26.7 C
Jakarta
11 Desember 2024, 0:18 AM WIB

Koster Dinilai Gagal Perangi Covid-19, Anggaran Disebut Tak Transparan

DENPASAR – Gubenur Bali Wayan Koster menjadi orang yang bertanggungjawab dalam menangani kasus Covid 19.

Bagaimana tidak, selain berkapasitas sebagai orang nomor satu di Bali, Ketua DPD PDIP Bali ini juga menjadi ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 di Bali.

Namun belakangan ini kasus Covid 19 kian merajarela. Fase peningkatannya sangat tinggi. Dampaknya tentu ke berbagai sector.

Salah satu yang paling ketara adalah sektor pariwisata. Perekonomian masyarakat berada dititik paling rendah.

Kini, setelah satu semester Covid-19 muncul di Indonesia, data dan fakta di lapangan menunjukkan Provinsi Bali menempati

urutan pertama dari 10 provinsi dengan tingkat hunian tertinggi bagi pasien Covid-19 di rumah sakit rujukan Covid-19.

Gubernur sendiri pada 24 Agustus 2020 merilis Pergub No. 46 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan

Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 Dalam Tatanan Kehidupan Era Baru.

Direktur LBH Bali Ni Kadek Vany Primaliraning mengatakan, setidaknya ada empat kegagalan yang dilakukan pemerintah dalam memerangi Covid 19 di Bali.

Pertama, premis yang keliru dalam merespon wabah Covid-19 tampak sangat jelas dalam kebijakan pemerintah daerah (Pergub).

“Ketimbang mencurahkan perhatian, dana dan layanan kesehatan untuk mengantisipasi dan menangani virus, pemerintah daerah memiliki tendensi

untuk abuse of power dengan merampas hak masyarakat sipil lewat pengenaan sanksi terutama denda administratif tanpa melalui proses peradilan,” ujar Kadek Vany.

Baginya, cara ini, sekilas terkesan seperti “preman di jalan” sekalipun denda tersebut akan masuk dalam kas daerah.

Bahkan, bila dilihat dalam pelaksanaan tilang dalam produk hukum berupa Undang-undang adalah tetap tidak dimungkinkan bagi aparat dalam hal ini Polantas untuk menarik pembayaran di tempat melainkan diproses ke peradilan.

Bahkan, pada Peraturan Daerah yang terdapat unsur legislative sebagai pembentuk produk hukum dimana Satpol PP sebagai penegak hukum

telah diatur untuk melimpahkan perkara tersebut menjadi tindak pidana ringan (tipiring) dan diproses ke peradilan.

“Melalui Pergub ini, eksekutif di Provinsi Bali secara tidak langsung telah mengesampingkan unsur pemerintahan yang lain yaitu yudikatif atas rule adjudication function,” ujar Kadek Vany saat menyoal tentang Pergub yang dikeluarkan Koster ini.

Kedua, kegagapan pemerintah daerah ini tampak dari luputnya menyadari bahwa ada hak bagi setiap orang, dalam hal ini masyarakat sipil untuk membela diri dan menggunakan haknya.

Masyarakat sipil di Bali pun terdiri dari beragam kelas, besaran denda yang menggunakan redaksional “sebesar” bukan “paling banyak”, sehingga tiada rasa keadilan bagi keberagaman kelas tersebut.

Keadilan dan efektivitas hukum yang dimaksud, baik bagi masyarakat kecil maupun kelas menengah atas yang imun terhadap pengenaan denda sebesar ratusan ribu bahkan jutaan rupiah.

Ketiga, kesalahan premis dan kegagapan ini makin diperparah dengan carut marut bantuan sosial (bansos) yang seharusnya menjadi

fokus kerja dibanding kebijakan pemberian sanksi berupa denda maupun penundaan pemberian pelayanan administrasi.

Berdasar temuan dari jaringan pemantau bansos Bali bersumber dari temuan kasus dari media dan laporan warga telah terangkum sebanyak 33 kasus terkait distribusi bansos dalam periode Mei hingga awal September 2020.

Terbanyak adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) dana desa 14 kasus dan Bantuan Sosial Tunai (BST) Kemensos 12 kasus.

Jenis dan dugaan penyalahgunaan sekitar 23 kasus, terbanyak inclusion error sebanyak 13 kasus, penerima bantuan ganda, dan keterlambatan.

Pemerintah seharusnya sudah memiliki skema bansos gelombang kedua yang transparan dengan bersinergi dengan dana desa,

mengingat dana anggaran daerah saat ini sangat minim, namun tetap menjadi kewajiban negara dalam melakukan upaya perlindungan hak kesehatan bagi masyarakatnya.

Keempat, pemerintah seharusnya melakukan segera evaluasi terkait kenaikan angka penularan Covid 19 yang signifikan di tengah situasi New Normal.

“Terlihat pemerintah tidak berhasil melakukan rekayasa sosial sehingga social distance banyak dilanggar bahkan di tempat umum seperti lapangan, pasar, tempat malam, pura, taman bermain dan tempat tempat lainnya.

Dengan membuat denda untuk masyarakat yang tidak memakai masker namun tidak menghiraukan protokol kesehatan yang lainnya, terlihat tidak inkonsistensi,” sebutnya. 

 

DENPASAR – Gubenur Bali Wayan Koster menjadi orang yang bertanggungjawab dalam menangani kasus Covid 19.

Bagaimana tidak, selain berkapasitas sebagai orang nomor satu di Bali, Ketua DPD PDIP Bali ini juga menjadi ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) Covid-19 di Bali.

Namun belakangan ini kasus Covid 19 kian merajarela. Fase peningkatannya sangat tinggi. Dampaknya tentu ke berbagai sector.

Salah satu yang paling ketara adalah sektor pariwisata. Perekonomian masyarakat berada dititik paling rendah.

Kini, setelah satu semester Covid-19 muncul di Indonesia, data dan fakta di lapangan menunjukkan Provinsi Bali menempati

urutan pertama dari 10 provinsi dengan tingkat hunian tertinggi bagi pasien Covid-19 di rumah sakit rujukan Covid-19.

Gubernur sendiri pada 24 Agustus 2020 merilis Pergub No. 46 Tahun 2020 tentang Penerapan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan

Sebagai Upaya Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 Dalam Tatanan Kehidupan Era Baru.

Direktur LBH Bali Ni Kadek Vany Primaliraning mengatakan, setidaknya ada empat kegagalan yang dilakukan pemerintah dalam memerangi Covid 19 di Bali.

Pertama, premis yang keliru dalam merespon wabah Covid-19 tampak sangat jelas dalam kebijakan pemerintah daerah (Pergub).

“Ketimbang mencurahkan perhatian, dana dan layanan kesehatan untuk mengantisipasi dan menangani virus, pemerintah daerah memiliki tendensi

untuk abuse of power dengan merampas hak masyarakat sipil lewat pengenaan sanksi terutama denda administratif tanpa melalui proses peradilan,” ujar Kadek Vany.

Baginya, cara ini, sekilas terkesan seperti “preman di jalan” sekalipun denda tersebut akan masuk dalam kas daerah.

Bahkan, bila dilihat dalam pelaksanaan tilang dalam produk hukum berupa Undang-undang adalah tetap tidak dimungkinkan bagi aparat dalam hal ini Polantas untuk menarik pembayaran di tempat melainkan diproses ke peradilan.

Bahkan, pada Peraturan Daerah yang terdapat unsur legislative sebagai pembentuk produk hukum dimana Satpol PP sebagai penegak hukum

telah diatur untuk melimpahkan perkara tersebut menjadi tindak pidana ringan (tipiring) dan diproses ke peradilan.

“Melalui Pergub ini, eksekutif di Provinsi Bali secara tidak langsung telah mengesampingkan unsur pemerintahan yang lain yaitu yudikatif atas rule adjudication function,” ujar Kadek Vany saat menyoal tentang Pergub yang dikeluarkan Koster ini.

Kedua, kegagapan pemerintah daerah ini tampak dari luputnya menyadari bahwa ada hak bagi setiap orang, dalam hal ini masyarakat sipil untuk membela diri dan menggunakan haknya.

Masyarakat sipil di Bali pun terdiri dari beragam kelas, besaran denda yang menggunakan redaksional “sebesar” bukan “paling banyak”, sehingga tiada rasa keadilan bagi keberagaman kelas tersebut.

Keadilan dan efektivitas hukum yang dimaksud, baik bagi masyarakat kecil maupun kelas menengah atas yang imun terhadap pengenaan denda sebesar ratusan ribu bahkan jutaan rupiah.

Ketiga, kesalahan premis dan kegagapan ini makin diperparah dengan carut marut bantuan sosial (bansos) yang seharusnya menjadi

fokus kerja dibanding kebijakan pemberian sanksi berupa denda maupun penundaan pemberian pelayanan administrasi.

Berdasar temuan dari jaringan pemantau bansos Bali bersumber dari temuan kasus dari media dan laporan warga telah terangkum sebanyak 33 kasus terkait distribusi bansos dalam periode Mei hingga awal September 2020.

Terbanyak adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) dana desa 14 kasus dan Bantuan Sosial Tunai (BST) Kemensos 12 kasus.

Jenis dan dugaan penyalahgunaan sekitar 23 kasus, terbanyak inclusion error sebanyak 13 kasus, penerima bantuan ganda, dan keterlambatan.

Pemerintah seharusnya sudah memiliki skema bansos gelombang kedua yang transparan dengan bersinergi dengan dana desa,

mengingat dana anggaran daerah saat ini sangat minim, namun tetap menjadi kewajiban negara dalam melakukan upaya perlindungan hak kesehatan bagi masyarakatnya.

Keempat, pemerintah seharusnya melakukan segera evaluasi terkait kenaikan angka penularan Covid 19 yang signifikan di tengah situasi New Normal.

“Terlihat pemerintah tidak berhasil melakukan rekayasa sosial sehingga social distance banyak dilanggar bahkan di tempat umum seperti lapangan, pasar, tempat malam, pura, taman bermain dan tempat tempat lainnya.

Dengan membuat denda untuk masyarakat yang tidak memakai masker namun tidak menghiraukan protokol kesehatan yang lainnya, terlihat tidak inkonsistensi,” sebutnya. 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/