33.5 C
Jakarta
19 April 2024, 12:48 PM WIB

TPA Suwung Kritis, CCEP Indonesia Bangun Gerakan Hulu-Hilir Menuju Bali Zero Waste

DENPASAR, radarbali.id- TPA Suwung overload. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, data Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali menunjukkan volume sampah yang masuk ke lokasi itu terus bertambah. Ironisnya, dominan yang dibuang bukanlah residu, melainkan sampah yang belum diolah.

Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, I Made Teja dihubungi awal September 2022 tak menampik volume sampah yang masuk ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Suwung terus meningkat meskipun pariwisata Bali lumpuh 2 tahun terakhir, tepatnya pada tahun 2020 dan 2021.

Secara berurutan volume sampah dimaksud adalah 1.030.000 m3 (meter kubik, red) pada tahun 2017; 1.098.000 m3 pada 2018; 1.147.000 m3 pada 2019; 1.376.000 m3 pada 2020; dan 1.660.000 m3 pada 2021.

Kondisi mengkhawatirkan inilah yang membuat I Made Teja menegaskan TPA Suwung yang beroperasi sejak tahun 1980 dan memiliki luas 32 hektare akan ditutup pada akhir Oktober 2022. Selain karena kapasitasnya yang overload, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 menjadi alasan utama kebijakan tersebut akan diambil.

Wacana penutupan yang dilontarkan I Made Teja ini mendapatkan respons sangat serius dari berbagai pihak. Fakta bahwa per hari TPA Suwung menampung 1.000 ton lebih sampah kiriman dari Denpasar dan Badung dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru dan merusak citra bangsa Indonesia yang tahun ini mengemban amanah sebagai Presidensi G20.

Sebulan jelang penutupan TPA Suwung, Pemerintah Kota Denpasar diketahui mengejar perampungan 3 proyek Tempat Pengolahan Sampah Terpadu, yakni TPST Desa Padangsambian Kaja, TPST Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, dan TPST Desa Kertalangu.

Kepala Bidang Pengolahan Sampah dan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Denpasar, Ketut Adi Wiguna menjelaskan pihaknya menargetkan 3 TPST tersebut tuntas pada awal Oktober 2022. Nantinya sampah-sampah dan residu yang biasa dibuang ke TPA Suwung akan dibawa ke 3 TPST yang diklaim mampu menampung kurang lebih 1.020 ton sampah per hari.

“Begitu TPST beroperasional, barulah TPA Suwung ditutup. Kalau tidak seperti itu, tentunya akan merugikan wilayah Sarbagita yang meliputi Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan. Kami berusaha mendorong agar semua waktunya tepat,” jelasnya.

EDUKASI SAMPAH: Brand Ambassador CCEP Indonesia, I Komang Ruditha Hartawan saat menjadi bintang tamu podcast Case Closed dan diwawancara host profesional yang juga advokat kondang Nyoman Gde Ponglik Sudiantara, Jumat, 2 September 2022.

 

Dikejar lebih jauh mengenai progres pembangunan 3 TPST ini, Kepada Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Kota Denpasar, Ida Bagus Putra Wirabawa menjawab perihal tersebut sepenuhnya ditangani Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar. “Pembangunan TPST ada di Satker PUPR,” ungkapnya tidak memberikan jawaban tegas.

Di sisi lain, tidak diketahui dengan gamblang persiapan Kabupaten Badung selaku penyumbang sampah dan residu terbanyak ke TPA Suwung. Pasalnya saat Pemkot Denpasar sibuk menuntaskan 3 TPST, Pemkab Badung tampak santai-santai saja. Demikian juga dengan Kabupaten Tabanan dan Gianyar.

Padahal diketahui pada Senin, 11 November 2019 silam, Bupati Badung, I Nyoman Giri Prasta berkunjung langsung ke kediaman Walikota Denpasar, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra pascapembatasan kuota pembuangan sampah di TPA Suwung.

Kala itu, di depan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Badung Putu Eka Merthawan, Kepala DLHK Denpasar Ketut Wisada, Sekretaris Daerah Kabupaten Badung I Wayan Adi Arnawa, dan sejumlah tokoh yang hadir di Griya Sebasari Renon Denpasar, Giri Prasta menegaskan penutupan TPA Suwung yang tiba-tiba membuat pihaknya kebingungan.

Giri Prasta pun meminta toleransi waktu membuang sampah untuk sementara ke TPA Suwung antara 6 bulan hingga 1 tahun sembari mempersiapkan infrastruktur untuk pengolahan sampah secara mandiri pada 2021.

Faktanya, hingga tahun 2021 berakhir, Kabupaten Badung masih mengandalkan TPA Suwung dan belum sama sekali mandiri sampah. Program Badung mandiri sampah 2021 yang diwacanakan Giri Prasta gagal total.

Syukurlah wajah Badung diselamatkan oleh Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)-3 R (Reduce, Reuse, Recycle), Desa Adat Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Mulai beroperasi dari akhir tahun 2003, TPST-3 R Desa Adat Seminyak ditopang penuh oleh desa adat setempat dan Coca-Cola Europasific Partners (CCEP) Indonesia.

Piranti industri pariwisata seperti keberadaan warung, art shop, villa, restoran, hotel, dan usaha lainnya di wilayah Desa Adat Seminyak dan dukungan dari sejumlah pihak membuat TPST-3 R ini berkembang dan bertahan, bahkan berkembang. Biaya operasional yang mencapai 160.000.000 hingga 180.000.000 per bulan pun bisa dipenuhi. Bahkan TPST-3 R Desa Adat Seminyak bisa membagikan SHU alias Sisa Hasil Usaha tiap tahun.

I Komang Ruditha Hartawan, Ketua Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)-3 R, Desa Adat Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung menyebut armada TSPT-3 R setempat yang total berjumlah 23 unit dengan tenaga kerja 45 orang yang digunakan pihaknya terbagi menjadi dua, yakni khusus anorganik dan organik.

Masuk ke TPST 3-R Seminyak, sampah organik basah diolah menjadi pakan ternak dan sampah organik kering menjadi kompos. Yang anorganik dipilah dan dikirim ke pabrik-pabrik kerja sama dengan pihak ketiga. Menariknya, sampah anorganik ini juga disulap menjadi sejumlah benda yang memiliki nilai ekonomis serta barang kerajinan bekerja sama dengan sejumlah seniman.

Koming- sapaan akrab I Komang Ruditha Hartawan- berkisah TPST-3 R Desa Adat Seminyak beroperasi sejak Desember 2003 karena banyaknya sampah warga yang tidak terangkut oleh layanan Pemkab Badung melalui Dinas Lingkungan dan Kebersihan kala itu karena yang dilayani hanya jalur utama saja.

Kegiatan utama pihaknya adalah melakukan reduce, reuse, dan recycle. “Di-support penuh oleh Coca-Cola Europasific Partners (CCEP) Indonesia, TPST-3 R Desa Adat Seminyak memiliki 7 program kerja,” tegas Koming. Pertama, pengangkutan sampah padat, yakni sampah basah, kering, dan kebun dari sumber.

Kedua, memilah sampah semaksimal mungkin untuk mengurangi pembuangan sampah residu ke TPA sehingga usia TPA Suwung semakin panjang. Ketiga, pembuatan pupuk kompos dari hasil pemilahan sampah untuk disalurkan kembali ke penghasil sampah seperti villa, hotel, restoran, dan usaha lain yang memiliki kebun.

Keempat, pembuatan pakan ternak. Koming menjabarkan hasil pemilahan sampah organik basah seperti sampah hotel, restoran, dan warung makan dijadikan pakan ternak dan dibagikan secara gratis bagi kelompok ternak di sekitaran TPA Regional Sarbagita Suwung.

Kelima, program pembelian barang daur ulang atau bank sampah. TPST-3 R Desa Adat Seminyak bekerja sama dengan kelompok PKK Banjar Adat di wilayah Seminyak dengan melakukan penimbangan di masing-masing banjar 2 kali sebulan. Program ini jelas Koming berjalan baik karena adanya sanksi adat berupa denda bagi ibu PKK yang tidak memilah dan atau menimbang sampah daur ulang.

Keenam, kami memiliki program pendidikan lingkungan sejak tahun 2015. Kami dari TPST3R Desa Adat Seminyak bekerja sama dengan Coca-Cola Europasific Partners (CCEP) Indonesia membangun learning center yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan betapa pentingnya sampah dikelola baik agar tidak mencemari lingkungan. Edukasi ini menyasar adik-adik kita di tingkat SD, SMP, dan SMA. Termasuk berbagi pengalaman kepada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan pengelola TPST yang baru berdiri untuk memotivasi mereka agar lebih peduli lagi dengan lingkungan,” tandasnya.

Terakhir, TPST-3 R Desa Adat Seminyak yang oleh wisatawan asing dijuluki Seminyak Clean rutin menggelar Beach Clean Up. Koming menjelaskan program ini mulai dibentuk di tahun 2004 dengan memberdayakan masyarakat adat guna menjaga kebersihan Pantai Seminyak yang merupakan destinasi favorit.

“Mulai dari tahun 2007 kami mendapat dukungan dari Coca Cola Amatil Indonesia yang kini bernama Coca-Cola Europasific Partners (CCEP) Indonesia. Bantuan yang diberikan berupa traktor, Beach Cleaner Machine alias Surf Barber Rake, dan dana operasional,” tegas pria yang juga didapuk menjadi salah satu brand ambassador CCEP Indonesia.

Kepedulian Koming terhadap lingkungan lewat TPST-3 R Desa Adat Seminyak yang berlokasi di Jalan Beji Ayu No. 10 Seminyak, Kecamatan Kuta, Badung terbukti mendapat apresiasi banyak pihak.

Selain mendulang prestasi nasional, baru-baru ini ia juga diundang secara khusus ke Studio Podcast Case Closed dan diwawancara langsung oleh host profesional yang juga pengacara kondang sekaligus Ketua DPD Kongres Advokat Indonesia Provinsi Bali, Nyoman Gde Ponglik Sudiantara.

Dalam bincang-bincang kritis tersebut, I Komang Ruditha Hartawan memaparkan TPST-3 R Desa Adat Seminyak yang kini melayani 478 rumah tangga dan 874 hotel, vila, restoran, toko, art shop, warung, dan sejenisnya masih harus membuang residu ke TPA Suwung.

“TPA itu bukan tempat pembuangan akhir, tetapi tempat pengolahan atau pemrosesan akhir. Yang perlu dibangun di TPA Suwung itu adalah pabrik pengolahan yang bisa mengolah residu sampai habis. Bukan menutupnya, bukan menutupnya. Sekali lagi bukan menutupnya. Kalau TPA Suwung ditutup apalagi ada event besar KTT G20 di mana Bali menjadi tuan rumah, mau dibuang ke mana sampah-sampah kita?” ungkap brand ambassador CCEP Indonesia itu ditemui langsung di Berangkat Studio Sanur, 2 September 2022.

Sementara itu, Corporate Affairs Executive Coca-Cola Europasific Partners Indonesia Bali-Nusra, Made Pranata Wibawa menegaskan pihaknya sengaja mempertemukan awak media dengan Ketua TPST-3R Desa Adat Seminyak, Komang Rudhita Hartawan terkait penerapan pengelolaan sampah secara terpadu dengan konsep 3R melalui TPST-3R dan Founder Komunitas Malu Dong Buang Sampah Sembarangan, Komang Sudiarta terkait implementasi nyata dalam bentuk edukasi dan sosialisasi penanganan sampah dengan konsep nyegara gunung (hulu hilir, red) untuk membangun komitmen pengelolaan sampah berbasis masyarakat.

Coke Tour yang digelar akhir Agustus 2022 terangnya juga menjadi upaya mengenali metode dan langkah efektif yang dapat dilakukan bersama dalam pengelolaan sampah melalui praktisi pengelola sampah dan komunitas lingkungan.

Termasuk membangun kesadaran tiap-tiap individu untuk paham dan bijak bertanggung jawab mengelola sampahnya masing-masing sekaligus meningkatkan perhatian lebih masyarakat, pemerintah, maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam mewujudkan lingkungan yang bersih.

“Kami ingin menyampaikan langkah dan upaya bisnis keberlanjutan CCEP Indonesia sekaligus membangun sinergi, kolaborasi kerja sama, dan hubungan positif dengan komunitas hingga keterlibatan pemangku kepentingan dalam mendukung proses pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan,” tegas Ade Putra, sapaan akrab Made Pranata Wibawa.

Imbuh Ade Putra, CCEP Indonesia menilai kebutuhan untuk mengurangi pemrosesan sampah di TPA akan berhasil jika masyarakat maksimal dalam menerapkan pemilahan sampah mulai dari rumah tangga dengan metode pengurangan penggunaan barang sekali pakai (reduce), pemanfaatan kembali barang yang masih bernilai (reuse), dan pengolahan sampah menjadi produk baru yang bermanfaat (recycle).

Namun, efektivitas sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini pun jika diamati masih menemui banyak kendala dalam penerapannya terutama perihal aktivitas pemilahan sampah pada sumbernya.

“Sisi edukasi dan sosialisasi juga berperan penting dalam tata kelola penanganan sampah. Pengetahuan, perilaku, serta ekspektasi masyarakat terhadap penerapan prinsip 3R harus sudah benar-benar dipahami terlebih dahulu yang dapat dijalankan berbarengan dengan penerapan sistemnya,” tandasnya.

Ditambahkan bahwa Coca-Cola Europacific Partners (CCEP) Indonesia sebagai salah satu warga usaha yang beroperasi di Provinsi Bali menyadari bahwa sinergi, kolaborasi dan kontribusi merupakan aspek penunjang keberlanjutan usaha alias sustainability.

Terkait hal tersebut, strategi sustainability CCEP Indonesia di masyarakat atau community antara lain menginvestasikan waktu, keahlian, dan sumber daya untuk meningkatkan kualitas hidup dan menumbuhkan itikad baik bersama komunitas melalui inisiatif lokal yang relevan dan selaras dengan berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah.

“Sejalan dengan eksekusi dan tindakan nyata yang terus dilakukan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam wujud membangun harmonisasi hubungan dan kerja sama positif bersama komunitas antara lain melalui wadah edukasi dan studi lapangan di komunitas, yang telah melakukan proses pengelolaan dan penanganan sebagai komitmen pengelolaan sampah berbasis masyarakat,” tegas Ade Putra sembari menegaskan CCEP Indonesia siap mendukung penuh gerakan memerangi sampah dari hulu hingga hilir menuju Bali Zero Waste dengan menerapkan sistem teknologi pengolahan sampah perkotaan skala kawasan sehingga dapat mengurangi volume sampah sebanyak mungkin.

Penegasan senada disampaikan Founder Komunitas Malu Dong Buang Sampah Sembarangan, Komang Sudiarta. Ia menyebut Pulau Dewata tidak punya pilihan selain menuntaskan persoalan sampah dari hulu sampai hilir.

Implementasi nyata dalam bentuk edukasi dan sosialisasi penanganan sampah dengan konsep nyegara gunung untuk membangun komitmen pengelolaan sampah berbasis masyarakat terangnya harus diperjuangkan karena tata kelola sampah sangat terkait dengan mental individu per individu.

“Teknologi itu akan berjalan dengan baik, memproses dengan baik, kalau sampahnya sudah terpilah dari rumah. Pengelolaan sampah berbasis sumber itu benar. Pertanyaannya siapa yang mengedukasi dan memberikan sosialisasi di sumber? Ini yang tidak saya lihat. Kalau kami di Komunitas Malu Dong Buang Sampah Sembarangan punya tim yang siap perang. Peralatan yang dibawa komplit dan mental sudah terasah sehingga bisa memberikan solusi serta langsung melakukan eksekusi di lapangan,” ungkap Sudiarta ditemui bersama rombongan Coke Tour di Jalan Sahadewa No.20, Dauh Puri Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Rabu, 31 Agustus 2022.

Kurangnya sosialisasi dan edukasi soal sampah ini tegas Sudiarta akan berimbas pada banyak hal. Yang terparah dan benar-benar terjadi ungkapnya adalah rusaknya teknologi canggih di hilir karena sampah tidak terpilah dengan baik dari jenjang rumah tangga. Hal ini dipicu kurangnya sosialisasi dan edukasi yang merasuk hingga ke hulu hati masyarakat.

“Di hilir ada pemrosesan teknologi secanggih apa pun namanya, tetapi kalau di sumber mental masyarakat masih bobrok sehingga sampah tidak terpilah, maka hasilnya nol besar,” tegas warga Banjar Tampak Gangsul, Denpasar yang memulai inisiatif memungut sampah di lingkungannya sejak 2009 sepulang dari merantau di Amerika Serikat dan Australia itu.

Di sisi lain, pemerhati sosial sekaligus aktivis lingkungan yang bernaung di bawah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Yayasan Manikaya Kauci, I Nyoman Mardika menilai pendampingan berkesinambungan yang dilakukan oleh Coca-Cola Europacific Partners (CCEP) Indonesia Bali-Nusra, khususnya terhadap TPST-3R Desa Adat Seminyak wajib di-copy paste.

Sinergi semua pihak tegasnya menjadi kata kunci yang sangat mudah diucapkan, tetapi pada tataran praktik sulit terwujud karena tantangan penyelesaian masalah sampah tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat, melainkan membutuhkan kesabaran. Penerapan teknologi pemrosesan akhir sampah sekaligus pembenahan mental masyarakat harus dibangun secara bersamaan.

Mardika merinci tingkat produksi sampah di Indonesia, khususnya Bali sangat tinggi dan pengelolaannya belum ideal alias masih menyisakan banyak residu sehingga kesabaran dan keseriusan tingkat tinggi menjadi syarat mutlak.

Ungkapnya, jika persoalan ini diselesaikan dengan cara yang tidak pas alias main-main, maka konsekuensi nyata yang harus diterima adalah penutupan TPA. Lebih parahnya lagi Indonesia akan mengalami darurat sampah 2-3 tahun ke depan.

Khusus di Bali, Mardika menilai menambah atau ekspansi luasan TPA bukanlah hal yang tepat dan mudah dilakukan karena keterbatasan lahan dan keengganan masyarakat jika dibangun di dekat pemukiman warga. Merangkum berbagai sumber, Mardika merinci faktor-faktor yang menyebabkan minimnya pengelolaan sampah di Bali.

Bebernya volume sampah yang semakin besar dipicu pertumbuhan jumlah penduduk dan perilaku konsumsi masyarakat. Sampah yang dihasilkan dari aktivitas dan konsumsi masyarakat pastinya akan berakhir ke tempat pemrosesan akhir sampah karena tidak melalui proses yang ideal di TPS. Dengan kata lain, banyak sekali sampah yang terbuang ke TPA tanpa adanya proses pengelolaan yang layak.

“Korelasi tersebut dapat diartikan bahwa meningkatnya volume sampah merupakan akibat dari pertumbuhan populasi. Jika tidak dikelola dengan bijak, maka kondisi sampah akan semakin memburuk,” ucap Mardika.

Ditambahkannya, 99 persen sampah terkelola dibuang ke TPA Suwung yang sayangnya secara praktek menggunakan metode open dumping. Sehingga yang terjadi adalah penumpukan sampah yang tidak terkelola sebagaimana seharusnya tempat pemrosesan akhir yang menggunakan metode Sanitary Landfill.

Kondisi ini diperparah karena sampah yang ditimbulkan, baik dari komersial dan rumah tangga, masih belum sepenuhnya terkategori karena terkontaminasi dengan sampah spesifik seperti ban, bahan bangunan, springbed, kasur, bantal, trolley bag, dan sejenisnya maupun sampah B3 dari timbunan tersebut.

Faktor permasalahannya, yaitu terkait lokasi dan keterbatasan lahan seperti yang dialami Denpasar dan Badung. Juga tidak mudahnya masyarakat menerima tempat pengolahan sampah berada di lingkungan masyarakat.

Ke depan, Mardika berharap Coca-Cola Europacific Partners (CCEP) Indonesia tidak mundur melakukan edukasi dan mengubah kebiasaan buruk masyarakat, antara lain perilaku tidak melakukan pemilahan sampah mulai dari jenjang rumah tangga.

Selanjutnya, CCEP Indonesia juga diharapkan setia melakukan pembinaan terhadap TPST sebagaimana yang dilakukan di TPST-3 R Desa Adat Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung karena kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah yang mencukupi di Bali.

Pentingnya kehadiran CCEP Indonesia juga disebabkan keterbatasan anggaran pemerintah daerah yang tersedia guna pengelolaan sampah secara komprehensif. Termasuk pola pengangkutan sampah serta pengaturan pengangkutan dan ketercukupan armada pengangkutan sampah.

Kurangnya sarana prasarana imbuh Mardika membuat prinsip ideal bahwa seharusnya sampah dikirimkan untuk diolah pada hari yang sama tidak terjadi. Faktanya banyak yang menumpuk di depo-depo atau TPS lebih dari 3 hari.

“Tidak mudahnya mencari lokasi tempat pengelolaan sampah selain karena keterbatasan lahan, khususnya di kota-kota besar juga tidak mudahnya masyarakat menerima tempat pengolahan sampah berada di lingkungan masyarakat merupakan persoalan nyata. Contohnya penolakan terang-terangan yang dilakukan di hampir seluruh kabupaten di Bali. Fakta lainnya, sampah yang dihasilkan dari aktivitas dan konsumsi masyarakat pastinya akan berakhir ke tempat pemrosesan akhir sampah. Sayangnya, banyak sekali sampah yang terbuang ke TPA tanpa adanya proses pengelolaan yang layak. Inilah pentingnya edukasi dari hulu sampai hilir yang kini diperjuangkan salah satunya oleh CCEP Indonesia Bali-Nusra,” tutup Mardika. (ken/han)

DENPASAR, radarbali.id- TPA Suwung overload. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, data Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali menunjukkan volume sampah yang masuk ke lokasi itu terus bertambah. Ironisnya, dominan yang dibuang bukanlah residu, melainkan sampah yang belum diolah.

Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, I Made Teja dihubungi awal September 2022 tak menampik volume sampah yang masuk ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Suwung terus meningkat meskipun pariwisata Bali lumpuh 2 tahun terakhir, tepatnya pada tahun 2020 dan 2021.

Secara berurutan volume sampah dimaksud adalah 1.030.000 m3 (meter kubik, red) pada tahun 2017; 1.098.000 m3 pada 2018; 1.147.000 m3 pada 2019; 1.376.000 m3 pada 2020; dan 1.660.000 m3 pada 2021.

Kondisi mengkhawatirkan inilah yang membuat I Made Teja menegaskan TPA Suwung yang beroperasi sejak tahun 1980 dan memiliki luas 32 hektare akan ditutup pada akhir Oktober 2022. Selain karena kapasitasnya yang overload, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 menjadi alasan utama kebijakan tersebut akan diambil.

Wacana penutupan yang dilontarkan I Made Teja ini mendapatkan respons sangat serius dari berbagai pihak. Fakta bahwa per hari TPA Suwung menampung 1.000 ton lebih sampah kiriman dari Denpasar dan Badung dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru dan merusak citra bangsa Indonesia yang tahun ini mengemban amanah sebagai Presidensi G20.

Sebulan jelang penutupan TPA Suwung, Pemerintah Kota Denpasar diketahui mengejar perampungan 3 proyek Tempat Pengolahan Sampah Terpadu, yakni TPST Desa Padangsambian Kaja, TPST Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai, dan TPST Desa Kertalangu.

Kepala Bidang Pengolahan Sampah dan Limbah B3 Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Denpasar, Ketut Adi Wiguna menjelaskan pihaknya menargetkan 3 TPST tersebut tuntas pada awal Oktober 2022. Nantinya sampah-sampah dan residu yang biasa dibuang ke TPA Suwung akan dibawa ke 3 TPST yang diklaim mampu menampung kurang lebih 1.020 ton sampah per hari.

“Begitu TPST beroperasional, barulah TPA Suwung ditutup. Kalau tidak seperti itu, tentunya akan merugikan wilayah Sarbagita yang meliputi Denpasar, Badung, Gianyar, Tabanan. Kami berusaha mendorong agar semua waktunya tepat,” jelasnya.

EDUKASI SAMPAH: Brand Ambassador CCEP Indonesia, I Komang Ruditha Hartawan saat menjadi bintang tamu podcast Case Closed dan diwawancara host profesional yang juga advokat kondang Nyoman Gde Ponglik Sudiantara, Jumat, 2 September 2022.

 

Dikejar lebih jauh mengenai progres pembangunan 3 TPST ini, Kepada Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Kota Denpasar, Ida Bagus Putra Wirabawa menjawab perihal tersebut sepenuhnya ditangani Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Denpasar. “Pembangunan TPST ada di Satker PUPR,” ungkapnya tidak memberikan jawaban tegas.

Di sisi lain, tidak diketahui dengan gamblang persiapan Kabupaten Badung selaku penyumbang sampah dan residu terbanyak ke TPA Suwung. Pasalnya saat Pemkot Denpasar sibuk menuntaskan 3 TPST, Pemkab Badung tampak santai-santai saja. Demikian juga dengan Kabupaten Tabanan dan Gianyar.

Padahal diketahui pada Senin, 11 November 2019 silam, Bupati Badung, I Nyoman Giri Prasta berkunjung langsung ke kediaman Walikota Denpasar, Ida Bagus Rai Dharmawijaya Mantra pascapembatasan kuota pembuangan sampah di TPA Suwung.

Kala itu, di depan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Badung Putu Eka Merthawan, Kepala DLHK Denpasar Ketut Wisada, Sekretaris Daerah Kabupaten Badung I Wayan Adi Arnawa, dan sejumlah tokoh yang hadir di Griya Sebasari Renon Denpasar, Giri Prasta menegaskan penutupan TPA Suwung yang tiba-tiba membuat pihaknya kebingungan.

Giri Prasta pun meminta toleransi waktu membuang sampah untuk sementara ke TPA Suwung antara 6 bulan hingga 1 tahun sembari mempersiapkan infrastruktur untuk pengolahan sampah secara mandiri pada 2021.

Faktanya, hingga tahun 2021 berakhir, Kabupaten Badung masih mengandalkan TPA Suwung dan belum sama sekali mandiri sampah. Program Badung mandiri sampah 2021 yang diwacanakan Giri Prasta gagal total.

Syukurlah wajah Badung diselamatkan oleh Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)-3 R (Reduce, Reuse, Recycle), Desa Adat Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung. Mulai beroperasi dari akhir tahun 2003, TPST-3 R Desa Adat Seminyak ditopang penuh oleh desa adat setempat dan Coca-Cola Europasific Partners (CCEP) Indonesia.

Piranti industri pariwisata seperti keberadaan warung, art shop, villa, restoran, hotel, dan usaha lainnya di wilayah Desa Adat Seminyak dan dukungan dari sejumlah pihak membuat TPST-3 R ini berkembang dan bertahan, bahkan berkembang. Biaya operasional yang mencapai 160.000.000 hingga 180.000.000 per bulan pun bisa dipenuhi. Bahkan TPST-3 R Desa Adat Seminyak bisa membagikan SHU alias Sisa Hasil Usaha tiap tahun.

I Komang Ruditha Hartawan, Ketua Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST)-3 R, Desa Adat Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung menyebut armada TSPT-3 R setempat yang total berjumlah 23 unit dengan tenaga kerja 45 orang yang digunakan pihaknya terbagi menjadi dua, yakni khusus anorganik dan organik.

Masuk ke TPST 3-R Seminyak, sampah organik basah diolah menjadi pakan ternak dan sampah organik kering menjadi kompos. Yang anorganik dipilah dan dikirim ke pabrik-pabrik kerja sama dengan pihak ketiga. Menariknya, sampah anorganik ini juga disulap menjadi sejumlah benda yang memiliki nilai ekonomis serta barang kerajinan bekerja sama dengan sejumlah seniman.

Koming- sapaan akrab I Komang Ruditha Hartawan- berkisah TPST-3 R Desa Adat Seminyak beroperasi sejak Desember 2003 karena banyaknya sampah warga yang tidak terangkut oleh layanan Pemkab Badung melalui Dinas Lingkungan dan Kebersihan kala itu karena yang dilayani hanya jalur utama saja.

Kegiatan utama pihaknya adalah melakukan reduce, reuse, dan recycle. “Di-support penuh oleh Coca-Cola Europasific Partners (CCEP) Indonesia, TPST-3 R Desa Adat Seminyak memiliki 7 program kerja,” tegas Koming. Pertama, pengangkutan sampah padat, yakni sampah basah, kering, dan kebun dari sumber.

Kedua, memilah sampah semaksimal mungkin untuk mengurangi pembuangan sampah residu ke TPA sehingga usia TPA Suwung semakin panjang. Ketiga, pembuatan pupuk kompos dari hasil pemilahan sampah untuk disalurkan kembali ke penghasil sampah seperti villa, hotel, restoran, dan usaha lain yang memiliki kebun.

Keempat, pembuatan pakan ternak. Koming menjabarkan hasil pemilahan sampah organik basah seperti sampah hotel, restoran, dan warung makan dijadikan pakan ternak dan dibagikan secara gratis bagi kelompok ternak di sekitaran TPA Regional Sarbagita Suwung.

Kelima, program pembelian barang daur ulang atau bank sampah. TPST-3 R Desa Adat Seminyak bekerja sama dengan kelompok PKK Banjar Adat di wilayah Seminyak dengan melakukan penimbangan di masing-masing banjar 2 kali sebulan. Program ini jelas Koming berjalan baik karena adanya sanksi adat berupa denda bagi ibu PKK yang tidak memilah dan atau menimbang sampah daur ulang.

Keenam, kami memiliki program pendidikan lingkungan sejak tahun 2015. Kami dari TPST3R Desa Adat Seminyak bekerja sama dengan Coca-Cola Europasific Partners (CCEP) Indonesia membangun learning center yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan betapa pentingnya sampah dikelola baik agar tidak mencemari lingkungan. Edukasi ini menyasar adik-adik kita di tingkat SD, SMP, dan SMA. Termasuk berbagi pengalaman kepada Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) dan pengelola TPST yang baru berdiri untuk memotivasi mereka agar lebih peduli lagi dengan lingkungan,” tandasnya.

Terakhir, TPST-3 R Desa Adat Seminyak yang oleh wisatawan asing dijuluki Seminyak Clean rutin menggelar Beach Clean Up. Koming menjelaskan program ini mulai dibentuk di tahun 2004 dengan memberdayakan masyarakat adat guna menjaga kebersihan Pantai Seminyak yang merupakan destinasi favorit.

“Mulai dari tahun 2007 kami mendapat dukungan dari Coca Cola Amatil Indonesia yang kini bernama Coca-Cola Europasific Partners (CCEP) Indonesia. Bantuan yang diberikan berupa traktor, Beach Cleaner Machine alias Surf Barber Rake, dan dana operasional,” tegas pria yang juga didapuk menjadi salah satu brand ambassador CCEP Indonesia.

Kepedulian Koming terhadap lingkungan lewat TPST-3 R Desa Adat Seminyak yang berlokasi di Jalan Beji Ayu No. 10 Seminyak, Kecamatan Kuta, Badung terbukti mendapat apresiasi banyak pihak.

Selain mendulang prestasi nasional, baru-baru ini ia juga diundang secara khusus ke Studio Podcast Case Closed dan diwawancara langsung oleh host profesional yang juga pengacara kondang sekaligus Ketua DPD Kongres Advokat Indonesia Provinsi Bali, Nyoman Gde Ponglik Sudiantara.

Dalam bincang-bincang kritis tersebut, I Komang Ruditha Hartawan memaparkan TPST-3 R Desa Adat Seminyak yang kini melayani 478 rumah tangga dan 874 hotel, vila, restoran, toko, art shop, warung, dan sejenisnya masih harus membuang residu ke TPA Suwung.

“TPA itu bukan tempat pembuangan akhir, tetapi tempat pengolahan atau pemrosesan akhir. Yang perlu dibangun di TPA Suwung itu adalah pabrik pengolahan yang bisa mengolah residu sampai habis. Bukan menutupnya, bukan menutupnya. Sekali lagi bukan menutupnya. Kalau TPA Suwung ditutup apalagi ada event besar KTT G20 di mana Bali menjadi tuan rumah, mau dibuang ke mana sampah-sampah kita?” ungkap brand ambassador CCEP Indonesia itu ditemui langsung di Berangkat Studio Sanur, 2 September 2022.

Sementara itu, Corporate Affairs Executive Coca-Cola Europasific Partners Indonesia Bali-Nusra, Made Pranata Wibawa menegaskan pihaknya sengaja mempertemukan awak media dengan Ketua TPST-3R Desa Adat Seminyak, Komang Rudhita Hartawan terkait penerapan pengelolaan sampah secara terpadu dengan konsep 3R melalui TPST-3R dan Founder Komunitas Malu Dong Buang Sampah Sembarangan, Komang Sudiarta terkait implementasi nyata dalam bentuk edukasi dan sosialisasi penanganan sampah dengan konsep nyegara gunung (hulu hilir, red) untuk membangun komitmen pengelolaan sampah berbasis masyarakat.

Coke Tour yang digelar akhir Agustus 2022 terangnya juga menjadi upaya mengenali metode dan langkah efektif yang dapat dilakukan bersama dalam pengelolaan sampah melalui praktisi pengelola sampah dan komunitas lingkungan.

Termasuk membangun kesadaran tiap-tiap individu untuk paham dan bijak bertanggung jawab mengelola sampahnya masing-masing sekaligus meningkatkan perhatian lebih masyarakat, pemerintah, maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam mewujudkan lingkungan yang bersih.

“Kami ingin menyampaikan langkah dan upaya bisnis keberlanjutan CCEP Indonesia sekaligus membangun sinergi, kolaborasi kerja sama, dan hubungan positif dengan komunitas hingga keterlibatan pemangku kepentingan dalam mendukung proses pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan,” tegas Ade Putra, sapaan akrab Made Pranata Wibawa.

Imbuh Ade Putra, CCEP Indonesia menilai kebutuhan untuk mengurangi pemrosesan sampah di TPA akan berhasil jika masyarakat maksimal dalam menerapkan pemilahan sampah mulai dari rumah tangga dengan metode pengurangan penggunaan barang sekali pakai (reduce), pemanfaatan kembali barang yang masih bernilai (reuse), dan pengolahan sampah menjadi produk baru yang bermanfaat (recycle).

Namun, efektivitas sistem pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini pun jika diamati masih menemui banyak kendala dalam penerapannya terutama perihal aktivitas pemilahan sampah pada sumbernya.

“Sisi edukasi dan sosialisasi juga berperan penting dalam tata kelola penanganan sampah. Pengetahuan, perilaku, serta ekspektasi masyarakat terhadap penerapan prinsip 3R harus sudah benar-benar dipahami terlebih dahulu yang dapat dijalankan berbarengan dengan penerapan sistemnya,” tandasnya.

Ditambahkan bahwa Coca-Cola Europacific Partners (CCEP) Indonesia sebagai salah satu warga usaha yang beroperasi di Provinsi Bali menyadari bahwa sinergi, kolaborasi dan kontribusi merupakan aspek penunjang keberlanjutan usaha alias sustainability.

Terkait hal tersebut, strategi sustainability CCEP Indonesia di masyarakat atau community antara lain menginvestasikan waktu, keahlian, dan sumber daya untuk meningkatkan kualitas hidup dan menumbuhkan itikad baik bersama komunitas melalui inisiatif lokal yang relevan dan selaras dengan berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah.

“Sejalan dengan eksekusi dan tindakan nyata yang terus dilakukan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam wujud membangun harmonisasi hubungan dan kerja sama positif bersama komunitas antara lain melalui wadah edukasi dan studi lapangan di komunitas, yang telah melakukan proses pengelolaan dan penanganan sebagai komitmen pengelolaan sampah berbasis masyarakat,” tegas Ade Putra sembari menegaskan CCEP Indonesia siap mendukung penuh gerakan memerangi sampah dari hulu hingga hilir menuju Bali Zero Waste dengan menerapkan sistem teknologi pengolahan sampah perkotaan skala kawasan sehingga dapat mengurangi volume sampah sebanyak mungkin.

Penegasan senada disampaikan Founder Komunitas Malu Dong Buang Sampah Sembarangan, Komang Sudiarta. Ia menyebut Pulau Dewata tidak punya pilihan selain menuntaskan persoalan sampah dari hulu sampai hilir.

Implementasi nyata dalam bentuk edukasi dan sosialisasi penanganan sampah dengan konsep nyegara gunung untuk membangun komitmen pengelolaan sampah berbasis masyarakat terangnya harus diperjuangkan karena tata kelola sampah sangat terkait dengan mental individu per individu.

“Teknologi itu akan berjalan dengan baik, memproses dengan baik, kalau sampahnya sudah terpilah dari rumah. Pengelolaan sampah berbasis sumber itu benar. Pertanyaannya siapa yang mengedukasi dan memberikan sosialisasi di sumber? Ini yang tidak saya lihat. Kalau kami di Komunitas Malu Dong Buang Sampah Sembarangan punya tim yang siap perang. Peralatan yang dibawa komplit dan mental sudah terasah sehingga bisa memberikan solusi serta langsung melakukan eksekusi di lapangan,” ungkap Sudiarta ditemui bersama rombongan Coke Tour di Jalan Sahadewa No.20, Dauh Puri Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, Rabu, 31 Agustus 2022.

Kurangnya sosialisasi dan edukasi soal sampah ini tegas Sudiarta akan berimbas pada banyak hal. Yang terparah dan benar-benar terjadi ungkapnya adalah rusaknya teknologi canggih di hilir karena sampah tidak terpilah dengan baik dari jenjang rumah tangga. Hal ini dipicu kurangnya sosialisasi dan edukasi yang merasuk hingga ke hulu hati masyarakat.

“Di hilir ada pemrosesan teknologi secanggih apa pun namanya, tetapi kalau di sumber mental masyarakat masih bobrok sehingga sampah tidak terpilah, maka hasilnya nol besar,” tegas warga Banjar Tampak Gangsul, Denpasar yang memulai inisiatif memungut sampah di lingkungannya sejak 2009 sepulang dari merantau di Amerika Serikat dan Australia itu.

Di sisi lain, pemerhati sosial sekaligus aktivis lingkungan yang bernaung di bawah Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) Yayasan Manikaya Kauci, I Nyoman Mardika menilai pendampingan berkesinambungan yang dilakukan oleh Coca-Cola Europacific Partners (CCEP) Indonesia Bali-Nusra, khususnya terhadap TPST-3R Desa Adat Seminyak wajib di-copy paste.

Sinergi semua pihak tegasnya menjadi kata kunci yang sangat mudah diucapkan, tetapi pada tataran praktik sulit terwujud karena tantangan penyelesaian masalah sampah tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat, melainkan membutuhkan kesabaran. Penerapan teknologi pemrosesan akhir sampah sekaligus pembenahan mental masyarakat harus dibangun secara bersamaan.

Mardika merinci tingkat produksi sampah di Indonesia, khususnya Bali sangat tinggi dan pengelolaannya belum ideal alias masih menyisakan banyak residu sehingga kesabaran dan keseriusan tingkat tinggi menjadi syarat mutlak.

Ungkapnya, jika persoalan ini diselesaikan dengan cara yang tidak pas alias main-main, maka konsekuensi nyata yang harus diterima adalah penutupan TPA. Lebih parahnya lagi Indonesia akan mengalami darurat sampah 2-3 tahun ke depan.

Khusus di Bali, Mardika menilai menambah atau ekspansi luasan TPA bukanlah hal yang tepat dan mudah dilakukan karena keterbatasan lahan dan keengganan masyarakat jika dibangun di dekat pemukiman warga. Merangkum berbagai sumber, Mardika merinci faktor-faktor yang menyebabkan minimnya pengelolaan sampah di Bali.

Bebernya volume sampah yang semakin besar dipicu pertumbuhan jumlah penduduk dan perilaku konsumsi masyarakat. Sampah yang dihasilkan dari aktivitas dan konsumsi masyarakat pastinya akan berakhir ke tempat pemrosesan akhir sampah karena tidak melalui proses yang ideal di TPS. Dengan kata lain, banyak sekali sampah yang terbuang ke TPA tanpa adanya proses pengelolaan yang layak.

“Korelasi tersebut dapat diartikan bahwa meningkatnya volume sampah merupakan akibat dari pertumbuhan populasi. Jika tidak dikelola dengan bijak, maka kondisi sampah akan semakin memburuk,” ucap Mardika.

Ditambahkannya, 99 persen sampah terkelola dibuang ke TPA Suwung yang sayangnya secara praktek menggunakan metode open dumping. Sehingga yang terjadi adalah penumpukan sampah yang tidak terkelola sebagaimana seharusnya tempat pemrosesan akhir yang menggunakan metode Sanitary Landfill.

Kondisi ini diperparah karena sampah yang ditimbulkan, baik dari komersial dan rumah tangga, masih belum sepenuhnya terkategori karena terkontaminasi dengan sampah spesifik seperti ban, bahan bangunan, springbed, kasur, bantal, trolley bag, dan sejenisnya maupun sampah B3 dari timbunan tersebut.

Faktor permasalahannya, yaitu terkait lokasi dan keterbatasan lahan seperti yang dialami Denpasar dan Badung. Juga tidak mudahnya masyarakat menerima tempat pengolahan sampah berada di lingkungan masyarakat.

Ke depan, Mardika berharap Coca-Cola Europacific Partners (CCEP) Indonesia tidak mundur melakukan edukasi dan mengubah kebiasaan buruk masyarakat, antara lain perilaku tidak melakukan pemilahan sampah mulai dari jenjang rumah tangga.

Selanjutnya, CCEP Indonesia juga diharapkan setia melakukan pembinaan terhadap TPST sebagaimana yang dilakukan di TPST-3 R Desa Adat Seminyak, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung karena kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana pengelolaan sampah yang mencukupi di Bali.

Pentingnya kehadiran CCEP Indonesia juga disebabkan keterbatasan anggaran pemerintah daerah yang tersedia guna pengelolaan sampah secara komprehensif. Termasuk pola pengangkutan sampah serta pengaturan pengangkutan dan ketercukupan armada pengangkutan sampah.

Kurangnya sarana prasarana imbuh Mardika membuat prinsip ideal bahwa seharusnya sampah dikirimkan untuk diolah pada hari yang sama tidak terjadi. Faktanya banyak yang menumpuk di depo-depo atau TPS lebih dari 3 hari.

“Tidak mudahnya mencari lokasi tempat pengelolaan sampah selain karena keterbatasan lahan, khususnya di kota-kota besar juga tidak mudahnya masyarakat menerima tempat pengolahan sampah berada di lingkungan masyarakat merupakan persoalan nyata. Contohnya penolakan terang-terangan yang dilakukan di hampir seluruh kabupaten di Bali. Fakta lainnya, sampah yang dihasilkan dari aktivitas dan konsumsi masyarakat pastinya akan berakhir ke tempat pemrosesan akhir sampah. Sayangnya, banyak sekali sampah yang terbuang ke TPA tanpa adanya proses pengelolaan yang layak. Inilah pentingnya edukasi dari hulu sampai hilir yang kini diperjuangkan salah satunya oleh CCEP Indonesia Bali-Nusra,” tutup Mardika. (ken/han)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/