26.9 C
Jakarta
27 April 2024, 2:59 AM WIB

Bali Blackout, Greenpeace: Stop Proyek PLTU, Bangun Panel Surya

DENPASAR – Mati listrik alias blackout yang terjadi Rabu (5/9) selama kurang lebih 2 jam mendapat tanggapan dari pihak Greenpeace Indonesia.

Menurut Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Didit Haryo, kepada Jawa Pos Radar Bali, blackout akibat kerusakan jaringan

di PLTU Pacitan dan Paiton secara otomatis berdampak pada sektor pariwisata dan mempengaruhi masyarakat Bali secara umum.

“Ini adalah peringatan nyata bagi Bali untuk tidak menggantungkan lagi sumber energi dari PLTU batubara dan segera beralih ke energi terbarukan (EBT) sebagai solusi jangka panjang,” ujar Didit.

Menurutnya, ketergantungan terhadap pembangkit energi kotor batubara skala besar membuat Bali rentan seperti kejadian saat ini.

Hal ini dikarenakan Bali tidak memiliki sumber alternatif jika sistem listrik yang ada sekarang gagal atau mengalami kerusakan.

Baginya, Pulau Bali memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar terutama matahari. Karena di Bali, matahari bersinar sepanjang tahun.

Dan, kata dia, penelitian mengungkapkan bahwa kebutuhan energi bisa tercukupi hanya dengan menggunakan 1 persen wilayah Bali untuk Pembangkit Tenaga Surya (PLTS).

“Membangun PLTU Batubara di Bali jelas pilihan salah, karena fluktuasi harga batubara dan impor peralatan pembangkit

yang menggunakan mata uang asing pada akhirnya akan membebankan konsumen dengan harga listrik yang mahal,” sebutnya.

Katanya lagi, berbeda dengan energi terbarukan seperti panel surya yang bisa dipasang oleh individu dan bisnis, serta bahan bakar yang tersedia gratis dari alam.

“Potensi ini akan sangat menguntungkan masyarakat dan pelaku bisnis pariwisata Bali dalam jangka panjang dari segi apapun,” pungkasnya.

DENPASAR – Mati listrik alias blackout yang terjadi Rabu (5/9) selama kurang lebih 2 jam mendapat tanggapan dari pihak Greenpeace Indonesia.

Menurut Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, Didit Haryo, kepada Jawa Pos Radar Bali, blackout akibat kerusakan jaringan

di PLTU Pacitan dan Paiton secara otomatis berdampak pada sektor pariwisata dan mempengaruhi masyarakat Bali secara umum.

“Ini adalah peringatan nyata bagi Bali untuk tidak menggantungkan lagi sumber energi dari PLTU batubara dan segera beralih ke energi terbarukan (EBT) sebagai solusi jangka panjang,” ujar Didit.

Menurutnya, ketergantungan terhadap pembangkit energi kotor batubara skala besar membuat Bali rentan seperti kejadian saat ini.

Hal ini dikarenakan Bali tidak memiliki sumber alternatif jika sistem listrik yang ada sekarang gagal atau mengalami kerusakan.

Baginya, Pulau Bali memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar terutama matahari. Karena di Bali, matahari bersinar sepanjang tahun.

Dan, kata dia, penelitian mengungkapkan bahwa kebutuhan energi bisa tercukupi hanya dengan menggunakan 1 persen wilayah Bali untuk Pembangkit Tenaga Surya (PLTS).

“Membangun PLTU Batubara di Bali jelas pilihan salah, karena fluktuasi harga batubara dan impor peralatan pembangkit

yang menggunakan mata uang asing pada akhirnya akan membebankan konsumen dengan harga listrik yang mahal,” sebutnya.

Katanya lagi, berbeda dengan energi terbarukan seperti panel surya yang bisa dipasang oleh individu dan bisnis, serta bahan bakar yang tersedia gratis dari alam.

“Potensi ini akan sangat menguntungkan masyarakat dan pelaku bisnis pariwisata Bali dalam jangka panjang dari segi apapun,” pungkasnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/