NUSA DUA – Badan Siber dan Sandi Negara mendeteksi telah terjadi serangan siber sebanyak lebih dari 423 juta serangan. Jumlah ini terjadi selama periode dari Januari sampai November 2020.
Hal ini disampaikan langsung oleh Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen TNI (Purn) Hinsa Siburian dalam kegiatan Simposium Strategi Keamanan Siber Nasional (SKSN) Dalam Rangka Mendukung Penyusunan Kerangka Regulasi Literasi Media dan Literasi Keamanan Siber, di Nusa Dua, Senin (7/12) lalu.
Dijelaskannya seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, menyebabkan keamanan siber menjadi isu strategis di berbagai negara. Terjadinya pandemi COVID-19 saat ini turut mengakselerasi transformasi digital di seluruh dunia.
Indikasinya adalah terjadinya peningkatan yang signifikan dalam pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi di kehidupan masyarakat. Peningkatan traffic internet dan maraknya penggunaan aplikasi daring turut dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk melancarkan serangan siber, seperti malware, phising, SQL Injection, Hijacking, dan Distributed Denial of Service (DDOS).
“Jumlah kali ini lebih banyak hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan jumlah serangan di periode yang sama pada tahun 2019,” kata Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Letjen TNI (Purn) Hinsa Siburian dalam kegiatan tersebut. Serangan yang menjadi tren dalam masa pandemi COVID-19 ini adalah pencurian data melalui malware.
Hal ini menjadi perhatian karena serangan yang terjadi di dunia maya dapat menyebabkan kerusakan dan terganggunya stabilitas di dunia nyata.
Dijelaskannya, Simposium Strategi Keamanan Siber Nasional (SKSN) merupakan amanat dalam ketentuan Pasal 94 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
“Pasal tersebut menyatakan bahwa peran pemerintah dalam menetapkan strategi keamanan siber nasional merupakan bagian dari strategi keamanan nasional, yang di dalamnya meliputi pembangunan budaya keamanan siber, yang mana penetapan strategi keamanan siber nasional tersebut ditujukan untuk melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi elektronik yang mengganggu ketertiban umum,” urainya.
Ke depannya, SKSN dapat digunakan sebagai acuan bersama seluruh pemangku kepentingan keamanan siber nasional dalam menyusun dan mengembangkan kebijakan keamanan siber di instansi masing-masing. Selain itu, strategi ini diharapkan mampu memicu peningkatan keamanan siber yang akan menumbuhkan potensi ekonomi digital di negara Indonesia.
SKSN berfokus pada implementasi di tujuh fokus area yaitu tata kelola manajemen risiko dalam keamanan siber nasional; kesiapsiagaan dan ketahanan; Infrastruktur Informasi Vital Nasional (IIVN), pembangunan kapabilitas dan kapasitas serta peningkatan kewaspadaan, legislasi dan regulasi, serta kerja sama internasional. “Seluruh fokus area kerja ini merupakan aktivitas-aktivitas strategis yang harus dilaksanakan secara sinergis oleh seluruh komponen pemangku kepentingan,” terangnya.
Pelaksanaan strategi keamanan siber Indonesia tidak hanya difokuskan pada pemerintah, akan tetapi melibatkan semua unsur. Mulai dari pelaku usaha, akademisi, dan masyarakat atau komunitas yang disebut sebagai Quad Helix. Quad Helix dapat saling berinteraksi dan berkolaborasi untuk mencapai tujuan strategi keamanan siber.
“Oleh karenanya, peran dan tanggung jawab keamanan siber berada pada seluruh lapisan masyarakat. Kolaborasi keamanan siber nasional menjadi kunci utama dalam membangun ruang siber yang aman dan kondusif,” tandas Hinsa Siburian.