26.3 C
Jakarta
25 April 2024, 4:52 AM WIB

KTS di Kerobokan Dikeluhkan Warga Pendatang, Ini Penjelasan Bendesa

MANGUPURA – Pungutan berkedok sumbangan tidak boleh sembarangan dilakukan oleh pihak Desa Adat.

Pasalnya, desa adat hanya boleh melakukan sumbangan sukarela. Peruntukkannya juga harus jelas dan sesuai dengan awig-awig atau perarem.

Meski begitu, masih muncul keluhan dari sejumlah warga pendatangan di wilayah Desa Adat Kerobokan.

Pasalnya, warga pendatang setempat diberikan kartu dan nominal membayarnya juga berbeda-beda antar warga yang KTP Bali dan luar Bali.

Kartu  Tamiu Sementara (KTS) untuk warga non KTP Bali dan Kartu Krama Tamiu Sementara (KKTS) untuk warga KTP Bali.

Kartu ini diberikan berdasarkan awig-awig Desa Adat Kerobokan. Warga yang membayar selain diberikan kartu juga diberikan kuitansi lengkap.

Bendesa Adat Kerobokan AA Putra Sutarja menegaskan bahwa apa pun yang dilakukan di Desa Adat Kerobokan tetap acuan pada perarem dan awig-awig desa adat.

Hal itu berkaitan dengan Tri Hita Karana  (Parhyangan, Pawongan dan Palemahan). Pihaknya juga punya konsep mapahayu Tri Hita Karana.

Pamahayu parhyangan, bagaimana melestarian parhyangan yang sudah ada. Seperti untuk pelaksanaan aci nya  (ritual) bisa dilakukan secara berkesinambungan tanpa memberatkan krama (warga) sepenuhnya.

Pamahayu pawongan yakni tidak terlepas dari sinergitas, dengan saudara pendatang. Setiap saudara yang tinggal di wilayah desa adat,

satu kewajibannya harus tahu siapa dia, darimana dia, apa tujuannya, harus diketahui dengan cara mencatat atau mendata mereka.

Mapahayu palemahan, disitu  harus melakukan kegiatan kebersihan. Seperti bersih-bersih di perumahan mau pun patroli keamanan.

“Tiga elemen ini harus bisa seiring sejalan. Kami berikan saudara kita selaku krama tamiu, tamiu untuk ikut berpartisipasi,” jelasnya.

Namun semuanya sudah diatur dalam pengutan sumbangan tersebut dari awig-awig atau perarem. Baik  dari penggunaan juga jelas, dan dipertanggungjawabkan dalam parumana desa adat. 

 “Kita tidak ada memakan dana itu secara pribadi, itu semua terorganisir semuanya. Aturan dan peruntukannya jelas, ” ungkapnya.

Selain itu, pihaknya membuat surat keputusan  berdasarkan dari paruman dan  surat keputusan itu melindungi semua.

Seperti siapa yang melakukan tugas pungutan sumbangan, petugasnya resmi tercantum dalam surat tersebut. Selain itu, angka sumbangan harus jelas. 

Karena  supaya bisa mengontrol. Kalau tidak jelas angkanya, peluang korupsi kecil-kecilan ini berpotensi terjadi.

“Kami buat surat keputusan, cantumkan nama-nama siapa petugas itu. Kalau seandainya nama petugas di luar daripada surat itu, itu baru pungli, dia memanfaatkan dana untuk kepentingan pribadi. Itu semua diatur, ” tegasnya.

Lebih lanjut, kewajiban selaku krama tamiu, tamiu mereka harus punya kewajiban dan juga hak. Kewajibannya untuk tamiu

dapat Kartu Tamiu Sementara (KTS) mereka kena Rp 100 ribu berlaku untuk tiga bulan, untuk saudara yang dari luar Bali.

Sementara ada Kartu Krama Tamiu Sementara (KKTS), ini untuk masyarakat yang KTP Bali, mereka kena Rp 50 ribu selama enam bulan sekali.

“Mereka punya kewajiban dan juga memiliki hak. Nah, haknya kita memberikan pengayoman dan perlindungan. 

Kami biasanya buat laporan untuk apa saja penggunaan dana itu. Tapi intinya dana itu dimanfaatkan untuk mapahayu yakni aci, kebersihan, patroli, ” terangnya. 

MANGUPURA – Pungutan berkedok sumbangan tidak boleh sembarangan dilakukan oleh pihak Desa Adat.

Pasalnya, desa adat hanya boleh melakukan sumbangan sukarela. Peruntukkannya juga harus jelas dan sesuai dengan awig-awig atau perarem.

Meski begitu, masih muncul keluhan dari sejumlah warga pendatangan di wilayah Desa Adat Kerobokan.

Pasalnya, warga pendatang setempat diberikan kartu dan nominal membayarnya juga berbeda-beda antar warga yang KTP Bali dan luar Bali.

Kartu  Tamiu Sementara (KTS) untuk warga non KTP Bali dan Kartu Krama Tamiu Sementara (KKTS) untuk warga KTP Bali.

Kartu ini diberikan berdasarkan awig-awig Desa Adat Kerobokan. Warga yang membayar selain diberikan kartu juga diberikan kuitansi lengkap.

Bendesa Adat Kerobokan AA Putra Sutarja menegaskan bahwa apa pun yang dilakukan di Desa Adat Kerobokan tetap acuan pada perarem dan awig-awig desa adat.

Hal itu berkaitan dengan Tri Hita Karana  (Parhyangan, Pawongan dan Palemahan). Pihaknya juga punya konsep mapahayu Tri Hita Karana.

Pamahayu parhyangan, bagaimana melestarian parhyangan yang sudah ada. Seperti untuk pelaksanaan aci nya  (ritual) bisa dilakukan secara berkesinambungan tanpa memberatkan krama (warga) sepenuhnya.

Pamahayu pawongan yakni tidak terlepas dari sinergitas, dengan saudara pendatang. Setiap saudara yang tinggal di wilayah desa adat,

satu kewajibannya harus tahu siapa dia, darimana dia, apa tujuannya, harus diketahui dengan cara mencatat atau mendata mereka.

Mapahayu palemahan, disitu  harus melakukan kegiatan kebersihan. Seperti bersih-bersih di perumahan mau pun patroli keamanan.

“Tiga elemen ini harus bisa seiring sejalan. Kami berikan saudara kita selaku krama tamiu, tamiu untuk ikut berpartisipasi,” jelasnya.

Namun semuanya sudah diatur dalam pengutan sumbangan tersebut dari awig-awig atau perarem. Baik  dari penggunaan juga jelas, dan dipertanggungjawabkan dalam parumana desa adat. 

 “Kita tidak ada memakan dana itu secara pribadi, itu semua terorganisir semuanya. Aturan dan peruntukannya jelas, ” ungkapnya.

Selain itu, pihaknya membuat surat keputusan  berdasarkan dari paruman dan  surat keputusan itu melindungi semua.

Seperti siapa yang melakukan tugas pungutan sumbangan, petugasnya resmi tercantum dalam surat tersebut. Selain itu, angka sumbangan harus jelas. 

Karena  supaya bisa mengontrol. Kalau tidak jelas angkanya, peluang korupsi kecil-kecilan ini berpotensi terjadi.

“Kami buat surat keputusan, cantumkan nama-nama siapa petugas itu. Kalau seandainya nama petugas di luar daripada surat itu, itu baru pungli, dia memanfaatkan dana untuk kepentingan pribadi. Itu semua diatur, ” tegasnya.

Lebih lanjut, kewajiban selaku krama tamiu, tamiu mereka harus punya kewajiban dan juga hak. Kewajibannya untuk tamiu

dapat Kartu Tamiu Sementara (KTS) mereka kena Rp 100 ribu berlaku untuk tiga bulan, untuk saudara yang dari luar Bali.

Sementara ada Kartu Krama Tamiu Sementara (KKTS), ini untuk masyarakat yang KTP Bali, mereka kena Rp 50 ribu selama enam bulan sekali.

“Mereka punya kewajiban dan juga memiliki hak. Nah, haknya kita memberikan pengayoman dan perlindungan. 

Kami biasanya buat laporan untuk apa saja penggunaan dana itu. Tapi intinya dana itu dimanfaatkan untuk mapahayu yakni aci, kebersihan, patroli, ” terangnya. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/