SINGARAJA – Tangis haru mewarnai akhir pementasan 11 Ibu 11 Panggung 11 Kisah, yang digelar pada Sabtu (17/11) malam.
Pementasan itu menghadirkan Tini Wahyuni, seorang pelukis, pemusik, sekaligus mantan dokter, yang bermain teater secara monolog.
Malam itu Tini Wahyuni membawakan naskah berjudul “Kinanti Cahaya Hidupku”. Naskah itu ditulis dan disutradari oleh Kadek Sonia Piscayanti.
Dalam pementasan itu, Tini menggunakan rumahnya di kawasan Jalan Ngurah Rai Singaraja untuk membawakan kisahnya.
Naskah itu sebenarnya berkisah tentang kehidupan pribadi seorang Tini Wahyuni. Kehidupannya kali ini, bisa dibilang merupakan titik kulminasi dari seluruh hidupnya.
Sempat menekuni profesi sebagai dokter, Tini memilih melepasnya. Kini ia lebih nyaman hidup sebagai pelukis, penulis, serta penyendiri.
Dua kali bercerai, memberianya banyak waktu belajar. Apalagi ia sempat kehilangan hak asuh anak tunggalnya, Kinanti Pradita.
Ia akhirnya menyadari bahwa perceraian adalah cara mempersiapkan kematian yang damai. Tini Wahyuni juga sosok yang unik. Ia memiliki kepribadian INTJ yaitu Introversion, Intuition, Thinking, and Judgment.
Biasanya orang dengan kepribadian ini suka menyendiri, berpikir sendiri, menganalisa sendiri, memutuskan sendiri, bahkan menghakimi sendiri.
Tini menyadari kepribadiannya itu membuat ia tertutup dan sinis pada dunia baru. Lewat pementasan 11 Ibu, Tuni berevolusi menjadi pribadi yang damai, lewat yoga dan meditasi yang dilakukannya.
Ia membagi kisahnya, dan menganggap kisahnya sebagai terapi bagi orang lain untuk berevolusi menjadi lebih baik.
Usai pementasan, tangis haru pun pecah. Terlebih bagi Kinanti Pradita, sang putri tunggal yang menyaksikan pementasan itu.
Kinanti langsung menghambur ke atas panggung dan memeluk ibunya. Sejumlah rekan-rekannya yang menyaksikan pementasan itu juga turut menangis haru.
Tini mengaku tertarik terlibat dalam project 11 Ibu untuk mendengar, berbagi, dan memberikan ruang bagi dirinya menjadi diri sendiri.
“Selain itu project teater ini bagi saya adalah sebuah terapi bagi diri saya, juga bagi orang lain yang mengalami kisah mirip seperti saya.
Dengan mendengar cerita saya, mungkin orang dapat mengambil pelajaran tentang hidup, perceraian, dan kematian,” kata Tini.
Sementara itu penggiat teater, Naomi Srikandi mengatakan, gagasan pementasan 11 Ibu yang dibawakan oleh Kadek Sonia Piscayanti sebenarnya gagasan yang sangat ambisius.
Bukan perkara mudah menjadikan 11 ibu sebagai seorang aktor. Apalagi membawakan kisah hidup mereka, dan mengeksposenya ke ruang-ruang publik.
Meski begitu, Naomi menganggap Sonia berhasil menjadikan teater sebagai ruang alternatif bagi perempuan untuk berbagi.
“Gagasan ini rupanya bukan hanya berkelindan di kepala, tapi nyata terjadi. Saya harap pendekatan teater dokumenter ini menjadi sebuah kegiatan yang berkelanjutan,” kata Naomi.
Sementara itu sutradara pementasan, Kadek Soni Piscayanti mengatakan, project 11 ibu 11 panggung 11 kisah sejak awal didedikasikan sebagai ruang dengar bagi perempaun.
Selama ini ibu selalu menjadi pusat kekuatan keluarga, namun jarang mendengar orang lain apalagi dirinya sendiri.
“Lewat project ini, kami harap ibu punya ruang untuk mendengar dan didengar. Targetnya membuat publik, meski terbatas, mendengar dengan jernih pula,” kata Sonia.