33.4 C
Jakarta
22 November 2024, 14:21 PM WIB

Miris, 9 Ribu Warga Bali Idap ODGJ, Bully Anak Jadi Faktor Pemicu

DENPASAR – Bali dikenal sebagai pulau yang berlimpah keindahan. Tiap tahun, jutaan orang datang ke pulau seribu pura untuk liburan.

Namun siapa sangka, dibalik itu semua, Bali masih memiliki persoalan tentang kesehatan jiwa. Tercatat, 9.000 orang warganya mengalami gangguan kejiwaan.

Suryani Institut for Mental Health (SIMH) menjadi salah satu yayasan di Bali yang fokus dalam menangani problem kejiwaan tersebut sejak 13 tahun silam.

Ratusan warga yang mengalami gangguan kejiwaan sudah ditangani SIMH. Beberapa sembuh, ada pula yang belum pulih.

Prof Dr LK Suryani kepada Jawa Pos Radar Bali menjelaskan, sebelum terjun menangani Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sekitar tahun 2017 silam,

banyak terjadi kasus bunuh diri yang tersebar di Bali. Persoalan tersebut pun berkembang hingga ke para penderita ODGJ.

“Kami menilai ini menjadi persoalan yang serius di Bali,” ungkap Prof Suryani. Penanganan dengan metode bio psikososio dan spiritual pun dilakukan.

Metode ini berbeda dengan yang dilakukan oleh pemerintah, di mana pemerintah menangani ODGJ setelah pasien dibawa ke rumah sakit.

“Kalau kami tidak merawat di rumah sakit, tetapi merawat di masyarakat (rumah pasien),” terang Prof Suryani.

Padahal, perawatan di rumah pasien justru lebih murah dibanding biaya perawatan di rumah sakit. Kata Prof Suryani, perawatan di rumah sakit dapat mencapai Rp 3 juta per bulan.

Sedangkan dengan metodenya, per pasien dapat menghabiskan dana Rp 5 juta saja per tahunnya. Hal tersebut pun sudah dibuktikannya pada tahun 2009 silam.

Kata Prof Suryani, saat itu pemerintah Bali memberikan anggaran kepadanya mencapai Rp 1 miliar selama yang digunakan selama 1 tahun.

Dalam periode 2009 – 2010, sejumlah 326 pasien pun dapat ditanganinya bersama dengan relawan. Hasilnya, 31 persen sembuh tanpa obat, 3 persen tidak ada perbaikan dan 66 persen sembuh menggunakan obat.

Di tahun selanjutnya, anggaran tersebut pun ternyata dipotong oleh pemerintah. Tak tanggung-tanggung, nilainya sampai 90 persen.

Dampaknya tentu terhadap para pasien yang ditanganinya. “Ya kembali ke nol. Meski begitu, kami tak mau berhenti.

Untuk mendanai SIMH, saya menggunakan dana sendiri. Ada sih donasi, tapi tidak terlalu banyak. Itu yang kami gunakan untuk biaya menjalankan program ini,” ungkapnya.

Baginya, pemerintah dalam hal penanganan ODGJ kurang serius. Pihaknya sudah mengadu dengan Gubernur dan Dinas Kesehatan, namun hasilnya tidak sesuai harapan.

Persoalannya, pemerintah dalam menganani kasus ini bersifat menunggu saja. “Maunya menunggu pasien di rumah sakit saja. Nggak mau turun ke lapangan.

Padahal dokter di Puskesmas kan bisa saja turun ke lapangan untuk melihat kondisi pasien. Kalau hanya menunggu di rumah sakit, bagaimana mereka datang? Belum pasien mengamuk,” kritiknya.

Dalam catatannya Suryani juga, ada 9.000 lebih warga di Bali yang mengalami gangguan jiwa atau 2,3 per seribu penduduk.

350 orang di antaranya pun dipasung di rumah oleh keluarganya. Hal ini pun menjadi persoalan bagi pulau Bali.

“Dampaknya ya menjadi beban di keluarga. Banyak yang bilang ODGJ ini tidak bisa diobati. Saya bilang bisa kok,” tegasnya.

Disinggung mengenai jumlah angka yang cukup tinggi di Bali, Suryani menyebutkan banyak faktor penyebabnya.

Antaranya terkait masa kecil anak yang tidak terdidik untuk berani menghadapi tantangan. “Anak ditekan. Ini itu tidak boleh. Kadang orang tua juga ngebully anak sendiri,” herannya.

Faktor lainnya, kejadian abortus yang banyak terjadi belakangan ini juga menjadi salah satu penyebabnya.

Untuk itu, Prof Suryani berharap pemerintah  termasuk dinas kesehatan turut mau bekerja sama untuk menyembuhkan sakit kejiwaan di Bali.

“Mari bekerjasama dan bantu gerakan kami agar bali bisa lepas dari gangguan jiwa,” tuturnya.

DENPASAR – Bali dikenal sebagai pulau yang berlimpah keindahan. Tiap tahun, jutaan orang datang ke pulau seribu pura untuk liburan.

Namun siapa sangka, dibalik itu semua, Bali masih memiliki persoalan tentang kesehatan jiwa. Tercatat, 9.000 orang warganya mengalami gangguan kejiwaan.

Suryani Institut for Mental Health (SIMH) menjadi salah satu yayasan di Bali yang fokus dalam menangani problem kejiwaan tersebut sejak 13 tahun silam.

Ratusan warga yang mengalami gangguan kejiwaan sudah ditangani SIMH. Beberapa sembuh, ada pula yang belum pulih.

Prof Dr LK Suryani kepada Jawa Pos Radar Bali menjelaskan, sebelum terjun menangani Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) sekitar tahun 2017 silam,

banyak terjadi kasus bunuh diri yang tersebar di Bali. Persoalan tersebut pun berkembang hingga ke para penderita ODGJ.

“Kami menilai ini menjadi persoalan yang serius di Bali,” ungkap Prof Suryani. Penanganan dengan metode bio psikososio dan spiritual pun dilakukan.

Metode ini berbeda dengan yang dilakukan oleh pemerintah, di mana pemerintah menangani ODGJ setelah pasien dibawa ke rumah sakit.

“Kalau kami tidak merawat di rumah sakit, tetapi merawat di masyarakat (rumah pasien),” terang Prof Suryani.

Padahal, perawatan di rumah pasien justru lebih murah dibanding biaya perawatan di rumah sakit. Kata Prof Suryani, perawatan di rumah sakit dapat mencapai Rp 3 juta per bulan.

Sedangkan dengan metodenya, per pasien dapat menghabiskan dana Rp 5 juta saja per tahunnya. Hal tersebut pun sudah dibuktikannya pada tahun 2009 silam.

Kata Prof Suryani, saat itu pemerintah Bali memberikan anggaran kepadanya mencapai Rp 1 miliar selama yang digunakan selama 1 tahun.

Dalam periode 2009 – 2010, sejumlah 326 pasien pun dapat ditanganinya bersama dengan relawan. Hasilnya, 31 persen sembuh tanpa obat, 3 persen tidak ada perbaikan dan 66 persen sembuh menggunakan obat.

Di tahun selanjutnya, anggaran tersebut pun ternyata dipotong oleh pemerintah. Tak tanggung-tanggung, nilainya sampai 90 persen.

Dampaknya tentu terhadap para pasien yang ditanganinya. “Ya kembali ke nol. Meski begitu, kami tak mau berhenti.

Untuk mendanai SIMH, saya menggunakan dana sendiri. Ada sih donasi, tapi tidak terlalu banyak. Itu yang kami gunakan untuk biaya menjalankan program ini,” ungkapnya.

Baginya, pemerintah dalam hal penanganan ODGJ kurang serius. Pihaknya sudah mengadu dengan Gubernur dan Dinas Kesehatan, namun hasilnya tidak sesuai harapan.

Persoalannya, pemerintah dalam menganani kasus ini bersifat menunggu saja. “Maunya menunggu pasien di rumah sakit saja. Nggak mau turun ke lapangan.

Padahal dokter di Puskesmas kan bisa saja turun ke lapangan untuk melihat kondisi pasien. Kalau hanya menunggu di rumah sakit, bagaimana mereka datang? Belum pasien mengamuk,” kritiknya.

Dalam catatannya Suryani juga, ada 9.000 lebih warga di Bali yang mengalami gangguan jiwa atau 2,3 per seribu penduduk.

350 orang di antaranya pun dipasung di rumah oleh keluarganya. Hal ini pun menjadi persoalan bagi pulau Bali.

“Dampaknya ya menjadi beban di keluarga. Banyak yang bilang ODGJ ini tidak bisa diobati. Saya bilang bisa kok,” tegasnya.

Disinggung mengenai jumlah angka yang cukup tinggi di Bali, Suryani menyebutkan banyak faktor penyebabnya.

Antaranya terkait masa kecil anak yang tidak terdidik untuk berani menghadapi tantangan. “Anak ditekan. Ini itu tidak boleh. Kadang orang tua juga ngebully anak sendiri,” herannya.

Faktor lainnya, kejadian abortus yang banyak terjadi belakangan ini juga menjadi salah satu penyebabnya.

Untuk itu, Prof Suryani berharap pemerintah  termasuk dinas kesehatan turut mau bekerja sama untuk menyembuhkan sakit kejiwaan di Bali.

“Mari bekerjasama dan bantu gerakan kami agar bali bisa lepas dari gangguan jiwa,” tuturnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/