26.7 C
Jakarta
12 September 2024, 19:40 PM WIB

Sudah di Peringkat ke-5, Target Pemerintah 2025 : Kurangi 70 Persen Sampah Laut

KUTA– Menurut data yang ada, Indonesia menurut penelitian Jenna Jambeck menjadi pemasok sampah laut terbesar kedua di dunia (peringkat pertama Tiongkok). Di tahun 2021 menurut Meijer, Indonesia turun ke peringkat lima sebagai pemasok sampah laut dunia.

Meskipun ada penurunan, jelas hal ini masih menjadi sesuatu yang perlu diperbaiki ke depannya. Untuk itu, target nasional pun dicanangkan. Menurut Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi Rofi Alhanif, Indonesia masih perlu mengejar gap untuk pengurangan sampah plastik dalam kurun waktu tiga tahun kedepan.

“Kami masih punya target sampai tahun 2025 itu 70 persen, memang masih ada gap yang kita kejar dalam tiga tahun kedepan untuk mencapai target 70 persen pengurangan sampah plastik laut. Dan tentu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam hal ini, pemerintah daerah, private sector swasta seperti Danone kita berusaha keras seperti Bali contohnya menangani sampah baik di laut maupun di darat,” ungkap Rofi saat diwawancarai Rabu kemarin (2/11).

Sampah yang ada di laut dan akhirnya juga ikut mencemari pesisir pantai, jelas sangat mengganggu Kesehatan dan ekosistem. Biota laut akan terpapar mikro plastik dan akhirnya hal tersebut juga akan masuk ke tubuh manusia jika mengkonsumsi hasil tangkapan dari laut.

Bahkan menurut Rofi, para pakar menilai jika tidak dilakukan penanganan sampah laut secara signifikan, suatu saat akan lebih banyak sampah dibandingkan ikan di laut. “Ilmuwan memprediksi, akan lebih banyak sampah dibanding ikan di laut pada tahun 2050,” bebernya.

Tercatat dari data yang dihimpun, ¾ sampah laut berasal dari kota/kabupaten kategori sedang dan pedesaan. “Tingkat kebocoran secara nasional mencapai 9 persen dari total timbulan sampah plastik,” tegasnya.

Rofi menjelaskan dari data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 0,27-0,59 persen sampah rumah tangga masuk ke laut. Denpasar sendiri menurut Rofi masuk dalam kategori kota sedang sebagai distributor sampah laut.

Lantas apa yang harus dilakukan? Rofi menjelaskan jika perlu adanya dorongan untuk melakukan pendekatan dengan skema blue economy dan tetap menyeimbangkan kepentingan ekologi, ekonomi, dan perlu adalah sosialisasi sampah plastik lintas negara.

Contoh dalam ruang lingkup yang lebih kecil adalah dengan membangun TPST. Misalnya di Bali sendiri, ada tiga TPST yang dan akan dibangun seperti di kawasan Padangsambian Kaja. Tiga TPST tersebut berkapasitas 800 ton per hari.

Lalu ada dua TPST lainnya yang berada di Mengwi dan Jimbaran (TPST Samtaku Goa Gong). Dengan adanya TPST ini, bisa meminimalisir kapasitas di TPA Suwung yang per hari bisa menampung 1.200 ton sampah. Dengan perincian 300 ton sampah berasal dari Badung dan 900 ton berasal dari Denpasar.

“Harapannya jelas kedepannya masalah sampah, terutama di Bali bisa tertangani semua. TPA Suwung juga sudah penuh dan harus ditutup. (alit binawan/radar bali)

 

KUTA– Menurut data yang ada, Indonesia menurut penelitian Jenna Jambeck menjadi pemasok sampah laut terbesar kedua di dunia (peringkat pertama Tiongkok). Di tahun 2021 menurut Meijer, Indonesia turun ke peringkat lima sebagai pemasok sampah laut dunia.

Meskipun ada penurunan, jelas hal ini masih menjadi sesuatu yang perlu diperbaiki ke depannya. Untuk itu, target nasional pun dicanangkan. Menurut Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi Rofi Alhanif, Indonesia masih perlu mengejar gap untuk pengurangan sampah plastik dalam kurun waktu tiga tahun kedepan.

“Kami masih punya target sampai tahun 2025 itu 70 persen, memang masih ada gap yang kita kejar dalam tiga tahun kedepan untuk mencapai target 70 persen pengurangan sampah plastik laut. Dan tentu pemerintah tidak bisa bekerja sendiri dalam hal ini, pemerintah daerah, private sector swasta seperti Danone kita berusaha keras seperti Bali contohnya menangani sampah baik di laut maupun di darat,” ungkap Rofi saat diwawancarai Rabu kemarin (2/11).

Sampah yang ada di laut dan akhirnya juga ikut mencemari pesisir pantai, jelas sangat mengganggu Kesehatan dan ekosistem. Biota laut akan terpapar mikro plastik dan akhirnya hal tersebut juga akan masuk ke tubuh manusia jika mengkonsumsi hasil tangkapan dari laut.

Bahkan menurut Rofi, para pakar menilai jika tidak dilakukan penanganan sampah laut secara signifikan, suatu saat akan lebih banyak sampah dibandingkan ikan di laut. “Ilmuwan memprediksi, akan lebih banyak sampah dibanding ikan di laut pada tahun 2050,” bebernya.

Tercatat dari data yang dihimpun, ¾ sampah laut berasal dari kota/kabupaten kategori sedang dan pedesaan. “Tingkat kebocoran secara nasional mencapai 9 persen dari total timbulan sampah plastik,” tegasnya.

Rofi menjelaskan dari data Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), 0,27-0,59 persen sampah rumah tangga masuk ke laut. Denpasar sendiri menurut Rofi masuk dalam kategori kota sedang sebagai distributor sampah laut.

Lantas apa yang harus dilakukan? Rofi menjelaskan jika perlu adanya dorongan untuk melakukan pendekatan dengan skema blue economy dan tetap menyeimbangkan kepentingan ekologi, ekonomi, dan perlu adalah sosialisasi sampah plastik lintas negara.

Contoh dalam ruang lingkup yang lebih kecil adalah dengan membangun TPST. Misalnya di Bali sendiri, ada tiga TPST yang dan akan dibangun seperti di kawasan Padangsambian Kaja. Tiga TPST tersebut berkapasitas 800 ton per hari.

Lalu ada dua TPST lainnya yang berada di Mengwi dan Jimbaran (TPST Samtaku Goa Gong). Dengan adanya TPST ini, bisa meminimalisir kapasitas di TPA Suwung yang per hari bisa menampung 1.200 ton sampah. Dengan perincian 300 ton sampah berasal dari Badung dan 900 ton berasal dari Denpasar.

“Harapannya jelas kedepannya masalah sampah, terutama di Bali bisa tertangani semua. TPA Suwung juga sudah penuh dan harus ditutup. (alit binawan/radar bali)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/