DENPASAR – Usulan RUU Larangan Minuman Beralkohol yang digalang Fraksi PPP, Fraksi PKS dan Fraksi Gerindra DPR RI mengagetkan banyak pihak.
Yang paling kaget tentu saja masyarakat Bali. Betapa tidak, di tengah keputusan Gubernur Bali Wayan Koster menggalakkan home industry arak Bali melalui Pergub No 1 Tahun 2020, mendadak muncul usulan tersebut.
Semangat RUU Larangan Minuman Beralkohol dinilai tidak tepat di tengah upaya Pemprov Bali mengenjot industry pariwisata yang terpuruk akibat pandemic Covid-19.
Menurut anggota Komisi IX DPR RI, I Ketut Kariyasa Adnyana, sebagaimana Soju di Korea, Sake di Jepang, arak merupakan produk minuman hasil fermentasi atau destilasi khas Bali.
Bahkan, produksinya lebih banyak dilakoni para pengerajin rumahan atau UMKM. Inipula yang kemudian mendasari munculnya Pergub 1/2020.
Di samping arak merupakan salah satu produk kearifan lokal Bali yang sering dipakai sebagai sarana upacara keagamaan.
“Perlu juga diketahui, sumber penyakit bukan dari alkohol saja. Contoh saja, diabetes itu karena asupan gizi yang salah.
Jangan lupa, arak itu diproduksi oleh masyarakat adat di Bali jauh sebelum republik ini ada,” pungkas Kariyasa.
Tidak hanya itu, Wakil DPRD Bali I Nyoman Sugawa Korry meminta DPR lintas fraksi di pusat untuk menolak.
Sebab, sebagai daerah pariwisata, kebutuhan dan konsumsi minuman beralkohol tidak bisa dihindari.
Menurut Sugawa Korry, undang-undang tersebut hendaknya tidak merugikan daerah-daerah yang tergantung ekonominya dari pariwisata.
Begitu juga di Bali, sangat banyak para industri tradisional yang menggantungkan hidupnya bersama keluarga industri tersebut.
“Ini harus mendapat solusi yang sebaik-baiknya. Disamping pula, di Bali ada kewajiban-kewajiban keagamaan yang menggunakan alkohol(arak/berem),
ini juga harus mendapat perhatian dan atensi. Saya setuju kalau mengkonsumsi alkohol dengan jenis tertentu dilarang kalau dilakukan ditempat umum, mengganggu ketertiban dan keamanan,” tegasnya.