34.7 C
Jakarta
30 April 2024, 12:54 PM WIB

Kecewa Pemerintah Karena Tidak Ada Kepastian Setelah Pindah ke Bali

Berbagai langkah ditempuh para pengungsi eks Timor Timur agar keberadaan lahan pertanian yang digarap puluhan tahun lalu di Banjar Tegal Bunder, Desa Sumber Kelampok, Gerogak,

Buleleng Barat, dapat diberikan pemerintah pusat maupun daerah. Namun hingga kini lahan pertanian dan rumah yang ditempati belum jelas pengakuannya. 

 

 

JULIADI, Singaraja

MENGIKUTI program transmigrasi dari pemerintah pusat dengan mendaftar ke pemerintah daerah agar kehidupan lebih sejahtera. Itulah tujuan eks pengungsi Timor Timur.

Tapi, perjalanan hidup para transmigrasi asal Karangasem dan Buleleng yang bertransmigrasi ke Timor-Timur tidak berjalan mulus. 

Keamanan yang tidak kondusif di daerah transmigrasi memaksa mereka untuk pulang ke kampung halaman dengan tangan hampa tahun 1999 pasca referendum Timor Timur yang menyatakan diri mereka keluar dari NKRI. 

Sebanyak 107 kepala keluarga (KK) dari Karangasem dan Buleleng pulang ke Bali. Sebelum pulang, mereka adalah transmigran yang gigih.

Di lokasi transmigrasi, mereka membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Per kepala keluarga (KK) memiliki lahan seluas 2 hektare plus lengkap dengan sertifikat termasuk rumah pekarangan.

Total lahan yang sudah digarap sekitar 214 hektare kala itu. “Kini lahan itu sudah tak ada lagi. Semua itu sudah menjadi cerita lama,” kata Nengah Kisid, Ketua Tim Kerja Pengungsi eks Timor Timur saat ditemui Jawa Pos Radar Bali.

Setelah pulang dari Timur Leste – sebutan baru Timor Timur, para transmigrasi asal Bali ini memilih untuk tetap bertahan dan berjuang.

Dengan tujuan agar lahan transmigrasi di Timor Leste itu diberikan lahan pengganti oleh Pemerintah Provinsi Bali. 

“Kami tetap bertahan dengan berbagai alasan dan pertimbangan yakni tidak memiliki lahan dan memiliki rumah untuk tempat tinggal di Bali.

Setelah terus mendesak, sehingga pemerintah memberikan kami tempat tinggal di Pemaron yang kini menjadi kantor Imigrasi. Waktu ada sekitar 25 KK tetap bertahan sisa menumpang di rumah keluarga,” papar Kisid. 

Hampir satu tahun lebih dirinya bersama kawan lainnya terus bertahan di Kantor Imigrasi memperjuangkan hak mereka sebagai seorang transmigrasi.

Kantor Imigrasi sebagai pos awal perjuangan kepada pemerintah agar dapat hidup mandiri. Disana tempat mendemo menuntut perjuangan hak agar lahan dapat diberikan diganti rugi setelah lahan transmigrasi yang digarap di Timor Leste ditinggalkan.

Selama tinggal di kantor imigrasi, mereka (eks transmigrasi Timor Timur) sembari berjuang sembari bekerja, mulai bekerja sebagai buruh bangunan, tukang kayu, buruh proyek dan lainnya. 

“Beberapa kali demo dengan bertemu pemerintah provinsi. Barulah kami diberikan lahan di Sumber Kelampok, Gerogak Buleleng barat pada tahun 2000. Jadi lahan di daerah itu untuk menggarap.

Saya pun kecewa dengan pemerintah dia yang memberikan program transmigrasi, lalu kami harus dibuang, dan tidak diperhatikan,” ungkapnya.

Untuk lahan yang digarap mereka para transmigran harus membuka sekitar 50 are dan untuk lahan pekarangan rumah sekitar 4 are.

Diberikan hanya untuk digarap bukan menjadi hak milik pribadi. Lahan tersebut merupakan kawasan hutan produksi terbatas (HPT) dengan total luas sekitar 72,02 hektar.

Kegiatan pertanian dengan bercocok tanam mulai dari cabe, jagung, kacang dan tanaman lainnya bergantung dari musim hujan.

“Meski sudah menggarap lahan selama 19 tahun sejak tahun 2000, secara aturan lahan pertanian tersebut boleh kami mohonkan menjadi hak milik.

Namun, hingga saat ini lahan yang kami garap selama 19 tahun tidak kejelasan baik dari pemerintah provinsi maupun daerah.

Dua kali ganti Bupati Buleleng hingga dua kali ganti Gubenur, toh sampai saat tidak ada kejelasan,” tandasnya kecewa. (*) 

 

 

Berbagai langkah ditempuh para pengungsi eks Timor Timur agar keberadaan lahan pertanian yang digarap puluhan tahun lalu di Banjar Tegal Bunder, Desa Sumber Kelampok, Gerogak,

Buleleng Barat, dapat diberikan pemerintah pusat maupun daerah. Namun hingga kini lahan pertanian dan rumah yang ditempati belum jelas pengakuannya. 

 

 

JULIADI, Singaraja

MENGIKUTI program transmigrasi dari pemerintah pusat dengan mendaftar ke pemerintah daerah agar kehidupan lebih sejahtera. Itulah tujuan eks pengungsi Timor Timur.

Tapi, perjalanan hidup para transmigrasi asal Karangasem dan Buleleng yang bertransmigrasi ke Timor-Timur tidak berjalan mulus. 

Keamanan yang tidak kondusif di daerah transmigrasi memaksa mereka untuk pulang ke kampung halaman dengan tangan hampa tahun 1999 pasca referendum Timor Timur yang menyatakan diri mereka keluar dari NKRI. 

Sebanyak 107 kepala keluarga (KK) dari Karangasem dan Buleleng pulang ke Bali. Sebelum pulang, mereka adalah transmigran yang gigih.

Di lokasi transmigrasi, mereka membuka hutan untuk dijadikan lahan pertanian. Per kepala keluarga (KK) memiliki lahan seluas 2 hektare plus lengkap dengan sertifikat termasuk rumah pekarangan.

Total lahan yang sudah digarap sekitar 214 hektare kala itu. “Kini lahan itu sudah tak ada lagi. Semua itu sudah menjadi cerita lama,” kata Nengah Kisid, Ketua Tim Kerja Pengungsi eks Timor Timur saat ditemui Jawa Pos Radar Bali.

Setelah pulang dari Timur Leste – sebutan baru Timor Timur, para transmigrasi asal Bali ini memilih untuk tetap bertahan dan berjuang.

Dengan tujuan agar lahan transmigrasi di Timor Leste itu diberikan lahan pengganti oleh Pemerintah Provinsi Bali. 

“Kami tetap bertahan dengan berbagai alasan dan pertimbangan yakni tidak memiliki lahan dan memiliki rumah untuk tempat tinggal di Bali.

Setelah terus mendesak, sehingga pemerintah memberikan kami tempat tinggal di Pemaron yang kini menjadi kantor Imigrasi. Waktu ada sekitar 25 KK tetap bertahan sisa menumpang di rumah keluarga,” papar Kisid. 

Hampir satu tahun lebih dirinya bersama kawan lainnya terus bertahan di Kantor Imigrasi memperjuangkan hak mereka sebagai seorang transmigrasi.

Kantor Imigrasi sebagai pos awal perjuangan kepada pemerintah agar dapat hidup mandiri. Disana tempat mendemo menuntut perjuangan hak agar lahan dapat diberikan diganti rugi setelah lahan transmigrasi yang digarap di Timor Leste ditinggalkan.

Selama tinggal di kantor imigrasi, mereka (eks transmigrasi Timor Timur) sembari berjuang sembari bekerja, mulai bekerja sebagai buruh bangunan, tukang kayu, buruh proyek dan lainnya. 

“Beberapa kali demo dengan bertemu pemerintah provinsi. Barulah kami diberikan lahan di Sumber Kelampok, Gerogak Buleleng barat pada tahun 2000. Jadi lahan di daerah itu untuk menggarap.

Saya pun kecewa dengan pemerintah dia yang memberikan program transmigrasi, lalu kami harus dibuang, dan tidak diperhatikan,” ungkapnya.

Untuk lahan yang digarap mereka para transmigran harus membuka sekitar 50 are dan untuk lahan pekarangan rumah sekitar 4 are.

Diberikan hanya untuk digarap bukan menjadi hak milik pribadi. Lahan tersebut merupakan kawasan hutan produksi terbatas (HPT) dengan total luas sekitar 72,02 hektar.

Kegiatan pertanian dengan bercocok tanam mulai dari cabe, jagung, kacang dan tanaman lainnya bergantung dari musim hujan.

“Meski sudah menggarap lahan selama 19 tahun sejak tahun 2000, secara aturan lahan pertanian tersebut boleh kami mohonkan menjadi hak milik.

Namun, hingga saat ini lahan yang kami garap selama 19 tahun tidak kejelasan baik dari pemerintah provinsi maupun daerah.

Dua kali ganti Bupati Buleleng hingga dua kali ganti Gubenur, toh sampai saat tidak ada kejelasan,” tandasnya kecewa. (*) 

 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/