26.2 C
Jakarta
22 November 2024, 4:29 AM WIB

Listibya Bela Koster Soal Proyek PKB Rp2,5 T dari Utang di saat Covid

DENPASAR – Pembangunan Pusat Kebudayaan Bali (PKB) di Gunaksa, Klungkung masih berlanjut. Megaproyek yang akan dibangun di tengah pandemi Covid 19 ini pun masih tetap berjalan, meski perekonomian Bali belum berangsur pulih. Bahkan, belakangan mendapat pembelaan dari para budayawan.

 

Para budayawan itu dating dari Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan Bali (Listibiya). Mereka antara lain Prof. Dr. I Made Bandem, Dr. I Wayan Astita, Ida Rsi Agung Wayabiya Sogata Karang, dan Drs. I Wayan Geriya.  Mereka bertemu Gubernur Bali I Wayan Koster, Selasa (6/4).

 

Dalam pertemuan yang berlaangsung selama hampir dua jam itu, Prof. Dr. I Made Bandem, sebagai Ketua Listibiya Provinsi Bali (2016-2021), menegaskan Bali memang membutuhkan ruang (sarana dan prasarana) yang modern dan canggih untuk melahirkan karya seni-karya seni bermutu tinggi serta berkualitas internasional.

 

“Saya meyakini bahwa pembangunan Pusat Kebudayaan Bali ini adalah bagian penting dari strategi pembinaan kebudayaan yang bersifat “horizontal” dan “vertikal”,” ujar budayawan senior dan penulis sejumlah buku penting tentang seni pertunjukkan Bali.

 

Pembinaan dan pengembangan yang bersifat horizontal adalah pembinaan dan pengembangan yang menekankan pada pemerataan, dimana kesenian Bali yang bersifat wali dan bebali (sakral dan seremonial) harus ditingkatkan keberadaan dan kualitasnya serta dikembalikan fungsinya untuk kepentingan upacara keagamaan.

 

Kesenian ini menjadi sumber penciptaan kesenian balih-balihan (sekuler), dan apabila seni-seni sakral itu punah maka roh (taksu) kesenian Bali akan punah pula.

 

Sebaliknya, pembinaan dan pengembangan yang bersifat vertikal bertumpu sepenuhnya pada peningkatan mutu (kualitas) dan dilakukan dengan mengadakan festival-festival, parade, lomba-lomba, rekonstruksi, kreativitas, inovasi dan cara-cara lainnya agar kesenian itu memiliki standar nasional, dan internasional.

 

Pembinaan dan pengembangan yang bersifat vertikal ini juga dilakukan dengan penetapan standarisasi dan sertifikasi terhadap sekaa-sekaa, sanggar-sanggar seni, yayasan, dan galeri yang kini jumlahnya mencapai 10.049 buah menurut data Listibiya tahun 2015.

 

Strategi pembinaan dan pengembangan dengan cara terakhir ini mutlak membutuhkan adanya Pusat Kebudayaan Bali.

 

“Festival, parade, lomba-lomba, rekonstruksi, serta berbagai kegiatan itu membutuhkan panggung serta ruang pamer dengan standar tinggi, yang tentunya nanti akan tersedia di Pusat Kebudayaan Bali,” ujarnya.

 

Sebelumnya, politisi Partai Golkar Gde Sumarjaya Linggih sempat mengkritisi pembangunan Pusat Kebudayaan Bali dengan meminta agar kebudayaan Bali jangan di-“museum”kan.

 

Pernyataan itu telah memicu bantahan keras dari sejumlah budayawan terkemuka Bali.

Menanggapi hal itu, Prof. I Made Bandem menyatakan bahwa memang keliru jika ada yang beranggapan bahwa Pusat Kebudayaan Bali bertujuan untuk “memuseumkan kebudayaan Bali.”

 

“Kekeliruan terletak pada memaknai arti kata “museum” dan juga arti kata “kebudayaan.” Museum bukanlah gudang untuk menyimpan benda-benda mati. Ia adalah gedung atau ruangan untuk memamerkan hasil karya kreativitas, karya budaya, peninggalan sejarah, bahkan tengkorak manusia purba. Tentu diikuti dengan “story telling” yang jelas dan menggugah. Fungsi utamanya adalah edukasi, mengajarkan dan memberi inspirasi tentang puncak-puncak kebudayaan,” tegasnya.

 

Prof. Bandem mengingatkan bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang dibawa manusia sedari lahir. Manusia lahir hanya membawa kecerdasan atau bakat, seperti bakat matematika, bahasa, seni rupa, seni gerak, seni berkomunikasi, dan lain-lainnya.

 

“Kebudayaan adalah hasil pendidikan, interaksi, asimilasi, difusi, imaginasi, kreativitas, inovasi, bahkan hasil rekayasa. Jadi dengan demikian kebudayaan bersifat dinamis dan membutuhkan prasarana dan sarana seperti Pusat Kebudayaan Bali untuk pembinaan dan pengembangannya,” tutupnya.

 

Sementara itu, Gubernur Bali I Wayan Koster menyampaikan berharap nantinya Pusat Kebudayaan Bali akan bisa sungguh-sungguh berperan tidak hanya dalam melestarikan warisan tradisi saja.

 

“Tetapi juga dalam mengembangkan kesenian dan kebudayaan kita agar dapat menjawab persoalan dan tantangan jaman,” sebutnya. 

 

Gubernur Koster memaparkan bahwa Pusat Kebudayaan Bali, yang dibangun di atas lahan seluas lebih dari 300 hektar, akan terdiri dari bangunan-bangunan yang menggambarkan filosofi Sat Kerthi dalam bentuk Padma Bhuwana, seperti bangunan kawasan danu, segara, wana, atma, jana dan jagat kerthi.

 

Di sentrifugal dari kawasan itu barulah dibangun berbagai teater dengan dengan ukuran yang berbeda-beda seperti procenium stage (dua sisi), thrust stage (tapal kuda 3 sisi), arena stage (panggung 4 sisi), dan panggung yang lebih kecil untuk seni-seni khas lainnya. Gedung untuk Pusat Data Kebudayaan Bali juga akan dibangun di sana.

 

Pusat Kebudayaan Bali ini juga dilengkapi dengan museum tematik, seperti Museum Seni Lukis, Museum Patung, Museum Tekstil, Museum Kerajinan (Ukir), Museum Obat, Museum Topeng, Museum Subak, dan Museum Digital lainnya.

 

Kawasan ekonomi kreatif juga disiapkan untuk memperoleh dana pemeliharaan kawasan kebudayaan itu. Kompleks kawasan kebudayaan ini digunakan sebagai wahana, pemeliharaan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan seni dan budaya dalam berbagai bentuk keggiatan seperti Pesta Kesenian Bali, Festival Bali Jani, Jantra Kebudayaan Bali, dan Perayaan Kebudayaan Dunia.

 

Dalam pertemuan tersebut para pimpinan Listibiya juga melaporkan bahwa masa bakti mereka telah berakhir pada Januari 2021. Sesuai dengan PERDA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan Pemajuan Kebudayaan Bali, Listibiya Provinsi Bali akan dilebur menjadi Majelis Kebudayaan Bali (MKB), sebuah organisasi non Pemerintah dengan cakupan yang lebih luas dari Listibiya sendiri, betugas membantu Pemerintah untuk memelihara, mengembangkan, memanfaatkan, dan membina kebudayaan Bali.

 

Listibiya Provinsi Bali didirikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali tahun 1966 dan selama 55 tahun eksistensinya telah menghasilkan karya-karya monumental antara lain: (1) Mendirikan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar tahun 1967, (2) Merumuskan Klasifikasi Tari Bali: Wali, Bebali, Balih-balihan yang mengantar 9 tari Bali ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda tahun 2015, (3) Memberi inspirasi Gubernur DKI Jakarta , Ali Sadikin untuk membentuk Dinas Kebudayaan DKI Jakarta (1970-an), dan menjadi landasan pembentukan Dinas Kebudayaan Bali tahun 1986, (4) Melahirkan Pesta Seni di Lilabhwana pada 1974, 1975, dan 1976 yang menjadi pijakan Pesta Kesenian Bali (PKB) pertama pada 1979, (5) Melahirkan Utsawa Merdangga (Festival Gong Kebyar se-Bali, 1966-1971 yang kini menjadi acara unggulan Pesta Kesenian Bali, dan sejumlah prestasi lainnya yang menjadi dasar pembinaan dan pengembangan kesenian dan kebudayaan Bali masa kini.

 

DENPASAR – Pembangunan Pusat Kebudayaan Bali (PKB) di Gunaksa, Klungkung masih berlanjut. Megaproyek yang akan dibangun di tengah pandemi Covid 19 ini pun masih tetap berjalan, meski perekonomian Bali belum berangsur pulih. Bahkan, belakangan mendapat pembelaan dari para budayawan.

 

Para budayawan itu dating dari Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan Bali (Listibiya). Mereka antara lain Prof. Dr. I Made Bandem, Dr. I Wayan Astita, Ida Rsi Agung Wayabiya Sogata Karang, dan Drs. I Wayan Geriya.  Mereka bertemu Gubernur Bali I Wayan Koster, Selasa (6/4).

 

Dalam pertemuan yang berlaangsung selama hampir dua jam itu, Prof. Dr. I Made Bandem, sebagai Ketua Listibiya Provinsi Bali (2016-2021), menegaskan Bali memang membutuhkan ruang (sarana dan prasarana) yang modern dan canggih untuk melahirkan karya seni-karya seni bermutu tinggi serta berkualitas internasional.

 

“Saya meyakini bahwa pembangunan Pusat Kebudayaan Bali ini adalah bagian penting dari strategi pembinaan kebudayaan yang bersifat “horizontal” dan “vertikal”,” ujar budayawan senior dan penulis sejumlah buku penting tentang seni pertunjukkan Bali.

 

Pembinaan dan pengembangan yang bersifat horizontal adalah pembinaan dan pengembangan yang menekankan pada pemerataan, dimana kesenian Bali yang bersifat wali dan bebali (sakral dan seremonial) harus ditingkatkan keberadaan dan kualitasnya serta dikembalikan fungsinya untuk kepentingan upacara keagamaan.

 

Kesenian ini menjadi sumber penciptaan kesenian balih-balihan (sekuler), dan apabila seni-seni sakral itu punah maka roh (taksu) kesenian Bali akan punah pula.

 

Sebaliknya, pembinaan dan pengembangan yang bersifat vertikal bertumpu sepenuhnya pada peningkatan mutu (kualitas) dan dilakukan dengan mengadakan festival-festival, parade, lomba-lomba, rekonstruksi, kreativitas, inovasi dan cara-cara lainnya agar kesenian itu memiliki standar nasional, dan internasional.

 

Pembinaan dan pengembangan yang bersifat vertikal ini juga dilakukan dengan penetapan standarisasi dan sertifikasi terhadap sekaa-sekaa, sanggar-sanggar seni, yayasan, dan galeri yang kini jumlahnya mencapai 10.049 buah menurut data Listibiya tahun 2015.

 

Strategi pembinaan dan pengembangan dengan cara terakhir ini mutlak membutuhkan adanya Pusat Kebudayaan Bali.

 

“Festival, parade, lomba-lomba, rekonstruksi, serta berbagai kegiatan itu membutuhkan panggung serta ruang pamer dengan standar tinggi, yang tentunya nanti akan tersedia di Pusat Kebudayaan Bali,” ujarnya.

 

Sebelumnya, politisi Partai Golkar Gde Sumarjaya Linggih sempat mengkritisi pembangunan Pusat Kebudayaan Bali dengan meminta agar kebudayaan Bali jangan di-“museum”kan.

 

Pernyataan itu telah memicu bantahan keras dari sejumlah budayawan terkemuka Bali.

Menanggapi hal itu, Prof. I Made Bandem menyatakan bahwa memang keliru jika ada yang beranggapan bahwa Pusat Kebudayaan Bali bertujuan untuk “memuseumkan kebudayaan Bali.”

 

“Kekeliruan terletak pada memaknai arti kata “museum” dan juga arti kata “kebudayaan.” Museum bukanlah gudang untuk menyimpan benda-benda mati. Ia adalah gedung atau ruangan untuk memamerkan hasil karya kreativitas, karya budaya, peninggalan sejarah, bahkan tengkorak manusia purba. Tentu diikuti dengan “story telling” yang jelas dan menggugah. Fungsi utamanya adalah edukasi, mengajarkan dan memberi inspirasi tentang puncak-puncak kebudayaan,” tegasnya.

 

Prof. Bandem mengingatkan bahwa kebudayaan bukanlah sesuatu yang dibawa manusia sedari lahir. Manusia lahir hanya membawa kecerdasan atau bakat, seperti bakat matematika, bahasa, seni rupa, seni gerak, seni berkomunikasi, dan lain-lainnya.

 

“Kebudayaan adalah hasil pendidikan, interaksi, asimilasi, difusi, imaginasi, kreativitas, inovasi, bahkan hasil rekayasa. Jadi dengan demikian kebudayaan bersifat dinamis dan membutuhkan prasarana dan sarana seperti Pusat Kebudayaan Bali untuk pembinaan dan pengembangannya,” tutupnya.

 

Sementara itu, Gubernur Bali I Wayan Koster menyampaikan berharap nantinya Pusat Kebudayaan Bali akan bisa sungguh-sungguh berperan tidak hanya dalam melestarikan warisan tradisi saja.

 

“Tetapi juga dalam mengembangkan kesenian dan kebudayaan kita agar dapat menjawab persoalan dan tantangan jaman,” sebutnya. 

 

Gubernur Koster memaparkan bahwa Pusat Kebudayaan Bali, yang dibangun di atas lahan seluas lebih dari 300 hektar, akan terdiri dari bangunan-bangunan yang menggambarkan filosofi Sat Kerthi dalam bentuk Padma Bhuwana, seperti bangunan kawasan danu, segara, wana, atma, jana dan jagat kerthi.

 

Di sentrifugal dari kawasan itu barulah dibangun berbagai teater dengan dengan ukuran yang berbeda-beda seperti procenium stage (dua sisi), thrust stage (tapal kuda 3 sisi), arena stage (panggung 4 sisi), dan panggung yang lebih kecil untuk seni-seni khas lainnya. Gedung untuk Pusat Data Kebudayaan Bali juga akan dibangun di sana.

 

Pusat Kebudayaan Bali ini juga dilengkapi dengan museum tematik, seperti Museum Seni Lukis, Museum Patung, Museum Tekstil, Museum Kerajinan (Ukir), Museum Obat, Museum Topeng, Museum Subak, dan Museum Digital lainnya.

 

Kawasan ekonomi kreatif juga disiapkan untuk memperoleh dana pemeliharaan kawasan kebudayaan itu. Kompleks kawasan kebudayaan ini digunakan sebagai wahana, pemeliharaan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan seni dan budaya dalam berbagai bentuk keggiatan seperti Pesta Kesenian Bali, Festival Bali Jani, Jantra Kebudayaan Bali, dan Perayaan Kebudayaan Dunia.

 

Dalam pertemuan tersebut para pimpinan Listibiya juga melaporkan bahwa masa bakti mereka telah berakhir pada Januari 2021. Sesuai dengan PERDA Nomor 4 Tahun 2020 tentang Penguatan Pemajuan Kebudayaan Bali, Listibiya Provinsi Bali akan dilebur menjadi Majelis Kebudayaan Bali (MKB), sebuah organisasi non Pemerintah dengan cakupan yang lebih luas dari Listibiya sendiri, betugas membantu Pemerintah untuk memelihara, mengembangkan, memanfaatkan, dan membina kebudayaan Bali.

 

Listibiya Provinsi Bali didirikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Bali tahun 1966 dan selama 55 tahun eksistensinya telah menghasilkan karya-karya monumental antara lain: (1) Mendirikan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar tahun 1967, (2) Merumuskan Klasifikasi Tari Bali: Wali, Bebali, Balih-balihan yang mengantar 9 tari Bali ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda tahun 2015, (3) Memberi inspirasi Gubernur DKI Jakarta , Ali Sadikin untuk membentuk Dinas Kebudayaan DKI Jakarta (1970-an), dan menjadi landasan pembentukan Dinas Kebudayaan Bali tahun 1986, (4) Melahirkan Pesta Seni di Lilabhwana pada 1974, 1975, dan 1976 yang menjadi pijakan Pesta Kesenian Bali (PKB) pertama pada 1979, (5) Melahirkan Utsawa Merdangga (Festival Gong Kebyar se-Bali, 1966-1971 yang kini menjadi acara unggulan Pesta Kesenian Bali, dan sejumlah prestasi lainnya yang menjadi dasar pembinaan dan pengembangan kesenian dan kebudayaan Bali masa kini.

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/