TANGGAL 3 Desember adalah hari khusus yang ditetapkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) sejak 1992 sebagai hari Penyandang Disabilitas Sedunia.
Peringatan ini bertujuan untuk menghilangkan stigma negatif masyarakat. Mengembangkan wawasan masyarakat akan persoalan-persoalan yang terjadi berkaitan
dengan kehidupan para penyandang disabilitas dan memberikan dukungan untuk meningkatkan martabat, hak, dan kesejahteraan para penyandang disabilitas.
Secara umum, mereka yang tidak mampu berinteraksi dengan lingkungan dan menemui hambatan dalam berpartisipasi penuh dan efektif dengan masyarakat
karena memilki keterbatasan fisik, mental, atau pun intelektual dan sensorik disebut penyandang disabilitas (UU Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan Hak-Hak Penyandang Disabilitas).
Menurut UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang disabilitas, penyandang disabilitas ini dikategorikan menjadi tiga jenis.
Pertama, cacat fisik (tuna daksa) ditujukan bagi mereka yang memiiki anggota tubuh tidak sempurna.
Ini menyebabkan gangguan pada fungsi tubuh antara lain gerak tubuh, penglihatan, pendengaran, dan kemampuan berbicara.
Kedua, cacat mental, yaitu kelainan mental atau tingkah laku, baik cacat bawaan maupun akibat dari penyakit.
Ketiga, cacat ganda, yaitu keadaan seseorang yang menyandang dua jenis kecacatan sekaligus yakni cacat fisik dan mental. Ini sangat berpengaruh besar terhadap penyadang disabilitasnya.
Di Indonesia, berdasar survei Penduduk Antar Sensus (Supas) BPS pada 2015 menunjukkan jumlah penyandang disabilitas Indonesia sebanyak 21,5 juta jiwa.
Pada tahun 2016, data dari Sakernas menunjukkan bahwa jumlah penyandang disabilitas untuk penduduk denagn umur diatas 15 tahun adalah 12,5 % (sekitar 22,8 juta jiwa).
Dari persentase tersebut, ada sekitar 1,87 % penduduk yang dikategorikan dalam disabilitas berat, sedangkan 10,29 % sisanya adalah ringan.
Lebih parahnya lagi, perentase disabilitas terus bertambah setiap tahunnya. Sedangkan apabila dilihat dari segi jenis kelamin,
maka proporsi penyandang perempuan secara keseluruhan lebih banyak dibandingkan laki-laki, yaitu 50,09 % dan 49,01 %.
Lantas, apa sajakah yang dimilki penyandang disabilitas di Indonesia? Pertama, hak persamaan dan nondiskriminasi.
Setiap penyandang disabilitas berhak mendapatkan perlakuan dan kesempatan yang sama dengan orang lain. Berhak mendapatkan perlindungan dan manfaat hukum yang setara.
Dan yang tak kalah penting, penyandang disabilitas harus terbebas dari diskriminasi karena beberapa negara masih mengakui bahwa penyandang disabilitas perempuan dan anak sangat rentan terhadap diskriminasi.
Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak adil dan tidak seimbang yang dilakukan untuk membedakan terhadap perorangan atau kelompok.
Oleh sebab itu, negara harus melarang diskriminasi dalam bentuk dan alasan apapun. Peran nyata dari negara seperti halnya Indonesia telah meratifikasi
Konvensi mengenai Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/UN CPRD) pada tahun 2011 melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.
Perjanjian ini telah membantu menyebarkan pandangan bahwa penyandang disabilitas adalah anggota masyarakat yang setara dengan anggota lainnya.
Kedua, hak aksesbilitas. Aksesbilitas merupakan kemudahan yang diberikan negara bagi semua orang termasuk disabilitas dalam hal layanan dan fasilitas umum yang digunakan publik.
Penyandang disabilitas berhak mempunyai hak ini supaya mereka mampu hidup secara mandiri dan berpartisipasi secara aktif di masyarakat dan kehidupan.
Tidak terpenuhinya fasilitas publik pada mereka sama saja dengan memenjarakan mereka, mengekang mereka dengan ketidakadilan atas hak-hak mereka dan tentunya menentang sila kedua dan kelima Pancasila.
Kemanusian yang adil dan beradab dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, negara mempunyai kewajiban untuk menjamin tersedianya
fasilitas publik ini untuk para disabilitas, mengembangkan, menyebarluaskan, serta memantau penggunaan dan keefektifannya.
Tapi dalam realitanya, banyak sekali hak-hak penyandang disabilitas ini yang belum terpenuhi secara maksimal oleh negara.
Misalnya saja dalam hal pendidikan. Ketimpangan partisipasi sekolah antara penyandang disabilitas dan yang bukan disabilitas masih terjadi pada tahun 2018.
Berdasar Statistik Pendidikan 2018, persentase penduduk usia 5 tahun ke atas penyandang disabilitas yang masih sekolah hanya 5,48 %.
Penyandang disabilitas yang belum atau tidak pernah bersekolah sama sekali mencapai 2,91 %.
Adapun penduduk usia 5 tahun ke atas yang bukan disabilitas dan belum sekolah hanya 6,17 %. Sementara itu, penyandang disabilitas yang tidak bersekolah lagi sebesar 70,62 %.
Semakin tinggi kelompok umur, semakin rendah pula angka partisipasi sekolah (APS). APS tertinggi terjadi pada kelompok umur 7-12 tahun,
yaitu sebesar 91,12 % untuk penyandang disabilitas dan 99,29 % untuk bukan penyandang disabilitas.
Sementara itu, APS terendah terjadi pada kelompok umur 19-24 tahun, yaitu 12,96 % untuk penyandang disabilitas dan 24,53% untuk penyandang bukan disabilitas.
Dalam hal layanan fasilitas publik, sebenarnya pemerintah sudah berupaya untuk membangun fasilitas-fasilitas untuk
para disabilitas di berbagai tempat, akan tetapi hal tersebut kebanyakan hanya berpusat di pusat-pusat kota besar saja.
Sedangkan kota-kota dan tempat-tempat yang jauh dari pusat kota jarang tersentuh dengan adanya fasilitas publik untuk para disabilitas.
Maka dari itu, pemerintah harus memperhatikan lagi dan mendorong kota-kota kecil untuk memerataan pembangunan sarana publik penyandang disabilitas.
Beberapa sarana publik yang mesti diperhatikan antara lain akses jalan dengan cara membuat trotoar yang dilengkapi lantai pemandu,
jembatan penyeberangan orang yang bisa dilalui pengguna kursi roda, toilet dan lift khusus untuk disabilitas, akses ke stasiun,
halte, atau terminal bus harus aman, hingga jarak tanda zebra cross dengan garis berhenti kendaraan yang tidak terlalu dekat.
Dengan begitu, pengendara memiliki jarak yang cukup untuk berhenti dan memberikan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk menyeberang.
Selain pemerintah, masyarakat juga sangat berperan besar dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas.
Kita sebagai masyarakat Indonesia harus menghargai, menghormati, dan peduli kepada mereka.
Bentuk kepedulian kita dapat ditunjukkan misalnya dengan tidak mendeskriminasi mereka, mendahulukan mereka dalam menggunakan fasilitas umum, serta menolong dan membantu mereka jika dibutuhkan.
Kita juga harus melihat penyandang disabilitas dari kemampuannya bukan dari keterbatasannya.
Karena dengan tepenuhinya hak-hak mereka juga akan mengoptimalkan potensi yang ada pada dirinya.
Sehingga, dengan terciptanya keadilan dan kesejahteraan pada penyandang disabilitas maka sila kedua dan kelima Pancasila akan tercipta dan terlaksana. (fajar tri utami/universitas brawijaya)