagi iklim penegakan hukum di Bali dan Indonesia,” ungkapnya. 

Imbuh Radendra dirinya mengapresiasi sikap tegas Dirreskrimum Polda Bali yang menyatakan meski laporan dicabut, kepolisian akan melanjutkan proses. “Ini sangat edukatif. Fungsi hukum justru ada di titik ini, khususnya dalam konteks hukum publik.

Walaupun misalnya korban sudah memaafkan “tindak pidana” yang dilakukan, sesuai filosofi Hukum Publik (berbeda dengan Hukum Privat, red), maka demi kepentingan umum atau kepentingan publik, penegakan hukum harus diteruskan sampai ke pengadilan,” beber pria yang juga berstatus Ketua Yayasan STIMI Handayani Denpasar itu.

Menghentikan kasus ini sebelum putusan pengadilan, terangnya akan menjadi edukasi yang buruk bagi masyarakat. Lebih-lebih terlapor adalah pejabat publik yang mestinya justru menjadi teladan. Masyarakat sedang melihat dan tentu menantikan prinsip kesamaan di depan hukum bagi semua warga negara benar-benar diterapkan.

“Bila pejabat bisa lolos dari jerat hukum walaupun sudah dilaporkan oleh korban dengan bukti awal yang memadai, yakni hasil visum dan 2 orang saksi, maka kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri bisa hilang,” pungkasnya. 

Ditambahkan Radendra, dalam konsep hukum pidana yang termasuk kategori hukum publik, tiap perbuatan tindakan pidana (yang bukan delik aduan, red) yang diketahui penegak hukum harus diproses. Terlepas apakah korban merasa keberatan atau tidak. Karena tindak pidana itu sejatinya merugikan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi si korban saja. 

“Saya sebagai akademisi melihat persoalan dari perspektif keilmuan. Saya bukan politikus sehingga tidak punya kepentingan apapun dan tidak peduli siapa pelakunya. Hanya ingin agar masyarakat melihat bahwa proses penegakan hukum di negara ini telah berjalan sedemikian rupa sehingga memenuhi rasa keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat,” ungkap Radendra.

Mengenai kemungkinan damai antara korban (pelapor) dan terlapor, Radendra menyatakan bahwa konsepsi perundang-undangan pidana di Indonesia sesungguhnya sudah sangat jelas. Bahwa delik pidana murni mesti diproses penegakan hukumnya sampai ke pengadilan demi kepentingan umum atau kepentingan publik. 

“Meskipun akan memakai “restorative justice” menurut saya untuk kasus ini kurang tepat. Salah satu syarat dalam peraturan Kapolri 6/2019 adalah bahwa dapat dilakukan keadilan restoratif apabila terpenuhi syarat materiil maupun formil.

Syarat materiil paling utama adalah tidak menimbulkan keresahan masyarakat atau penolakan masyarakat, lalu syarat berikutnya antara lain tidak berdampak konflik sosial. Ini jelas tidak akan terpenuhi,” tekannya sembari menyebut di media sosial jelas terlihat adanya keresahan masyarakat terkait pencabutan laporan korban.

“Bahkan ada kecurigaan di kalangan netizen bahwa mungkin ada “tekanan” atau sebab tidak sah lainnya di balik pencabutan laporan ini,” sambungnya. 

Radendra percaya dan sekaligus berharap Polda Bali akan konsisten dengan yang telah disampaikan secara resmi. “Karena hal itu merupakan edukasi hukum yang baik bagi publik dan akan menjadi preseden yang positif dalam sejarah

penegakan hukum di Bali khususnya dan Indonesia umumnya,” pungkas Koordinator Rembuk Nasional Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme Tahun 2018 itu. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/