DENPASAR – Pancasila sebagai sebuah ideologi sudah final. Tidak ada alasan untuk mengotak-atik apalagi dipersoalkan.
Justru tantangan terbesar adalah bagaimana membumikan nilai-nilai Pancasila untuk menghadapi radikalisme dan kapitalisme.
Pandangan tersebut dilontarkan Ketua Asosiasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Bali Ida Panglingsir Agung Putu Sukahet saat Diskusi Online Pancasila melalui zoom meeting yang digelar Majelis Daerah (MD) Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Badung, Sabtu (11/7).
Menurut Ida Panglingsir Sukahet, Pancasila sangat dibutuhkan Indonesia. Pasalnya, tanpa Pancasila, tidak aka nada negara, tidak ada Bhinneka Tunggal Ika, dan tidak ada NKRI.
“Pancasila justru mempertemukan kita semua yang berbeda suku, agama, dan ras,” kata Ida Panglingsir Sukahet.
Selain Ketua FKUB Bali, diskusi juga menghadirkan Koordinator Kopertis Prof I Nengah Dasi Astawa, dosen Undiknas Dr Nyoman Subanda, Ketua KNPI Bali I Nyoman Gede Antaguna.
Sementara acara dipandu mantan Ketua KPU Bali yang kini menjadi dosen Universitas Warmadewa AA Oka Wisnumurti.
Ida Panglingsir Sukahet menambahkan, dengan beragam perbedaan, sulit menyatuhkan anak bangsa menjadi satu-kesatuan. Tapi, Pancasila mampu menyatukan perbedaan itu.
“Kita ini memang diciptakan berbeda, itulah kekuatan kita, jadi nilai Pancasila itu luar biasa sebagai Ideologi,” katanya.
Dengan kata lain, Pancasila sudah final menjadi konsensus kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, tidak boleh lagi ada yang mengingkari Pancasila karena itu konsekuensinya sangat mahal bagi bangsa.
Karena itu, sudah sepatutnya nilai-nilai Pancasila dibumikan, disosialisasikan, dan dikampanyekan ke semua warga negara, terutama generasi muda.
Peserta diskusi juga menyoroti munculnya idelogi radikalisme yang menolak perbedaan dan tidak menerima dasar negara Pancasila.
Ideologi ini bergulir kencang sejak era reformasi dan masuk ke kalangan anak muda. Pertanyaannya, apakah ideologi Pancasila yang lebih kuat masuk mempengaruhi anak muda sehingga bisa mencegah paham radikal atau sebaliknya?
Menurut Ida Panglingsir Sukahet, RUU HIP sebagai sebuah usulan pandangan dihargai. Namanya rencana pasti saja tidak sempurna.
Kalau urang perlu diperbaiki, bila ada kesalahan tentu bisa dperbaiki, sehingga impelmentasi UU harus ada sebagai pijakan untuk implementasikan pancasila entah dalam peraturan pelaksana atau lainnya.
“UU HIP ditunda, saya setuju, karena dalam pandemi Covid-19 fokus bagaimana mengendalikan pandemi Covid-19,” jelasnya.
Ketua KNPI Bali I Nyoman Gede Antaguna mengingatkan, jangan sampai RUU HIP menjadi trial and error uji coba terhadap Pancasila, karena ujungnya ditebus dengan harga mahal seperti kasus hilangnya Timor Leste.
“Jangan lagi mengutakatik Pancasila yang sudah menjadi harga mati,” kata Antaguna. Menurutnya, RUU HIP sangat absurd.
Jika dikatakan sendi pokok Pancasila adalah keadilan sosial bagaimana kalau kemudian ada yang berpandangan sendi Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Perdebatan semacam inilah yang tidak perlu.
Pengamat politik Undiknas Dr Nyoman Subanda melihat Indonesia masih sering latah. Senang membuat UU atau peraturan yang kadang tumpang tindih atau bertabrakan satu sama lain.
Sudah ada aturan, tapi kemudian membuat aturan baru. Hal inilah sebenarnya tidak perlu terjadi.
Salah satu penanggap H Pujianto dari NU Bali menegaskan, antara Pancasila dan NU tidak bisa dipisahkan lagi.
Menurut H. Pujianto, sebagai idelogi, Pancasila tidak perlu dibahas lagi, karena terbukti mempersatukan Indonesia selama puluhan tahun.
“Pluralisme dapat terwujud karena ada Pancasila,” katanya. Justru dia menilai, RUU HIP yang akan membawa Pancasila sebagai UU ini, kemungkinan malah menjadi turun kelas.
“Kita sudah punya aset sempurna Pancasila, kenapa harus diturunkan lagi setara UU dengan UU yang lain,” kritiknya.
Sementara moderator AA Oka Wisnumurti malah sependapat dengan Dr Subanda yang menyatakan bahwa Pancasila lahir sebagai idelogi sudah given.
Tidak usah diutak-atik, karena sudah menjadi kesepakatan para pendiri bangsa founding father. “Tinggal dibumikan, itu persoalan teknis, implementatif apa bentuknya, itu bisa dibahas.
Tetapi, tidak perlu dibahas Pancasila sebagai idelogi bangsa. Saat ini persoalan kita adalah bagaimana menghadapi ancaman besar yakni ideologi kapitalisme dan radikalisme,” pungkasnya.