DENPASAR – Pelaku industri pariwisata yang menangani market Tiongkok menuding destinasi wisata di Bali diobral murah sudah terjadi sejak lama.
Kondisi ini pun berlarut dengan memunculkan permasalahan-permasalahan baru. Ketua Asosiasi Biro Perjalanan Wisata (Asita) Bali I Ketut Ardana mengatakan, permasalahan market Tiongkok sudah terjadi sejak tahun 2001 silam yang berlanjut hingga saat ini.
Praktik persaingan bisnis yang tidak sehat ini banyak macamnya, mulai dari praktik jual beli kepala, di mana travel meminta kepada guide yang mendampingi para wisman Tiongkok ini membeli tamunya per kepala. Selain itu ada juga praktik zero tour fee.
“Praktik-praktik ini memang cukup aneh. Terkait biaya murah itu sulit ditelusuri,” jelas Ardana.
Ardana menambahkan, harus ada aturan yang jelas dan tegas dari pemerintah maupun stakeholder terkait untuk mengatasi masalah ini.
Karena para pelaku bisnis sangat takut dengan aturan yang tegas. Untuk itu, perlu kerjasama yang kompak antar pelaku bisnis untuk membuat aturan.
“Paling tidak mengawali, dibuat satu aturan standar harga jual komponen produk wisata,” tuturnya.
Kunjungan wisman Tiongkok ke Bali merupakan yang tertinggi sejak beberapa tahun terakhir. Bahkan telah menggeser kunjungan wisman asal Australia yang dulunya selalu memimpin kunjungan tertinggi.
Data Dinas Pariwisata Provinsi Bali mencatat, kunjungan wisman Tiongkok tahun 2017 lalu mencapai 1,3 juta lebih, naik 39 persen dari tahun 2016
yang mencapai 990.771 orang. Sementara kunjungan sepanjang tahun 2018 hingga bulan Agustus mencapai 961.802 orang.