28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 4:43 AM WIB

Ancam Kelian ke Komnas HAM & ORI, Majelis Desa Adat Bali Sentil AWK

DENPASAR – Kasus Yayasan Sri Radha Gopinatha, Desa Werdi Bhuwana, Mengwi, Badung memasuki babak baru.

Ancaman Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa alias AWK kepada kepala desa dan kelian setempat yang tidak menerbitkan izin ashram Sekte Hare Krishna dibalas Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali.

Kepada Radarbali.id, Ketua MDA Provinsi Bali sekaligus Bendesa Agung Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet mengatakan bahwa pihaknya mengeluarkan 10 poin pernyataan sikap untuk memberi dukungan moral kepada Bendesa Adat

Desa Adat Banjar Adat Sayan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. “MDA menindaklanjuti hasil audiensi Bendesa Adat, Perbekel, Kelian Adat, Kelian Dinas Desa Adat,

Desa Banjar Sayan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung beserta rombongan pada Jumat, 31 Januari 2020 di Kantor Majelis Desa Adat Provinsi Bali

perihal penolakan perpanjangan izin domisili Yayasan Sri Radha Gopinatha dari Sekte Hare Krisna,” ucap Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, Senin (3/2).

Pertama, Majelis Desa Adat Provinsi Bali mendukung sepenuhnya sikap Bendesa Adat, Kelian Adat, Perbekel, Kelian Dinas, dan segenap masyarakat/Krama Desa Adat/Desa Banjar Adat Sayan

Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung karena pada dasarnya aspirasi masyarakat luas di suatu daerah di Indonesia haruslah dihormati.

Masyarakat dan atau masyarakat adat berhak menolak atau juga berhak menerima dan atau mendukung keberadaan aliran-aliran keagamaan, bangunan, kegiatan-kegiatan yang ada di wilayahnya.

Oleh karenanya sikap penolakan terlebih lagi jikalau keberadaan aliran-aliran, bangunan, dan kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan prosedur dan atau ketentuan peraturan peraturan yang berlaku, haruslah dihormati.

Kedua, bahwa suasana kejiwaan atau psikologis masyarakat atau krama adat di suatu wilayah di manapun di Indonesia haruslah

dihormati dan atau dijadikan pertimbangan agar selalu tercipta dan terjaga kehidupan yang rukun, harmonis, aman, dan damai.

Ketiga, bahwa upaya-upaya intimidasi, pemaksaan terhadap penerimaan aliran-aliran keagamaan, bangunan keagamaan,

yang tidak sesuai dengan suasana psikologis masyarakat setempat adalah justru merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dari masyarakat banyak.

Keempat, bahwa oleh karenanya segala upaya paksa dan intimidasi dari semua pihak, lebih-lebih kalau dilakukan oleh pejabat negara adalah sesuatu hal yang sangat tidak patut. Oleh karenanya harus dicegah dan dihentikan.

Kelima, bahwa penganut Umat Hindu di Bali adalah Penganut Agama Hindu Bali yang jumlahnya sekitar 99,98 persen dari Penganut Hindu yang ada di Bali.

Keenam, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan menjunjung tinggi nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika

haruslah selalu mengedepankan dan menghormati etika “di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung, “Desa Kala Patra”, dan “Desa Mawa Cara”.

Ketujuh, bahwa Desa Adat, Majelis Desa Adat di semua tingkatan di Bali mempunyai tugas dan wewenang untuk mengatur hal-hal penting yang bersangkutan dengan Parahyangan, Pawongan dan Palemahan.

Sekaligus menjaga adat dan budaya Bali yang bertujuan untuk selalu tercipta dan terjaganya suasana yang “ajeg”, yaitu suasana yang rukun, harmonis, aman, damai, sejahtera membahagiakan.

Kedelapan, bahwa Aliran Keagamaan Hare Krishna adalah aliran yang sangat berbeda dengan keyakinan Hindu Bali, baik dari sudut pandang teologi, upacara, tempat ibadah, maupun etikanya.

Kesembilan, bahwa keberadaan aliran-aliran keagamaan akan tetap dihormati sepanjang keberadaannya di suatu wilayah sesuai dengan ketentuan

yang berlaku sekaligus menghormati suasana psikologis masyarakat sehingga tidak justru menciptakan keadaan yang sebaliknya.

Kesepuluh, bahwa ternyata dari hasil audiensi, didapat informasi bahwa Bangunan Yayasan Sri Radha Gopinatha yang dalam areal yang luas di wilayah Banjar Adat Sayan Baleran,

Desa Adat Banjar Sayan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung ternyata tidak dilengkapi dengan IMB, didukung hanya sekitar 4 KK yang tinggal di wilayah itu.

Selebihnya di setiap kegiatannya selalu mendatangkan banyak orang dari pengikut Aliran Hare Krishna.

“Demikian sikap dan pandangan Majelis Desa Adat ini disampaikan ke berbagai pihak terkait guna mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Om Shanti, Shanti, Shanti Om,” tandas Bendesa Agung Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet.

Sebagaimana diketahui, AWK menyatakan secara kronologi bahwa ashram tersebut telah berdiri belasan tahun dan seharusnya mendapatkan bantuan dana dari Kemenag RI Pusat.

“Tapi, sayang sekali pihak kelian tidak mau mengeluarkan surat keterangan domisili karena alasan “banyak masyarakat” yang mempertanyakan keberadaan Ashram.

Padahal pada tahun 2017, Surat Keterangan Domisili yg sama sudah pernah dikeluarkan oleh kelian lama dan kini prosesnya hanya diperpanjang,” tulis admin akun media sosial Dr. Arya Wedakarna.

AWK memperingatkan dan menegur keras pejabat di desa setempat termasuk kelian bahwa tindakan mereka menghalangi kegiatan keagamaan dan mempersulit izin adalah tindakan melanggar hukum.

AWK meminta stop diskriminasi terhadap umat Hindu yg memakai kultur dan ritual yang berbeda dengan budaya Bali karena mereka dilindungi Pasal 29 UUD 1945 dan dalam perjalanannya tidak ada UU yg dilanggar.

AWK meminta dan merekomendasikan kepada Kepala Desa dan kelian untuk mengeluarkan surat dimaksud dengan batas waktu 31 Januari 2020.

“Jika melebihi batas waktu, maka DPD RI akan merekomendasikan agar Komnas HAM dan Ombudsman turun ke Badung untuk menangani kasus distoleransi ini.

AWK menyayangkan sikap yg mana justru orang Bali sangat keras dengan semeton Bali dalam hal perizinan padahal Yayasan dimaksud adalah yayasan milik umat Hindu berbasis Weda.

AWK prihatin karena masalah surat, bantuan ratusan juta jadi hangus. Semoga tdk terjadi lagi dimasa depan. Kebenaran harus ditegakkan,” tulis admin AWK. 

DENPASAR – Kasus Yayasan Sri Radha Gopinatha, Desa Werdi Bhuwana, Mengwi, Badung memasuki babak baru.

Ancaman Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa alias AWK kepada kepala desa dan kelian setempat yang tidak menerbitkan izin ashram Sekte Hare Krishna dibalas Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali.

Kepada Radarbali.id, Ketua MDA Provinsi Bali sekaligus Bendesa Agung Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet mengatakan bahwa pihaknya mengeluarkan 10 poin pernyataan sikap untuk memberi dukungan moral kepada Bendesa Adat

Desa Adat Banjar Adat Sayan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. “MDA menindaklanjuti hasil audiensi Bendesa Adat, Perbekel, Kelian Adat, Kelian Dinas Desa Adat,

Desa Banjar Sayan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung beserta rombongan pada Jumat, 31 Januari 2020 di Kantor Majelis Desa Adat Provinsi Bali

perihal penolakan perpanjangan izin domisili Yayasan Sri Radha Gopinatha dari Sekte Hare Krisna,” ucap Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, Senin (3/2).

Pertama, Majelis Desa Adat Provinsi Bali mendukung sepenuhnya sikap Bendesa Adat, Kelian Adat, Perbekel, Kelian Dinas, dan segenap masyarakat/Krama Desa Adat/Desa Banjar Adat Sayan

Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung karena pada dasarnya aspirasi masyarakat luas di suatu daerah di Indonesia haruslah dihormati.

Masyarakat dan atau masyarakat adat berhak menolak atau juga berhak menerima dan atau mendukung keberadaan aliran-aliran keagamaan, bangunan, kegiatan-kegiatan yang ada di wilayahnya.

Oleh karenanya sikap penolakan terlebih lagi jikalau keberadaan aliran-aliran, bangunan, dan kegiatan-kegiatan yang tidak sesuai dengan prosedur dan atau ketentuan peraturan peraturan yang berlaku, haruslah dihormati.

Kedua, bahwa suasana kejiwaan atau psikologis masyarakat atau krama adat di suatu wilayah di manapun di Indonesia haruslah

dihormati dan atau dijadikan pertimbangan agar selalu tercipta dan terjaga kehidupan yang rukun, harmonis, aman, dan damai.

Ketiga, bahwa upaya-upaya intimidasi, pemaksaan terhadap penerimaan aliran-aliran keagamaan, bangunan keagamaan,

yang tidak sesuai dengan suasana psikologis masyarakat setempat adalah justru merupakan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia dari masyarakat banyak.

Keempat, bahwa oleh karenanya segala upaya paksa dan intimidasi dari semua pihak, lebih-lebih kalau dilakukan oleh pejabat negara adalah sesuatu hal yang sangat tidak patut. Oleh karenanya harus dicegah dan dihentikan.

Kelima, bahwa penganut Umat Hindu di Bali adalah Penganut Agama Hindu Bali yang jumlahnya sekitar 99,98 persen dari Penganut Hindu yang ada di Bali.

Keenam, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan menjunjung tinggi nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika

haruslah selalu mengedepankan dan menghormati etika “di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung, “Desa Kala Patra”, dan “Desa Mawa Cara”.

Ketujuh, bahwa Desa Adat, Majelis Desa Adat di semua tingkatan di Bali mempunyai tugas dan wewenang untuk mengatur hal-hal penting yang bersangkutan dengan Parahyangan, Pawongan dan Palemahan.

Sekaligus menjaga adat dan budaya Bali yang bertujuan untuk selalu tercipta dan terjaganya suasana yang “ajeg”, yaitu suasana yang rukun, harmonis, aman, damai, sejahtera membahagiakan.

Kedelapan, bahwa Aliran Keagamaan Hare Krishna adalah aliran yang sangat berbeda dengan keyakinan Hindu Bali, baik dari sudut pandang teologi, upacara, tempat ibadah, maupun etikanya.

Kesembilan, bahwa keberadaan aliran-aliran keagamaan akan tetap dihormati sepanjang keberadaannya di suatu wilayah sesuai dengan ketentuan

yang berlaku sekaligus menghormati suasana psikologis masyarakat sehingga tidak justru menciptakan keadaan yang sebaliknya.

Kesepuluh, bahwa ternyata dari hasil audiensi, didapat informasi bahwa Bangunan Yayasan Sri Radha Gopinatha yang dalam areal yang luas di wilayah Banjar Adat Sayan Baleran,

Desa Adat Banjar Sayan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung ternyata tidak dilengkapi dengan IMB, didukung hanya sekitar 4 KK yang tinggal di wilayah itu.

Selebihnya di setiap kegiatannya selalu mendatangkan banyak orang dari pengikut Aliran Hare Krishna.

“Demikian sikap dan pandangan Majelis Desa Adat ini disampaikan ke berbagai pihak terkait guna mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Om Shanti, Shanti, Shanti Om,” tandas Bendesa Agung Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet.

Sebagaimana diketahui, AWK menyatakan secara kronologi bahwa ashram tersebut telah berdiri belasan tahun dan seharusnya mendapatkan bantuan dana dari Kemenag RI Pusat.

“Tapi, sayang sekali pihak kelian tidak mau mengeluarkan surat keterangan domisili karena alasan “banyak masyarakat” yang mempertanyakan keberadaan Ashram.

Padahal pada tahun 2017, Surat Keterangan Domisili yg sama sudah pernah dikeluarkan oleh kelian lama dan kini prosesnya hanya diperpanjang,” tulis admin akun media sosial Dr. Arya Wedakarna.

AWK memperingatkan dan menegur keras pejabat di desa setempat termasuk kelian bahwa tindakan mereka menghalangi kegiatan keagamaan dan mempersulit izin adalah tindakan melanggar hukum.

AWK meminta stop diskriminasi terhadap umat Hindu yg memakai kultur dan ritual yang berbeda dengan budaya Bali karena mereka dilindungi Pasal 29 UUD 1945 dan dalam perjalanannya tidak ada UU yg dilanggar.

AWK meminta dan merekomendasikan kepada Kepala Desa dan kelian untuk mengeluarkan surat dimaksud dengan batas waktu 31 Januari 2020.

“Jika melebihi batas waktu, maka DPD RI akan merekomendasikan agar Komnas HAM dan Ombudsman turun ke Badung untuk menangani kasus distoleransi ini.

AWK menyayangkan sikap yg mana justru orang Bali sangat keras dengan semeton Bali dalam hal perizinan padahal Yayasan dimaksud adalah yayasan milik umat Hindu berbasis Weda.

AWK prihatin karena masalah surat, bantuan ratusan juta jadi hangus. Semoga tdk terjadi lagi dimasa depan. Kebenaran harus ditegakkan,” tulis admin AWK. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/