MANGUPURA – Indonesia belakangan ini sering dilanda bencana, seperti gempa yang terjadi baru-baru ini di Lombok, Palu dan Donggala.
Hal ini karena Indonesia memang menjadi salah satu negara yang memiliki risiko tinggi terhadap bencana.
Data Bank Dunia menunjukkan bahwa Indonesia termasuk 35 negara di dunia dengan risiko tinggi terjadinya korban jiwa akibat bencana.
Kerugian yang diderita atas bencana tidak sedikit. Sementara kemampuan pemerintah dalam menyediakan pendanaan untuk bencana dengan dampak yang ditimbulkannya, sangat terbatas.
Karena itu, dalam Pertemuan Tahunan IMF-WB yang berlangsung di Bali kali ini, Indonesia mengajak para peserta yang hadir dari berbagai negara
untuk saling berbagi dan menemukan solusi yang tepat, khususnya dalam hal pembiayaan dan asuransi risiko bencana.
“Momen ini menjadi momen yang tepat karena kita baru saja mengalami bencana, dan mencari solusi yang tepat apabila terjadi bencana.
Bagaimana upaya kita mengatasi bencana dengan ketahanan fiskal yang terjaga, dan tidak hanya tergantung pada kerjasama internasional,” ujar Wakil Presiden Jusuf Kalla
saat menyampaikan keynote speech pada seminar yang bertemakan “Disaster Risk Finance and Insurance” di International Convention Center (BICC), Nusa Dua Bali.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa penanganan bencana di Indonesia masih sangat tergantung pada APBN dan APBD, bahkan harus merealokasi anggaran.
“Kita perlu mengidentifikasi semua risiko bencana alam dan memikirkan mekanisme fiskal serta instrumen keuangan terbaik untuk mendukung rehabilitasi yang paling efektif dan paling cepat.
Sebuah strategi jangka Panjang untuk membangun ketahanan (resiliency) terhadap bencana alam, khususnya dari sisi fiskal” kata Sri Mulyani.
Fokus terbesar ketika bencana terjadi adalah bagaimana membantu korban, melakukan recovery dan melakukan rekonstruksi.
“Namun, kita jarang sekali membahas soal transfer risiko, termasuk untuk pembiayaan. Pengelolaan bencana menjadi tidak tersinergikan dan terintegrasi” lanjutnya.
Karena itu, Sri Mulyani juga menyatakan Indonesia membuka diri untuk menimba pengalaman dari negara-negara lain mengenai pembiayaan bencana.
“Kami ingin belajar dari Filipina yang sudah mengasuransikan gedung-gedung pemerintahan daerah, belajar dari
Maroko yang sudah mengasuransikan UMKM dan rumah-rumah penduduk berpenghasilan rendah” ungkapnya.
Karena itu, menurutnya, pada tahun anggaran 2019 mendatang, semua gedung pemerintah akan diasuransikan,
meski belum termasuk rumah-rumah penduduk menengah dan bawah karena mekanisme asuransi untuk itu belum tersedia.
Sebagai gambaran besarnya kerugian dan pendanaan yang diakibatkan oleh bencana, di antara tahun 2004-2013, Indonesia mengalami kerugian sebesar 126,7 triliun rupiah.
Selama 12 tahun terakhir, pemerintah rata-rata menyediakan dana cadangan untuk bencana sebesar Rp 3,1 triliun.
Sementara bencana alam besar seperti gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004 silam mencapai Rp 51,4 triliun rupiah.
Jurang pembiayaan tersebut menjadi salah satu sebab Indonesia terpapar risiko fiskal akibat bencana alam.
Karena itu, pemerintah Indonesia sedang menyiapkan peta jalan (roadmap) mengenai pembiayaan dan asuransi risiko bencana, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.
Selain ingin berbagi tentang pendanaan bencana seperti instrumen asuransi yang bisa dengan segera dicairkan, pada sisi lain Indonesia juga ingin melihat negara-negara lain dalam menangani pembiayaan bencana.
Berdasar pengalaman selama ini, pembiayaan bencana hanya cenderung fokus pada tahap emergency, recovery dan rekonstruksi, sehingga relatif tidak menyentuh pembiayaan dalam aspek transfer risiko