DENPASAR – Surat keputusan Majelis Desa Adat (MDA) Bali yang melarang unjuk rasa lebih dari 100 orang dituding sebagai langkah yang keluar koridor. Hal itu ditegaskan kelompok mahasiswa yang bernaung dalam aliansi “Cipayung Plus” di Bali.
Cipayung Plus merupakan aliansi beberapa organisasi mahasiswa. Di antaranya GMNI, HMI, PMKRI, GMKI, KMHDI dan LMND, dan lainnya Menyikapi UU Cipta Kerja, aliansi ini membuat organ taktis bernama Solidaritas Aliansi Rakyat Pro Demokrasi (Santi).
“MDA terkesan menjadi alat politik penguasa,” kata Koordinator Santi, I Made Gerry Gunawan dalam acara bedah terhadap UU Cipta Kerja di Sekretariat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Denpasar, Jalan Banteng Rabu (14/10).
Dia mengatakan, pembatasan unjuk rasa di lingkungan desa adat sebagai bentuk pembungkaman terhadap sikap kritis masyarakat. Kata dia, ketika ada aksi beberapa hari lalu, MDA langsung bereaksi dengan mengeluarkan surat keputusan pembatasan aksi tidak lebih 100 orang, itu kan sudah bagian dari penggembosan.
“Ayolah lebih baik MDA kembali pada rohnya (fungsi MDA). Janganlah adat dibenturkan dengan masyarakat sehingga timbullah konflik horizontal,” ucap Aktivis DPC GMNI Denpasar ini.
Dalam bedah UU Ciptaker itu hadir sejumlah wakil dari organisasi mahasiswa. Hadir pula Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud), I Made Dedy Priyanto sebagai narasumber. Mereka mengkritik UU Cipta Kerja yang disahkan di DPR RI 5 Oktober 2020 lalu.
Seperti diketahui, Majelis Desa Adat Provinsi Bali mengeluarkan surat tentang Pembatasan Kegiatan Unjuk Rasa di Wewidangan Desa adat di Bali Selama Gering Agung Covid-19 dengan nomor : 08/Sk/MDA-PBali/X/2020. Keputusan dikeluarkan pasca-aksi penolakan UU Omnibus Law Cipta Kerja Kamis lalu. Kini, Majelis adat yang membatasi gerak masyarakat untuk bersuara.
Bendesa Agung Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet menjelaskan isi surat tersebut pertama, Majelis Desa Adat Provinsi Bali tentang Pembatasan Kegiatan unjuk rasa di wewidangan Desa Adat di Bali selama gering Agung Covid-19. Isi kedua, MDA meminta seluruh krama desa adat, krama tamiu, dan tamiu yang ada di Bali bahwa: Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara hukum yang diselesaikan dengan cara musyawarah atau melalui mekanisme hukum yang konstitusional.
Kedua, selaku krama desa adat, krama tamiu, dan tamiu,di wewidangan Desa Adat di Bali hendaknya selalu melaksanakan tuntunan agama, mengedepankan musyawarah dengan semangat menyama braya, gilik-saguluk para-sparo salunglung sabayantaka, sarpana ya.
Ketiga, melarang kegiatan unjuk rasa selama garing agung Covid-19 yang melibatkan peserta lebih daripada 100 orang di setiap wewidangan (lingkungan) Desa Adat di Bali. Surat keputusan itu diterbitkan pada Senin (12/10).