26.9 C
Jakarta
27 April 2024, 23:19 PM WIB

Minim Regenerasi Penenun, Tenun Songket Beratan Terancam Punah

SINGARAJA – Tenun Songket Beratan kini mengalami masalah serius. Jumlah penenun kini berkurang secara drastis.

Akibatnya, produk songket yang kini telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terancam punah.

Tenun Songket Beratan sendiri, terpusat di Kelurahan Beratan. Kini, tercatat hanya ada lima orang penenun yang masih memproduksi songket secara rutin.

Mereka adalah Ketut Ayu Buktiyani, Luh Artini, Ketut Dami, Komang Suartati, dan Made Siniari. Tokoh masyarakat Beratan, I Made Ngurah Wedana mengatakan, dulunya jumlah penenun di Beratan sangat banyak.

Setiap rumah, pasti memiliki alat tenun bukan mesin. “Saya tumbuh besar itu di sekitar alat tenun. Saya bisa sekolah pun karena hasil ibu saya menenun,” kenang Ngurah Wedana.

Namun kini, keberadaan alat tenun sudah sulit ditemukan. Kebanyakan sudah rusak dimakan rayap. Penyebabnya, aktifitas menenun kain songket sudah tak digeluti lagi.

Kelian Desa Pakraman Bratan Samayaji, Ketut Benny Dirgariawan pun tak memungkiri hal tersebut. Menurut Benny, pengakuan Songket Beratan sebagai WBTB, memunculkan dilema tersendiri.

Di satu sisi, penenun kini terus menurun jumlahnya. Alat tenun pun sudah banyak yang rusak. Sementara melakukan proses regenerasi, bukan perkara mudah.

“Bukannya kami diam, kami juga melakukan langkah-langkah. Kami juga berharap pemerintah juga memiliki peran dan andil. Entah dibantu alat atau program pelatihan,” ujar Benny.

SINGARAJA – Tenun Songket Beratan kini mengalami masalah serius. Jumlah penenun kini berkurang secara drastis.

Akibatnya, produk songket yang kini telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) terancam punah.

Tenun Songket Beratan sendiri, terpusat di Kelurahan Beratan. Kini, tercatat hanya ada lima orang penenun yang masih memproduksi songket secara rutin.

Mereka adalah Ketut Ayu Buktiyani, Luh Artini, Ketut Dami, Komang Suartati, dan Made Siniari. Tokoh masyarakat Beratan, I Made Ngurah Wedana mengatakan, dulunya jumlah penenun di Beratan sangat banyak.

Setiap rumah, pasti memiliki alat tenun bukan mesin. “Saya tumbuh besar itu di sekitar alat tenun. Saya bisa sekolah pun karena hasil ibu saya menenun,” kenang Ngurah Wedana.

Namun kini, keberadaan alat tenun sudah sulit ditemukan. Kebanyakan sudah rusak dimakan rayap. Penyebabnya, aktifitas menenun kain songket sudah tak digeluti lagi.

Kelian Desa Pakraman Bratan Samayaji, Ketut Benny Dirgariawan pun tak memungkiri hal tersebut. Menurut Benny, pengakuan Songket Beratan sebagai WBTB, memunculkan dilema tersendiri.

Di satu sisi, penenun kini terus menurun jumlahnya. Alat tenun pun sudah banyak yang rusak. Sementara melakukan proses regenerasi, bukan perkara mudah.

“Bukannya kami diam, kami juga melakukan langkah-langkah. Kami juga berharap pemerintah juga memiliki peran dan andil. Entah dibantu alat atau program pelatihan,” ujar Benny.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/