DENPASAR – Coaltrans, konferensi industri batubara terbesar di Asia yang dihadiri pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral di Nusa Dua
mulai kemarin menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia masih memberikan dukungan yang sangat besar terhadap industri batubara.
Padahal, sudah jelas terbukti batubara menghasilkan polusi tinggi dan dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat setempat.
Ahli polusi udara Greenpeace Lauri Myllyvirta kepada awak media mengatakan, sembilan dari sepuluh orang di dunia menghirup udara yang terkontaminasi polutan dalam level yang berbahaya.
“Meningkatnya kembali penggunaan batubara, gas dan minyak bumi pada 2017, artinya tidak hanya meningkatkan emisi CO2
tetapi juga meningkatkan emisi polutan udara beracun. Bakal membawa risiko bagi kesehatan masyarakat. Ini harus diatasi segera,” ujar Lauri Myllyvirta.
Dijelaskan, batubara telah menjadi sumber energi yang ditinggalkan, dan digantikan oleh sumber energi terbarukan di belahan dunia lainnya seperti Amerika dan Eropa.
Bahkan, negara-negara di Asia Timur seperti China juga telah memanfaatkan tenaga surya dan angin dengan kapasitas yang sangat besar.
Lanjutnya, Deutsche Bank, bank terbesar di Jerman, telah menyatakan akan menghentikan mendanai proyek batubara sebagai bagian dari komitmen terhadap Kesepakatan Paris untuk menghentikan dampak perubahan iklim.
Selain itu, badan pendanaan internasional seperti Bank Dunia, Bank Export Import Amerika Serikat, dan Bank Eropa
untuk Rekonstruksi dan Pembangunan, juga memutuskan untuk berhenti berinvestasi di pembangkit listrik tenaga Batubara.
Berdasarkan data yang dimiliki, polusi udara dari pembangkit listrik tenaga batubara di Asia Tenggara telah berkontribusi pada 20.000 kematian dini per tahun.
Jika rencana pembangunan PLTU-PLTU baru berjalan, diperkirakan angka ini bisa meningkat hingga 70.000 dari bermacam penyakit seperti kanker paru-paru, stroke, serta penyakit pernafasan.
Sebagai catatan, pPara pelaku industri fosil saat ini sedang berkumpul, membangun jaringan, dan melakukan kesepakatan-kesepakatan bisnis di sebuah hotel mewah di Bali.
Disebutkan Bali yang dikenal pulau yang indah saat ini sedang menghadapi persoalan serius terkait batubara.
Beberapa unsur masyarakat di Celukan Bawang sedang berupaya menentang rencana ekspansi PLTU di daerah tersebut, yang akan berdampak pada lingkungan serta sumber penghidupan masyarakat sebagai petani dan nelayan.
“Lagipula batubara adalah industri yang akan segera berakhir. Tidak hanya kesadaran global akan dampak buruknya, tetapi investor-investor besar mulai
enggan menaruh modalnya di sektor ini dalam rangka menghindari risiko aset yang terbengkalai,” jelas Hindun Mulaika, Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia.
Beberapa hari lalu aktivis Greenpeace Indonesia juga menghalau tongkang-tongkang pengangkut batu bara yang secara ilegal memasuki Taman Nasional Karimunjawa.
Riset dan dokumentasi yang dilakukan Greenpeace memperlihatkan betapa praktik ilegal ini merusak terumbu karang dan berdampak pada penghasilan nelayan setempat.
“Saat industri batubara berkumpul di Bali untuk menyelamatkan masa depan bisnis mereka, kesehatan dan pencaharian masyarakat Indonesia sedang terancam.
Negeri ini tidak layak mendapatkan masa depan yang dibangun di atas batubara. Ini saatnya pemerintah berpihak pada masyarakat dibanding industri fosil, dan segera beralih ke energi terbarukan,” ujar Hindun Mulaika.