RadarBali.com – Polemik pengelolaan objek wisata selfie di Desa Wanagiri, Kecamatan Sukasada, Buleleng, mendapat perhatian dari Pemprov Bali.
Kemarin (15/11) Dinas Pariwisata Provinsi Bali bersama Biro Humas dan Protokol Setda Provinsi Bali, melihat langsung kondisi objek wisata yang sedang naik daun itu.
Dari pantauan di lapangan, puluhan pengunjung memadati sejumlah objek wisata selfie meski turun hujan.
Salah satu tempat yang ramai dikunjungi adalah “Menara Bambu Hitam”. Tempat ini merupakan satu dari total 8 objek wisata swafoto yang ada di Desa Wanagiri.
Lokasinya tepatnya berada di wilayah Banjar Adat Bhuana Sari. Dinamakan “Menara Bambu Hitam” karena bambu yang disusun menyerupai Menara Eifel di Paris itu berwarna hitam semua.
Menara bambu ini berdiri di atas jurang, di tepi jalan desa. Didepannya terhampar pemandangan Danau Buyan dikelilingi perbukitan hijau.
“Seluruh objek wisata swafoto (selfie) muncul sekitar tujuh tahun terakhir di Desa Wanagiri ini berada di kawasan hutan lindung,” ujar Kelian Banjar Dinas Asah Panji, Ketut Suwena.
Namun, desa setempat sudah mengajukan permohonan ke BKSDA agar bisa dimanfaatkan warga. Sejauh ini, BKSDA memberikan kebijakan agar satu banjar adat mengelola satu objek wisata swafoto.
Di Desa Wanagiri sendiri ada 4 banjar adat yakni Bhuana Sari, Yeh Ketipat, Asah Panji Kaja, dan Asah Panji Kelod.
Nah, dari delapan objek selfie yang ada di Wanagiri, cuma satu yang sudah kami ajukan ke BKSDA yakni di Banjar Adat Bhuana Sari.
Sisanya, belum ada kesepakatan dari kelompok pengelola selfie untuk diserahkan ke banjar adat.
Menurut Suwena, BKSDA membatasi empat objek saja agar tidak dikelola oleh perorangan atau kelompok.
Sebab, pengelolaan seperti itu rentan menimbulkan kecemburuan. Selain itu juga untuk mencegah bangunan serupa menjamur karena dapat menciptakan kesemrawutan.
Belum lagi risiko keamanan yang mungkin timbul. Dia memasrahkan kepada BKSDA untuk menentukan bangunannya.
Sejauh mana bisa menjorok kedepan, bagaimana bentuk bangunannya, dan sebagainya. Diakui selama ini yang baru ada petunjuk (dari BKSDA) di Bhuana Sari saja.
“Kami tidak ingin dituduh ada anak emas, anak perak dan lainnya,” tegasnya. Menyikapi hal itu, Kabid Destinasi Pariwisata, Dinas Pariwisata Provinsi Bali, Ida Bagus Adi Laksana menyebut masalah pengelolaan memang harus diselesaikan dengan duduk bersama.
Pihak desa mesti mempunyai aturan yang jelas agar objek serupa tidak menjamur. Salah satu solusi yang bisa diambil adalah dibuatkan badan usaha milik desa (Bumdes).
“Desa bisa mengajukan surat ke Bupati Buleleng untuk dibuatkan Perbup objek wisata selfie. Harapan kami biar dibuatkan badan pengelola yang jelas dibawah desa. Kelompok-kelompok pengelola dilibatkan di dalamnya,” jelasnya.
Sementara itu, pengelola dari Banjar Adat Bhuana Sari, Ketut Darma menjamin keamanan objek wisata selfie.
Dijelaskan, bahan-bahan yang dipakai untuk membuat objek wisata swafoto ini merupakan bambu-bambu milik masyarakat setempat.
Ada tiga teknisi khusus yang bertugas mengecek keamanan tempat itu setiap harinya. Mengingat, antusiasme masyarakat cukup tinggi untuk mengunjungi Menara Bambu Hitam.
Untuk tingkat kunjungan, selama sehari bila kondisi sepi tamu yang datang sekitar 30 sampai 40 orang. Saat liburan, jumlah pengunjung naik 80 persen.
“Sesuai kesepakatan di banjar pakraman, pengunjung dikenai Rp 15 ribu per orang dan bisa berfoto sepuasnya,” jelasnya.
Menurut Darma, Menara Bambu Hitam sebetulnya bukan satu-satunya ikon selfie yang ditawarkan Banjar Adat Bhuana Sari.
Di area sepanjang 15 meter ini, ada empat spot foto lagi yang mendukung satu sama lain. Salah satunya berupa cangkir yang bisa dimasuki satu orang.
Sesuai rencana, akan ada satu spot lagi yang dibangun untuk menarik lebih banyak pengunjung.(