29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 3:19 AM WIB

Ini Serius, Dunia Teater Menjadikan yang Berjarak Jadi Lebih Intim

SINGARAJA – Pementasan teater yang selama ini terkesan berjarak antara aktor, panggung, dan naskah, tak lagi berlaku.

Kredo itu dipatahkan melalui pementasan-pementasan yang dihadirkan dalam project 11 Ibu 11 Kisah 11 Panggung.

Hal itu terungkap dalam focus group discussion yang dilangsungkan di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Minggu (30/12) lalu.

Dalam FGD itu, para aktor yang terlibat dalam pementasan dihadirkan. Termasuk Sukarmi, disabilitas tuli-bisu yang menjadi aktor dalam pementasan tersebut.

Selama FGD, para aktor dan peserta, saling memberikan ulasan, catatan, refleksi, serta evaluasi. Hal itu membuka tawaran-tawaran baru dalam proses kreatif di dunia seni peran.

Budayawan Wayan Juniartha mengatakan, pementasan 11 Ibu memberikan tawaran baru di bidangs eni peran. Salah satunya dalam hal naskah yang dibawakan.

Pementasan 11 ibu menyentuh hal-hal yang sangat personal. Hal tersebut justru luput dari narasi yang diusung dalam pementasan teater-teater besar.

“Selama ini teater cenderung sangat eksklusif. Mengambil narasi besar dengan agak mengabaikan narasi kecil. Hal itu yang membuat project ini menarik.

Bahwa ibu-ibu yang luput dari teropong publikasi kekinian, mampu menciptakan narasinya sendiri,” kata Juniartha.

Selain itu panggung yang dimanfaatkan sebagai lokasi pementasan, juga turut menjadi catatan tersendiri.

Panggung yang selama ini terkesan berjarak dengan aktor, justru bisa sangat intim dengan aktor. Misalnya Hermawati yang mementaskan monolog di pekuburan keluarga.

Lokasi itu justru menjadi latar yang kuat, karena menghubungkan aktor dengan naskah yang dibawakan.

“Saya memandang ini alternatif dan kemungkinan baru dalam konteks teater kontemporer. Panggung tidak lagi menjadi hal yang kaku, statis, dan memisahkan aktor dengan audiens.

Bahkan, sampai memisahkan aktor dengan dirinya sendiri. Pementasan ini membuat aktor sangat akrab dengan hidupnya sendiri,” imbuh Juniartha.

Salah seorang aktor, Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih mengatakan, pementasan itu bisa menyaturkan para ibu yang berasal dari latar belakang yang berbeda.

Mereka saling mendukung dalam project tersebut. Nitiasih yang seorang guru besar, mengaku banyak belajar dalam project tersebut.

Sementara itu Sutradara pementasan, Kadek Sonia Piscayanti mengatakan bahwa project ini adalah upaya mendengarkan ibu dari berbagai kalangan dan tidak menutup kemungkinan akan ada banyak lagi ibu-ibu lain yang kisahnya akan dipentaskan.

Sebagai project inisiasi, Sonia mengatakan project ini adalah awal untuk munculnya kemungkinan lebih banyak dan lebih besarnya komunitas mendukung perempuan berbicara dan bercerita di masa depan.

SINGARAJA – Pementasan teater yang selama ini terkesan berjarak antara aktor, panggung, dan naskah, tak lagi berlaku.

Kredo itu dipatahkan melalui pementasan-pementasan yang dihadirkan dalam project 11 Ibu 11 Kisah 11 Panggung.

Hal itu terungkap dalam focus group discussion yang dilangsungkan di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Minggu (30/12) lalu.

Dalam FGD itu, para aktor yang terlibat dalam pementasan dihadirkan. Termasuk Sukarmi, disabilitas tuli-bisu yang menjadi aktor dalam pementasan tersebut.

Selama FGD, para aktor dan peserta, saling memberikan ulasan, catatan, refleksi, serta evaluasi. Hal itu membuka tawaran-tawaran baru dalam proses kreatif di dunia seni peran.

Budayawan Wayan Juniartha mengatakan, pementasan 11 Ibu memberikan tawaran baru di bidangs eni peran. Salah satunya dalam hal naskah yang dibawakan.

Pementasan 11 ibu menyentuh hal-hal yang sangat personal. Hal tersebut justru luput dari narasi yang diusung dalam pementasan teater-teater besar.

“Selama ini teater cenderung sangat eksklusif. Mengambil narasi besar dengan agak mengabaikan narasi kecil. Hal itu yang membuat project ini menarik.

Bahwa ibu-ibu yang luput dari teropong publikasi kekinian, mampu menciptakan narasinya sendiri,” kata Juniartha.

Selain itu panggung yang dimanfaatkan sebagai lokasi pementasan, juga turut menjadi catatan tersendiri.

Panggung yang selama ini terkesan berjarak dengan aktor, justru bisa sangat intim dengan aktor. Misalnya Hermawati yang mementaskan monolog di pekuburan keluarga.

Lokasi itu justru menjadi latar yang kuat, karena menghubungkan aktor dengan naskah yang dibawakan.

“Saya memandang ini alternatif dan kemungkinan baru dalam konteks teater kontemporer. Panggung tidak lagi menjadi hal yang kaku, statis, dan memisahkan aktor dengan audiens.

Bahkan, sampai memisahkan aktor dengan dirinya sendiri. Pementasan ini membuat aktor sangat akrab dengan hidupnya sendiri,” imbuh Juniartha.

Salah seorang aktor, Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih mengatakan, pementasan itu bisa menyaturkan para ibu yang berasal dari latar belakang yang berbeda.

Mereka saling mendukung dalam project tersebut. Nitiasih yang seorang guru besar, mengaku banyak belajar dalam project tersebut.

Sementara itu Sutradara pementasan, Kadek Sonia Piscayanti mengatakan bahwa project ini adalah upaya mendengarkan ibu dari berbagai kalangan dan tidak menutup kemungkinan akan ada banyak lagi ibu-ibu lain yang kisahnya akan dipentaskan.

Sebagai project inisiasi, Sonia mengatakan project ini adalah awal untuk munculnya kemungkinan lebih banyak dan lebih besarnya komunitas mendukung perempuan berbicara dan bercerita di masa depan.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/