29.3 C
Jakarta
22 November 2024, 11:16 AM WIB

Prof Sudewi Terpilih Rektor Unud, Guru Besar Kecewa Kemenristekdikti

RadarBali.com – Terpilihnya Prof Dr dr AA Raka Sudewi SpS (K) sebagai rektor Universitas Udayana (Unud) periode 2017-2021 menyisakan polemik tak berkesudahan.

Munculnya “riak” terpilihnya rektor perempuan pertama di Perguruan Tinggi Negeri terbesar di Bali, ini menyusul adanya dugaan campur tangan pusat melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Kemenristekdikti RI).

Bahkan, akibat campur tangan pusat, itu menimbulkan banyak kekecewaan dari mayoritas para guru besar yang juga anggota senat universitas. Para guru besar menilai, meski terbentuk senat universitas, namun keberadaan senat yang didalamnya merupakan kumpulan para guru besar seperti tak bertaring dan diabaikan haknya. 

Salah satu anggota senat universitas Prof Dr Ing Ir I Made Merta DAA yang dikonfirmasi terkait adanya kekecewaan dari sejumlah guru besar, tak menampik. “Tetapi kan saat ini sudah ada rektor terpilih. Tentu wajar dalam pemilihan ada kalah ada menang. Selain itu ada yang puas dan tidak puas, “terang Prof Merta. 

Dia pun tak memungkiri adanya suasana tak harmonis dengan adanya hajatan pemilihan rektor (Pilrek) beberapa hari lalu.

“Semua guru besar dan anggota senat universitas tahu bagaimana proses awal sampai akhir. Termasuk bagaimana performance dan figur dari masing-masing kandidat, “paparnya. 

Berdasar perolehan suara saat penjaringan,  mayoritas mendukung Prof Damri dengan meraih 106 suara. “Tetapi faktanya berubah. Bobot suara menteri 35 persen itu cukup besar dan itu merubah sistem demokrasi. Prof Damri yang mendapat suara mayoritas justru kalah,  sebaliknya yang kalah di penjaringan bisa menang “tegasnya. 

Belum lagi,  kata Merta, pemberian 32 suara oleh menteri kepada calon rektor Ngurah Gunawan yang saat penjaringan hanya memperoleh satu suara memunculkan banyak pertanyaan.

“Kawan-kawan di senat banyak mempertanyakan dasar pemberian suara. Padahal kalau dari performance sudah jelas. Kami dan kawan-kawan tidak menyebut ini bagian intervensi pusat, tetapi kami mempertanyakan dasar. Kalau kemudian 106 guru besar ini memberikan testimoni,  lalu pusat mau bilang apa?, “ujarnya. 

Apakah ini ada kaitan dengan adanya surat kaleng yang dikirim ke Kemenristekdikti seusai penjaringan? Ditanya begitu, Prof Merta tidak ingin menanggapi.

“Saya tidak mau tanggapi soal (surat kaleng) itu. Entah itu surat kaleng, surat kotak, opini, atau apa namanya saya tidak mau ke ranah itu. Apalagi soal  (surat kaleng yang isinya menjelekkan kandidat Prof Damriyasa)  itu kan juga sudah diklarifikasi dan clear dengan turunnya Dirjen Dikti, “tegasnya. 

Prof Merta berharap, meski pemberian suara oleh Menristekdikti merupakan hak dan sesuai aturan, akan tetapi dengan munculnya banyak kekecewaan, ia berharap kasus ini tidak terulang kembali.

“Kasus demikian ini pernah terjadi di ITS Surabaya, Universitas Patimura Ambon dan Universitas Andalas Padang dan sekarang Unud. Janganlah kampus diotak-atik, apalagi dipolitisasi sehingga mengacaukan keharmonisan yang selama ini sudah terbangun baik,”harapnya. 

Dengan melihat pola karakter yang sudah jelas,  dengan kampus Unud yang dinilai sebagai kampus yang unggul dan berbudaya, ia menilai bahwa Pilrek kali ini paling kacau.

“Sekali lagi semestinya pusat melihat kekuatan produktif dibawah. Kami bukan mempersoalkan siapa yang saat ini terpilih, namun hal itu penting demi tetap terjaganya harmonisasi dan kondusifnya proses belajar mengajar untuk melahirkan para intelektual masa depan, “tambahnya. 

Anggota senat Universitas Udayana, Prof Yohanes Usfunan juga membenarkan dengan adanya polemik pasca Pilrek. Akan tetapi, guru besar Fakultas Hukum Unud ini menilai jika dari perspektif hukum sudah selesai.

“Saya hanya melihat dari perspektif hukum sudah selesai dan prosesnya berlangsung demokratis dan sesuai aturan.  Kami selaku anggota senat terima kemenangan itu apa adanya,” papar Prof Yohanes. 

Saat dimintai pendapatnya soal ketidakpuasan banyak guru besar, Prof Yohanes menyatakan sah-sah saja. “Hanya tentu harus dikembalikan pada aturan. Unud ini kan milik negara, kalau kemudian dianggap perlu ada tinjauan ya silahkan. Tentu saya hanya menyarankan agar dalam persoalan ini jangan hanya dilihat dari aspek HAM-nya, “pungkasnya. 

Sekedar diketahui, pada Pilrek Unud, Prof AA Raka Sudewi menang tipis dengan hanya selisih satu suara dari koleganya, Prof Dr Drh I Made Damriyasa MS (Fakultas Kedokteran Hewan) dengan perbandingan perolehan suara 107 :106.

Perolehan ini kemudian oleh banyak guru besar dinilai cukup mengejutkan. Pasalnya saat tahapan penjaringan,  dari tiga kandidat yang memutuskan maju, Prof Damriyasa memperoleh suara mayoritas dengan jumlah 93 suara, disusul Prof Raka Sudewi 64 suara,  dan Dr Gunawan 1 suara.

Namun saat pemilihan,  fakta berubah setelah menteri yang memiliki hak suara sebesar 35 persen (83 suara) mengalahkan suara mayoritas para anggota senat universitas yang memiliki bobot 65 persen (170 anggota atau suara). 

RadarBali.com – Terpilihnya Prof Dr dr AA Raka Sudewi SpS (K) sebagai rektor Universitas Udayana (Unud) periode 2017-2021 menyisakan polemik tak berkesudahan.

Munculnya “riak” terpilihnya rektor perempuan pertama di Perguruan Tinggi Negeri terbesar di Bali, ini menyusul adanya dugaan campur tangan pusat melalui Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia (Kemenristekdikti RI).

Bahkan, akibat campur tangan pusat, itu menimbulkan banyak kekecewaan dari mayoritas para guru besar yang juga anggota senat universitas. Para guru besar menilai, meski terbentuk senat universitas, namun keberadaan senat yang didalamnya merupakan kumpulan para guru besar seperti tak bertaring dan diabaikan haknya. 

Salah satu anggota senat universitas Prof Dr Ing Ir I Made Merta DAA yang dikonfirmasi terkait adanya kekecewaan dari sejumlah guru besar, tak menampik. “Tetapi kan saat ini sudah ada rektor terpilih. Tentu wajar dalam pemilihan ada kalah ada menang. Selain itu ada yang puas dan tidak puas, “terang Prof Merta. 

Dia pun tak memungkiri adanya suasana tak harmonis dengan adanya hajatan pemilihan rektor (Pilrek) beberapa hari lalu.

“Semua guru besar dan anggota senat universitas tahu bagaimana proses awal sampai akhir. Termasuk bagaimana performance dan figur dari masing-masing kandidat, “paparnya. 

Berdasar perolehan suara saat penjaringan,  mayoritas mendukung Prof Damri dengan meraih 106 suara. “Tetapi faktanya berubah. Bobot suara menteri 35 persen itu cukup besar dan itu merubah sistem demokrasi. Prof Damri yang mendapat suara mayoritas justru kalah,  sebaliknya yang kalah di penjaringan bisa menang “tegasnya. 

Belum lagi,  kata Merta, pemberian 32 suara oleh menteri kepada calon rektor Ngurah Gunawan yang saat penjaringan hanya memperoleh satu suara memunculkan banyak pertanyaan.

“Kawan-kawan di senat banyak mempertanyakan dasar pemberian suara. Padahal kalau dari performance sudah jelas. Kami dan kawan-kawan tidak menyebut ini bagian intervensi pusat, tetapi kami mempertanyakan dasar. Kalau kemudian 106 guru besar ini memberikan testimoni,  lalu pusat mau bilang apa?, “ujarnya. 

Apakah ini ada kaitan dengan adanya surat kaleng yang dikirim ke Kemenristekdikti seusai penjaringan? Ditanya begitu, Prof Merta tidak ingin menanggapi.

“Saya tidak mau tanggapi soal (surat kaleng) itu. Entah itu surat kaleng, surat kotak, opini, atau apa namanya saya tidak mau ke ranah itu. Apalagi soal  (surat kaleng yang isinya menjelekkan kandidat Prof Damriyasa)  itu kan juga sudah diklarifikasi dan clear dengan turunnya Dirjen Dikti, “tegasnya. 

Prof Merta berharap, meski pemberian suara oleh Menristekdikti merupakan hak dan sesuai aturan, akan tetapi dengan munculnya banyak kekecewaan, ia berharap kasus ini tidak terulang kembali.

“Kasus demikian ini pernah terjadi di ITS Surabaya, Universitas Patimura Ambon dan Universitas Andalas Padang dan sekarang Unud. Janganlah kampus diotak-atik, apalagi dipolitisasi sehingga mengacaukan keharmonisan yang selama ini sudah terbangun baik,”harapnya. 

Dengan melihat pola karakter yang sudah jelas,  dengan kampus Unud yang dinilai sebagai kampus yang unggul dan berbudaya, ia menilai bahwa Pilrek kali ini paling kacau.

“Sekali lagi semestinya pusat melihat kekuatan produktif dibawah. Kami bukan mempersoalkan siapa yang saat ini terpilih, namun hal itu penting demi tetap terjaganya harmonisasi dan kondusifnya proses belajar mengajar untuk melahirkan para intelektual masa depan, “tambahnya. 

Anggota senat Universitas Udayana, Prof Yohanes Usfunan juga membenarkan dengan adanya polemik pasca Pilrek. Akan tetapi, guru besar Fakultas Hukum Unud ini menilai jika dari perspektif hukum sudah selesai.

“Saya hanya melihat dari perspektif hukum sudah selesai dan prosesnya berlangsung demokratis dan sesuai aturan.  Kami selaku anggota senat terima kemenangan itu apa adanya,” papar Prof Yohanes. 

Saat dimintai pendapatnya soal ketidakpuasan banyak guru besar, Prof Yohanes menyatakan sah-sah saja. “Hanya tentu harus dikembalikan pada aturan. Unud ini kan milik negara, kalau kemudian dianggap perlu ada tinjauan ya silahkan. Tentu saya hanya menyarankan agar dalam persoalan ini jangan hanya dilihat dari aspek HAM-nya, “pungkasnya. 

Sekedar diketahui, pada Pilrek Unud, Prof AA Raka Sudewi menang tipis dengan hanya selisih satu suara dari koleganya, Prof Dr Drh I Made Damriyasa MS (Fakultas Kedokteran Hewan) dengan perbandingan perolehan suara 107 :106.

Perolehan ini kemudian oleh banyak guru besar dinilai cukup mengejutkan. Pasalnya saat tahapan penjaringan,  dari tiga kandidat yang memutuskan maju, Prof Damriyasa memperoleh suara mayoritas dengan jumlah 93 suara, disusul Prof Raka Sudewi 64 suara,  dan Dr Gunawan 1 suara.

Namun saat pemilihan,  fakta berubah setelah menteri yang memiliki hak suara sebesar 35 persen (83 suara) mengalahkan suara mayoritas para anggota senat universitas yang memiliki bobot 65 persen (170 anggota atau suara). 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/