29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 10:20 AM WIB

175 Desa di Bali Rawan Diterjang Tsunami, Prioritas Mitigasi Bencana

Tak bisa dimungkiri, Bali rawan bencana geologi berupa gempa dan gelombang tsunami. Maka, kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi berbagai kemungkinan itu harus dijaga, untuk bisa meminimalkan korban jiwa dan harta benda.

 

 

SEBAGIAN besar Pulau Serangan kini adalah hasil dari reklamasi tahun 1990-an. Wilayah yang berada di Kecamatan Denpasar Selatan ini termasuk rawan terdampak tsunami.

Karena itu, pulau ini dilengkap sirene dan papan petunjuk arah jalur evakuasi serta bangunan tempat evakuasi sementara (TES). 

Memasuki wilayah tersebut, maka akan menemukan sekitar tujuh plang yang berwarna jingga. Pantauan Jawa Pos Radar Bali, papan petunjuk tidak terlihat ketika memasuki gang-gang permukiman. 

Hanya ada di jalan besar menuju dermaga atau pantai. Saat ini, TES itu pun difungsikan menjadi pasar. 

Untuk antisipasi terjadi bencana terutama tsunami, setiap tahun pemerintah Kota Denpasar dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) 

mengajak seluruh masyarakat dan anak-anak sekolah di sana dari SD hingga SMP mewaspadai bahaya tsunami. 

Menurut Lurah Serangan Wayan Karma, pihaknya selalu melakukan sosialisasi setiap tahun sekali. Tidak hanya sosialisasi tapi langsung uji coba di tempat evakuasi sementara (TES), yakni bangunan setinggi 15 meter. 

“Kami berharap sih nggak terjadi (tsunami). Tapi kami sudah melakukan sosialisasi dan edukasi mudah-mudahan siap,” ucapnya.

Ketua Pengda Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Bali Ketut Ariantana menyebutkan, berdasar posisinya, Bali memang terletak sangat dekat dengan zona tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng  Erasia di sisi selatan pulau ini.

Berdasar catatan, riwayat tsunami yang berkaitan  dengan  zona  subduksi  ini adalah Tsunami Sumba pada 1977 dan Banyuwangi (1994) yang disebabkan oleh gempa bumi dengan episenter di zona subduksi tersebut.

Bila gempa di dasar laut dengan kedalaman tertentu (dangkal) terjadi di zona ini, maka hanya butuh waktu 30-60 menit tsunami sampai di pantai di Bali selatan.

Menurut data yang dibuat atas kerjasama Pemprov Bali dan German Indonesia Tsunami Early Warning System (GITEWS) yang dapat diunduh bebas melalui www.gitews.org, juga tersedia Peta Bahaya Tsunami dalam skala 1:100.000 dan 1:25.000.

Dari data yang dirilis sejak 2010 itu ditunjukkan sejumlah daerah rawan tsunami. Khususnya lagi daerah Bali selatan yang padat penduduk dan aktivitas pariwisata.

Dalam peta itu mengambil skenario gempa dengan magnitude tertentu, dengan tinggi gelombang tsunami tiga meter saja, beberapa desa terancam disapu tsunami.

Data terbaru yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2018 ini, juga menyebutkan sebanyak 8.043 desa dan kelurahan di Indonesia rawan tsunami baik sedang maupun tinggi.

Dari jumlah itu, di Bali terdapat 175 desa dan kelurahan yang rawan tsunami yang kategorinya semua tinggi.

Operator Pusat Gempa Regional III Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BBMKG) Bali, Tomy Gunawan menambahkan, untuk daerah selatan Bali sendiri

berasal dari zona subduksi sedangkan gempa yang terjadi di bagian utara sendiri akibat sesar naik busur belakang atau yang lebih dikenal dengan flores back arc thrust. 

“Dari kedua pusat gempa antara selatan dan utara yang sering terjadi itu di laut,” tuturnya. Untuk di darat sendiri sejauh ini gempa paling terbesar yang pernah tercatat terjadi di wilayah Seririt, Buleleng di tahun 1976 silam.

Saat itu magnitudo atau kekuatan gempa mencapai 6.2 Skala Richter (SR) dengan episentrum di daratan. Gempa bumi Seririt menelan korban tewas sebanyak 559 orang, luka berat 850 orang dan luka ringan 3.200 orang.

Dilaporkan juga, hampir 75 persen dari seluruh bangunan rumah di Tabanan dan Jembrana mengalami kerusakan.

“Mungkin itu paling besar. Sejauh ini setelah Seririt belum ada gempa di Bali yang berpusat di daratan melebihi gempa Seririt. Rata-rata sih magnitudonya di angka 3 SR,” terang Tomy.

Untuk yang berpusat di laut Bali pernah mengalami guncangan gempa hingga mengalami tsunami. Saat itu di tahun 1815.

Saat itu gempa yang mengguncang sebelum terjadinya bencana tsunami cukup besar namun karena minimnya alat sehingga tidak diketahui berapa tinggi air laut dan juga gempa yang mengguncang Bali.

“Diperkirakan 1.200 korban jiwa. Itu terjadi dari sesar belakang naik. Selain itu di tahun 1994 terjadi di selatan Banyuwangi yang berdampak pada Bali juga.

Kekuatan gempanya mencapi 6.8 SR. Terobservasi, air laut naik beberapa di antaranya seperti di Pantai Kuta, Pantai Soka dan Pantai Tanah Lot,” bebernya.

Melihat dari sejarah tersebut, ancaman tsunami untuk Bali sendiri, kata dia, sangat berpotensi terjadi. Ancaman potensi tsunami yang paling besar terjadi dari dua wilayah yakni selatan dan utara.

“Jadi, kalau terjadi deformasi pada lantai dasar samudera akibat gempa berkekuatan tinggi patut diwaspadai. Karena itu memicu terjadinya tsunami,” jelas Tomy.

Sebagian besar gempa yang berpotensi tsunami itu berada pada rata-rata kekuatan di atas 7 SR. Namun memiliki potensi atau tidak itu tergantung analisis dari BMKG.

“Belum bisa dipastikan juga sih (berpotensi tsunami) atau tidak. Kami harus lihat model, kalau analisa gempa kami larikan ke arah tsunami. Kira-kira ada yang mentriger (memicu) gak atau ada modelnya gak nanti di sana terlihat,” tuturnya.

Hingga saat ini, Tomy mengungkapkan alat untuk mendeteksi berpotensinya gempa terhadap tsunami sudah cukup memadai.

Sejauh ini BMKG bisa merilis informasi kurang dari lima menit untuk mengeluarkan status apakah gempa yang terjadi memiliki potensi tsunami atau tidak.

“Alat seismometer atau sensor gempa ketika terjadi gempa ada sinyal yang masuk. Kami mulai analisa, dari sumber gempa, kekuatannya berapa,

dan apakah berpotensi atau tidak. Nanti dari data itu kami masukan lagi ada skenario tsunami atau tidak. Dari rekaman itu kami bisa analisa,” bebernya.

Umumnya, tsunami diawali dengan gempa berkekuatan tinggi serta lama durasi guncangan di atas 60 detik.

Selain itu tanda yang paling terlihat sebelum terjadinya tsunami adalah bau garam yang menyengat dan adanya gemuruh dari dalam laut.

Namun, tidak semua tsunami diawali dengan gempa, bisa juga karena erupsi yang mengakibatkan longsoran jatuh ke laut sehingga mengakibatkan gelombang tinggi.

Seperti yang terjadi di Banten baru-baru ini disebabkan longsoran Gunung Anak Krakatau. “Tapi sebagian besar diawali dengan gempa tektonik.

Tapi mitigasi bencana untuk evakuasi mandiri itu sangat penting. Terutama masyarakat yang berada di pesisir laut.

Kalau sudah ada tanda-tanda semacam itu bisa langsung evakuasi mandiri mencari tempat yang aman,” tandasnya.

Memang, tidak ada jaminan Bali bebas dari terjangan tsunami. Sejarah mencatat, meski tidak besar Bali tepatnya di Seririt, Buleleng, pada 1963 pernah dihantam tsunami.

“Dulu sebelum dikenal istilah tsunami, gempa Seririt 1963 juga memicu tsunami kecil yang waktu itu orang Bali menyebutnya gejer Bali,” ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Bali, Dewa Putu Mantera, dikonfirmasi Jumat (5/1).

Ditegaskan Mantera, bukan hanya Bali Utara seperti Buleleng yang rawan tsunami. Bali Selatan, juga terutama tempat yang dijadikan objek wisata nan padat seperti Kuta, Nusa Dua, dan Sanur, juga rawan tsunami.

Bahkan, semua daerah di pesisir Bali juga rawan tsunami. Meski demikian, BPBD Bali mengaku sudah menyiapkan upaya mitigasi atau tindakan untuk mengurangi dampak bencana.

Mulai dari menyiapkan jalur evakuasi, mengedukasi, hingga sosialisasi kepada masyarakat pedesaan termasuk sampai ke sekolah-sekolah yang berada di daerah rawan tsunami tentang bahaya dan dampak tsunami.

Terkait keberadaan sarana dan prasarana untuk menghadapai tsunami seperti sirine peringatan dini dan jalur evakuasi, Mantera menyatakan sudah sangat memadai.

Pihaknya bersama instansi terkait dan pemerintah kabupaten/kota sudah memasang rambu dan jalur evakuasi di daerah rawan bencana tsunami.

Namun, sirene yang dipasang sebanyak sembilan unit. Dari jumlah itu sebanyak lima unit berada di Kabupaten Badung. Sisanya dipasang di Tabanan, Buleleng, dan Denpasar. 

Nah, menariknya ternyata jumlah sirine peringatan dini sebanyak sembilan unit ini menurut Mantera masih kurang.

Pihaknya berupaya mengusulkan tambahan sepuluh sirene kepada pemerintah pusat. Pihaknya sudah berkoordinasi dengan BMKG tentang usulan penambahan sepuluh sirene.

Mantera menyebut, bila ada tambahan sepuluh itu pun, jumlah yang dibutuhkan tetap belumlah cukup. “Lebih banyak lebih baik. Semoga pemerintah pusat mau membantu Bali,” tuturnya.

Dengan bentang pantai 82 kilometer, Badung juga masih kekurangan peranti tsunami early warning system (TEWS) atau sirene peringatan tsunami.

Menurut Plt BPBD Kabupaten Badung, I Wayan Wirya, idealnya di Badung minimal ada delapan sirene, namun saat ini hanya ada lima saja.

Wirya mengaku sudah pernah mengusulkan penambahan ke pihak Pemprov Bali untuk kekurangan sirine ini. Sejauh ini belum ada penambahan.

Harga alat TEWS ini sendiri tidak tergolong mahal bila melihat APBD Badung yang mencapai Rp 7 triliun lebih.

“Kami sudah sempat usulkan (tambahan AWS tsunami). Kalau untuk harga memang lumayan mahal. Satu alat saja (AWS) dulu harganya sekitar satu setengah miliar.

Kalau sekarang mungkin sudah dua miliaran lebih. Dan kalau kita beli harus koordinasi dengan BMKG dan BPBD Provinsi,” terang Wirya, Kamis (3/1).

Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Badung, I Wayan Netra, menambahkan bahwa lima unit sirene tsunami itu dipasang hanya

di wilayah Selatan Badung. Seperti di Pantai Tanjung Benoa, ITDC, Pantai Kedonganan, Pantai Kuta dan Pantai Double Six Seminyak.

Sementara di bagian barat Badung rata-rata masih kosong. Seperti Pantai Petitenget, Pantai Batubolong, Pantai Cemagi, dan Seseh.

“Jadi, tiga masih kurang. Yakni, untuk Pantai Petitenget, Pantai Batu Bolong dan Pantai Seseh,” terang Netra.

Alat-alat ini dipasang dan dikendalikan oleh BPBD Provinsi Bali. Di Badung hanya melakukan evaluasi dan monitoring tiap bulan.

Sejauh ini pihaknya memastikan lima alat ini berfungsi dengan baik. Karena pengecekan rutin dilakukan sebulan sekali.

Alat ini mampu mengeluarkan suara sampai radius 8 sampai 10 kilometer. 

Tak bisa dimungkiri, Bali rawan bencana geologi berupa gempa dan gelombang tsunami. Maka, kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi berbagai kemungkinan itu harus dijaga, untuk bisa meminimalkan korban jiwa dan harta benda.

 

 

SEBAGIAN besar Pulau Serangan kini adalah hasil dari reklamasi tahun 1990-an. Wilayah yang berada di Kecamatan Denpasar Selatan ini termasuk rawan terdampak tsunami.

Karena itu, pulau ini dilengkap sirene dan papan petunjuk arah jalur evakuasi serta bangunan tempat evakuasi sementara (TES). 

Memasuki wilayah tersebut, maka akan menemukan sekitar tujuh plang yang berwarna jingga. Pantauan Jawa Pos Radar Bali, papan petunjuk tidak terlihat ketika memasuki gang-gang permukiman. 

Hanya ada di jalan besar menuju dermaga atau pantai. Saat ini, TES itu pun difungsikan menjadi pasar. 

Untuk antisipasi terjadi bencana terutama tsunami, setiap tahun pemerintah Kota Denpasar dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) 

mengajak seluruh masyarakat dan anak-anak sekolah di sana dari SD hingga SMP mewaspadai bahaya tsunami. 

Menurut Lurah Serangan Wayan Karma, pihaknya selalu melakukan sosialisasi setiap tahun sekali. Tidak hanya sosialisasi tapi langsung uji coba di tempat evakuasi sementara (TES), yakni bangunan setinggi 15 meter. 

“Kami berharap sih nggak terjadi (tsunami). Tapi kami sudah melakukan sosialisasi dan edukasi mudah-mudahan siap,” ucapnya.

Ketua Pengda Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Bali Ketut Ariantana menyebutkan, berdasar posisinya, Bali memang terletak sangat dekat dengan zona tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng  Erasia di sisi selatan pulau ini.

Berdasar catatan, riwayat tsunami yang berkaitan  dengan  zona  subduksi  ini adalah Tsunami Sumba pada 1977 dan Banyuwangi (1994) yang disebabkan oleh gempa bumi dengan episenter di zona subduksi tersebut.

Bila gempa di dasar laut dengan kedalaman tertentu (dangkal) terjadi di zona ini, maka hanya butuh waktu 30-60 menit tsunami sampai di pantai di Bali selatan.

Menurut data yang dibuat atas kerjasama Pemprov Bali dan German Indonesia Tsunami Early Warning System (GITEWS) yang dapat diunduh bebas melalui www.gitews.org, juga tersedia Peta Bahaya Tsunami dalam skala 1:100.000 dan 1:25.000.

Dari data yang dirilis sejak 2010 itu ditunjukkan sejumlah daerah rawan tsunami. Khususnya lagi daerah Bali selatan yang padat penduduk dan aktivitas pariwisata.

Dalam peta itu mengambil skenario gempa dengan magnitude tertentu, dengan tinggi gelombang tsunami tiga meter saja, beberapa desa terancam disapu tsunami.

Data terbaru yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2018 ini, juga menyebutkan sebanyak 8.043 desa dan kelurahan di Indonesia rawan tsunami baik sedang maupun tinggi.

Dari jumlah itu, di Bali terdapat 175 desa dan kelurahan yang rawan tsunami yang kategorinya semua tinggi.

Operator Pusat Gempa Regional III Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BBMKG) Bali, Tomy Gunawan menambahkan, untuk daerah selatan Bali sendiri

berasal dari zona subduksi sedangkan gempa yang terjadi di bagian utara sendiri akibat sesar naik busur belakang atau yang lebih dikenal dengan flores back arc thrust. 

“Dari kedua pusat gempa antara selatan dan utara yang sering terjadi itu di laut,” tuturnya. Untuk di darat sendiri sejauh ini gempa paling terbesar yang pernah tercatat terjadi di wilayah Seririt, Buleleng di tahun 1976 silam.

Saat itu magnitudo atau kekuatan gempa mencapai 6.2 Skala Richter (SR) dengan episentrum di daratan. Gempa bumi Seririt menelan korban tewas sebanyak 559 orang, luka berat 850 orang dan luka ringan 3.200 orang.

Dilaporkan juga, hampir 75 persen dari seluruh bangunan rumah di Tabanan dan Jembrana mengalami kerusakan.

“Mungkin itu paling besar. Sejauh ini setelah Seririt belum ada gempa di Bali yang berpusat di daratan melebihi gempa Seririt. Rata-rata sih magnitudonya di angka 3 SR,” terang Tomy.

Untuk yang berpusat di laut Bali pernah mengalami guncangan gempa hingga mengalami tsunami. Saat itu di tahun 1815.

Saat itu gempa yang mengguncang sebelum terjadinya bencana tsunami cukup besar namun karena minimnya alat sehingga tidak diketahui berapa tinggi air laut dan juga gempa yang mengguncang Bali.

“Diperkirakan 1.200 korban jiwa. Itu terjadi dari sesar belakang naik. Selain itu di tahun 1994 terjadi di selatan Banyuwangi yang berdampak pada Bali juga.

Kekuatan gempanya mencapi 6.8 SR. Terobservasi, air laut naik beberapa di antaranya seperti di Pantai Kuta, Pantai Soka dan Pantai Tanah Lot,” bebernya.

Melihat dari sejarah tersebut, ancaman tsunami untuk Bali sendiri, kata dia, sangat berpotensi terjadi. Ancaman potensi tsunami yang paling besar terjadi dari dua wilayah yakni selatan dan utara.

“Jadi, kalau terjadi deformasi pada lantai dasar samudera akibat gempa berkekuatan tinggi patut diwaspadai. Karena itu memicu terjadinya tsunami,” jelas Tomy.

Sebagian besar gempa yang berpotensi tsunami itu berada pada rata-rata kekuatan di atas 7 SR. Namun memiliki potensi atau tidak itu tergantung analisis dari BMKG.

“Belum bisa dipastikan juga sih (berpotensi tsunami) atau tidak. Kami harus lihat model, kalau analisa gempa kami larikan ke arah tsunami. Kira-kira ada yang mentriger (memicu) gak atau ada modelnya gak nanti di sana terlihat,” tuturnya.

Hingga saat ini, Tomy mengungkapkan alat untuk mendeteksi berpotensinya gempa terhadap tsunami sudah cukup memadai.

Sejauh ini BMKG bisa merilis informasi kurang dari lima menit untuk mengeluarkan status apakah gempa yang terjadi memiliki potensi tsunami atau tidak.

“Alat seismometer atau sensor gempa ketika terjadi gempa ada sinyal yang masuk. Kami mulai analisa, dari sumber gempa, kekuatannya berapa,

dan apakah berpotensi atau tidak. Nanti dari data itu kami masukan lagi ada skenario tsunami atau tidak. Dari rekaman itu kami bisa analisa,” bebernya.

Umumnya, tsunami diawali dengan gempa berkekuatan tinggi serta lama durasi guncangan di atas 60 detik.

Selain itu tanda yang paling terlihat sebelum terjadinya tsunami adalah bau garam yang menyengat dan adanya gemuruh dari dalam laut.

Namun, tidak semua tsunami diawali dengan gempa, bisa juga karena erupsi yang mengakibatkan longsoran jatuh ke laut sehingga mengakibatkan gelombang tinggi.

Seperti yang terjadi di Banten baru-baru ini disebabkan longsoran Gunung Anak Krakatau. “Tapi sebagian besar diawali dengan gempa tektonik.

Tapi mitigasi bencana untuk evakuasi mandiri itu sangat penting. Terutama masyarakat yang berada di pesisir laut.

Kalau sudah ada tanda-tanda semacam itu bisa langsung evakuasi mandiri mencari tempat yang aman,” tandasnya.

Memang, tidak ada jaminan Bali bebas dari terjangan tsunami. Sejarah mencatat, meski tidak besar Bali tepatnya di Seririt, Buleleng, pada 1963 pernah dihantam tsunami.

“Dulu sebelum dikenal istilah tsunami, gempa Seririt 1963 juga memicu tsunami kecil yang waktu itu orang Bali menyebutnya gejer Bali,” ungkap Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Bali, Dewa Putu Mantera, dikonfirmasi Jumat (5/1).

Ditegaskan Mantera, bukan hanya Bali Utara seperti Buleleng yang rawan tsunami. Bali Selatan, juga terutama tempat yang dijadikan objek wisata nan padat seperti Kuta, Nusa Dua, dan Sanur, juga rawan tsunami.

Bahkan, semua daerah di pesisir Bali juga rawan tsunami. Meski demikian, BPBD Bali mengaku sudah menyiapkan upaya mitigasi atau tindakan untuk mengurangi dampak bencana.

Mulai dari menyiapkan jalur evakuasi, mengedukasi, hingga sosialisasi kepada masyarakat pedesaan termasuk sampai ke sekolah-sekolah yang berada di daerah rawan tsunami tentang bahaya dan dampak tsunami.

Terkait keberadaan sarana dan prasarana untuk menghadapai tsunami seperti sirine peringatan dini dan jalur evakuasi, Mantera menyatakan sudah sangat memadai.

Pihaknya bersama instansi terkait dan pemerintah kabupaten/kota sudah memasang rambu dan jalur evakuasi di daerah rawan bencana tsunami.

Namun, sirene yang dipasang sebanyak sembilan unit. Dari jumlah itu sebanyak lima unit berada di Kabupaten Badung. Sisanya dipasang di Tabanan, Buleleng, dan Denpasar. 

Nah, menariknya ternyata jumlah sirine peringatan dini sebanyak sembilan unit ini menurut Mantera masih kurang.

Pihaknya berupaya mengusulkan tambahan sepuluh sirene kepada pemerintah pusat. Pihaknya sudah berkoordinasi dengan BMKG tentang usulan penambahan sepuluh sirene.

Mantera menyebut, bila ada tambahan sepuluh itu pun, jumlah yang dibutuhkan tetap belumlah cukup. “Lebih banyak lebih baik. Semoga pemerintah pusat mau membantu Bali,” tuturnya.

Dengan bentang pantai 82 kilometer, Badung juga masih kekurangan peranti tsunami early warning system (TEWS) atau sirene peringatan tsunami.

Menurut Plt BPBD Kabupaten Badung, I Wayan Wirya, idealnya di Badung minimal ada delapan sirene, namun saat ini hanya ada lima saja.

Wirya mengaku sudah pernah mengusulkan penambahan ke pihak Pemprov Bali untuk kekurangan sirine ini. Sejauh ini belum ada penambahan.

Harga alat TEWS ini sendiri tidak tergolong mahal bila melihat APBD Badung yang mencapai Rp 7 triliun lebih.

“Kami sudah sempat usulkan (tambahan AWS tsunami). Kalau untuk harga memang lumayan mahal. Satu alat saja (AWS) dulu harganya sekitar satu setengah miliar.

Kalau sekarang mungkin sudah dua miliaran lebih. Dan kalau kita beli harus koordinasi dengan BMKG dan BPBD Provinsi,” terang Wirya, Kamis (3/1).

Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Badung, I Wayan Netra, menambahkan bahwa lima unit sirene tsunami itu dipasang hanya

di wilayah Selatan Badung. Seperti di Pantai Tanjung Benoa, ITDC, Pantai Kedonganan, Pantai Kuta dan Pantai Double Six Seminyak.

Sementara di bagian barat Badung rata-rata masih kosong. Seperti Pantai Petitenget, Pantai Batubolong, Pantai Cemagi, dan Seseh.

“Jadi, tiga masih kurang. Yakni, untuk Pantai Petitenget, Pantai Batu Bolong dan Pantai Seseh,” terang Netra.

Alat-alat ini dipasang dan dikendalikan oleh BPBD Provinsi Bali. Di Badung hanya melakukan evaluasi dan monitoring tiap bulan.

Sejauh ini pihaknya memastikan lima alat ini berfungsi dengan baik. Karena pengecekan rutin dilakukan sebulan sekali.

Alat ini mampu mengeluarkan suara sampai radius 8 sampai 10 kilometer. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/