DENPASAR – Aksi menentang agenda IMF – World Bank terus berlanjut. Mereka menolak pertemuan yang disebut pertemuan “rentiner” kelas dunia di Bali karena dianggap tidak pro rakyat.
Aktivis 98 Ngurah Karyadi menjelaskan kenapa IMF dan World Bank layak dikritisi. Semua berawal dari penutupan konferensi Bretton Woods tanggal 22 Juli 1944.
Menurut Ngurah Karyadi, saat itu ekonom John Maynard Keynes memimpikan IMF dan World Bank ke depan menjadi lembaga perbankan dunia yang berlandaskan persaudaraan (brotherhood of man).
Tujuannya adalah menciptakan kesejahteraan bersama (prosperity), yang dimulai dalam upaya rekonstruksi dan pemulihan ekonomi negara pasca perang dunia Il.
Namun, dalam perkembangannya, IMF dan World Bank berkembang dan hanya fokus menjadi mengejar keuntungan.
Muncul kemudian sistem koorporasi yang di dominasi Amerika Serikat di masa perang dingin di tahun 1950-an.
“Hal ini yang kemudian menjauhkan dari tujuan awal, persaudaraan dan kesejahteraan bersama seluruh rakyat dunia,” ujar Ngurah Karyadi.
Terkait utang yang diberikan IMF dan World Bank yang diklaim memberikan dampak positif bagi rakyat maupun lingkungan, Ngurah Karyadi dengan tegas mengatakan tidak.
“Dana-dana yang dikucurkan IMF dan World Bank dalam kerangka perang dingin,” bebernya. Di Indonesia sendiri, IMF baru berperan dua dasawarsa terakhir.
Khususnya pascakrisis ekonomi dan politik tahun 1997-1998. “Bank Dunia mulai berperan saat memberikan pinjaman di awal masa pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1968,
pascakrisis politik ekonomi 1965. Sebelum memberi pinjaman ke Indonesia, Bank Dunia terlebih dahulu memberikan bantuan teknis untuk identifikasi kebijakan makroekonomi,
kebijakan sektoral yang diperlukan, dan kebutuhan pendanaan yang kritis,” kata Ngurah Karyadi.
“Di masa-masa awal pemberian pinjaman, Indonesia masih dianggap sebagai negara yang memiliki nilai credit worthiness yang rendah.
Pinjaman yang diberikan oleh Bank Dunia pada saat itu menggunakan skema IDA atau pinjaman tanpa bunga, kecuali administrative fee ¾ persen per tahun dengan jangka waktu pembayaran 35 tahun dan masa tenggang 10 tahun,” sambungnya.
Ngurah Karyadi juga menyebutkan sebagai konsekuensi dari korporatisme yang dominan di tubuh lembaga tersebut, yang tanpa akuntabilitas, adalah mengabaikan hak asasi manusia (HAM) dan lingkungan hidup.
Terlebih dalam memperbaiki keadaan krisis 1997/1998, Pemerintah Indonesia meminta bantuan International Monetary Fund (IMF), melalui paket pinjaman USD 50 miliar
untuk menyehatkan perbankan dan dunia usaha melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang menyisakan persoalan sampai hari ini.
“Sebagai “dokter ekonomi”, IMF memang menjadi rujukan utama banyak negara ketika mengalami “sakit ekonomi”. Namun, langkah ini kemudian terbukti kontroversial.
Seperti layaknya dokter, IMF memberi obat yang pahit buat rakyat. Sebagai syarat mendapatkan dana talangan,
IMF melalui Washington Consensus meminta berbagai subsidi dihapuskan dan sejumlah program pemerintah dihentikan untuk menyehatkan anggaran,” bebernya.
Dia menandaskan resep IMF ini keliru dan justru memperburuk situasi. Di saat kegiatan ekonomi masyarakat melemah, seharusnya belanja pemerintah
untuk kepentingan sosial ditingkatkan untuk memberi kompensasi kepada rakyat yang paling membutuhkan, bukan memanjakan konglomerat.