KEROBOKAN – Polemik Balai Pertemuan Perumahan Kesambi Baru, Kelurahan Kerobokan, Kabupaten Badung berlanjut.
Kemarin puluhan warga setempat “mencari keadilan” ke Kantor Camat Kuta Utara. Mereka menolak balai pertemuan yang diresmikan tanggal 19 Agustus 2001 itu “dikosongkan” sesuai permintaan Agus Trisna Hartanto.
Warga pun mempertanyakan status tanah fasum (fasilitas umum) yang melekat pada balai pertemuan itu sejak perumahan dibuka pada 1983 bisa disertifikatkan.
Warga menduga ada “permainan” di balik keluarnya sertifikat hak milik (SHM) seluas 225 meter persegi atas nama
Agus Trisna Hartanto pada 19 Januari 2018 yang ditandatangani Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Badung Samsul Bahri, A.Ptnh.M.Si.
Diketahui, SHM dikeluarkan menggunakan acuan surat ukur tanggal 7 September 2005 atau selisih 13 tahun dari penerbitan sertifikat.
Sama seperti pertemuan sebelumnya yang difasilitasi Lurah Kerobokan, mediasi di Kantor Camat Kuta Utara yang langsung dipimpin Camat I Putu Eka Parmana, S. STP, MM juga tak menemui kata sepakat.
Endingnya, sang camat memberikan tenggang waktu 2 minggu kepada Agus Trisna Hartanto untuk berkonsultasi dengan sejumlah pihak,
khususnya notaris JS Wibisono sebelum menyerahkan dokumen atau dasar hukum yang menguatkan dirinya sebagai pemilik sah bidang tanah tempat balai pertemuan dibangun.
“2 minggu yang akan datang, kami minta jawaban dari pihak RT Perum Kesambi Baru mewakili warga sekaligus Bapak Agus Trisna Hartanto.
Kita akan libatkan pejabat dari Pemkab Badung. Mungkin BPS (Badan Pusat Statistik), BPN (Badan Pertanahan Nasional), dan lain-lain. Intinya, semua pihak terkait.
Harapan kami, tentu sesuai aturan pemerintah fasilitas umum harus tetap ada,” tandas Eka Parmana.
Mengacu Peraturan Bupati Badung Nomor 35 Tahun 2005 Pasal 4, terangnya, pengembangan perumahan diwajibkan untuk menyediakan prasarana lingkungan,
utilitas umum dan fasilitas sosial dengan luasan sebesar 35 persen di luar jalan masuk menuju kawasan perumahan.
Pengembangan pembangunan perumahan atau Pengkaplingan tanah diwajibkan menyediakan prasarana lingkungan berupa jalan masuk menuju perumahan
dengan lebar Daerah Milik Jalan (Damija) minimal selebar 8 meter serta jalan lingkungan di dalam perumahan dengan lebar Damija minimal selebar 6 meter.
Prasarana Lingkungan berupa jalan dan drainase harus mengikuti ketentuan teknis yang berlaku.
“Proses pengkaplingan tanah untuk pembangunan perumahan dan pemukiman, khususnya di Kabupaten Badung tentu harus didahului dengan pengurusan izin.
Setelah izin keluar baru boleh berjalan. Dalam pengurusan izin inilah tentu prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial dengan luasan sebesar 35 persen
di luar jalan masuk menuju kawasan perumahan ini diatur,” tegas sang camat sembari menyebut blok plan tahun 1984 telah mencantumkan perihal tanah fasum dimaksud.
Di sisi lain, Agus Trisna Hartanto yang bermukim di Perumahan Kesambi Baru sejak 2004 ngotot merupakan pemilik sah (sesuai SHM) tanah tempat balai pertemuan dibangun.
“Saya mengurus surat saya (SHM, red) untuk dikeluarkan (BPN Badung, red). Apa percaya mereka (warga Kosambi Baru, red) bahwa tanah
itu hak saya kalau tidak ada surat-surat?,” ucap Agus menjawab pertanyaan kenapa baru “menggugat” tanah balai pertemuan tersebut.
Disinggung bahwa dirinya menempati tanah fasum bagian timur balai pertemuan, Agus dengan tegas menyebut dirinya tak masalah kehilangan tanah tersebut.
“Nggak apa-apa, Pak. Lebih baik hilang sekalian. Itu hak saya dan tetap akan saya perjuangkan,” ujarnya di hadapan warga, Lurah Kerobokan, dan Camat Kuta Utara.