28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 4:59 AM WIB

Ahli Pidana: Saya Tidak Sampai pada Kesimpulan Unggahan JRX itu Salah

DENPASAR – Sidang dengan terdakwa I Gede Aryastina alias JRX SID kembali berlanjut pada Kamis (15/10). Kali ini, agenda sidang adalah mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.

Setidaknya ada 4 ahli yang diminta keteranganya di depan majelis hakim yang memimpin jalannya persidangan. Mereka di antaranya ahli digital forensik, ahli ITE, ahli bahasa dan ahli pidana.

Pantauan radarbali.id dalam persidangan tersebut, ahli pidana yakni Dr. I Gusti Ketut Ariawan memberikan keterangan penting mengenai proses pidana dan unsur dalam pasal 27 dan 28 UU ITE serta pasal terkait yakni pasal 310 KUHP.

Dalam persidangan, jaksa penuntut umum meminta pendapat ahli terkait kasus JRX. Padahal, hal tersebut tak boleh dilakukan, karena ahli hanya boleh berbicara soal keilmuan saja.

“Sebagai ahli, di sini saya tak menilai perbuatan JRX itu disengaja atau tidak. Saya pun tidak sampai pada kesimpulan bahwa unggahan JRX itu salah,” ujarnya.

“Kehadiran saya di sini untuk kepentingan akademik. Saya tak mau masuk ke materi,” sambung pria yang juga sebagai dosen hukum pidana di Fakultas Hukum Universitas Udayana ini.

Bicara soal keilmuan, ahli memberikan keterangan siapakah orang yang berhak melaporkan seseorang ke pihak berwajib. Ahli memaparkan ada dua orang yang berhak.

Pertama, ialah orang yang diberikan hak oleh undang-undang, dalam hal ini korban. Dan kedua, ialah orang karena kewajiban hukum. Misalnya siapa mengetahui sebuah informasi atau mengetahui adanya tindak pidana.

“Namun belakangan ini berkembang lagi. Seperti kasus Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Jadi siapapun berhak mengadukan seseorang. Yang terpenting, si pengadu ini tidak menjadi saksi fakta,” ujarnya.

Hal ini kemudian dikembangkan lagi oleh kuasa hukum JRX, Wayan “Gendo” Suardana yang hadir dalam persidangan. Gendo bertanya apakah boleh mengadu dengan memberikan kuasa kepada orang lain?

“Yang mengadu harus korban. Kalau memberikan kuasa itu boleh tapi bukan otomatis si penerima kuasa ini adalah korban,” jawab ahli.

Namun yang menarik, ahli mengaku belum pernah melihat surat kuasa untuk melaporkan orang.

Kemudian juga dibedah mengenai pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 UU ITE. Dikatakan, pasal 27 ayat 3 UU ITE ini norma pokoknya ada di pasal 310 KUHP di mana pasal terkait pencemaran nama baik ini harus jelas orang yang dituduhkan sehingga merasa benar-benar tercemar namanya (korban).

Sedangkan, dalam pasal 28 ayat 3 UU ITE, untuk menyebarkan kebencian pun harus ada dua golongan. Di sana tertulis antargolongan. “Kalau satu golongan saja, itu tidak menimbulkan kebencian antargolongan (SARA),” pungkas ahli.

DENPASAR – Sidang dengan terdakwa I Gede Aryastina alias JRX SID kembali berlanjut pada Kamis (15/10). Kali ini, agenda sidang adalah mendengarkan keterangan ahli yang diajukan oleh jaksa penuntut umum.

Setidaknya ada 4 ahli yang diminta keteranganya di depan majelis hakim yang memimpin jalannya persidangan. Mereka di antaranya ahli digital forensik, ahli ITE, ahli bahasa dan ahli pidana.

Pantauan radarbali.id dalam persidangan tersebut, ahli pidana yakni Dr. I Gusti Ketut Ariawan memberikan keterangan penting mengenai proses pidana dan unsur dalam pasal 27 dan 28 UU ITE serta pasal terkait yakni pasal 310 KUHP.

Dalam persidangan, jaksa penuntut umum meminta pendapat ahli terkait kasus JRX. Padahal, hal tersebut tak boleh dilakukan, karena ahli hanya boleh berbicara soal keilmuan saja.

“Sebagai ahli, di sini saya tak menilai perbuatan JRX itu disengaja atau tidak. Saya pun tidak sampai pada kesimpulan bahwa unggahan JRX itu salah,” ujarnya.

“Kehadiran saya di sini untuk kepentingan akademik. Saya tak mau masuk ke materi,” sambung pria yang juga sebagai dosen hukum pidana di Fakultas Hukum Universitas Udayana ini.

Bicara soal keilmuan, ahli memberikan keterangan siapakah orang yang berhak melaporkan seseorang ke pihak berwajib. Ahli memaparkan ada dua orang yang berhak.

Pertama, ialah orang yang diberikan hak oleh undang-undang, dalam hal ini korban. Dan kedua, ialah orang karena kewajiban hukum. Misalnya siapa mengetahui sebuah informasi atau mengetahui adanya tindak pidana.

“Namun belakangan ini berkembang lagi. Seperti kasus Basuki Tjahaya Purnama (Ahok). Jadi siapapun berhak mengadukan seseorang. Yang terpenting, si pengadu ini tidak menjadi saksi fakta,” ujarnya.

Hal ini kemudian dikembangkan lagi oleh kuasa hukum JRX, Wayan “Gendo” Suardana yang hadir dalam persidangan. Gendo bertanya apakah boleh mengadu dengan memberikan kuasa kepada orang lain?

“Yang mengadu harus korban. Kalau memberikan kuasa itu boleh tapi bukan otomatis si penerima kuasa ini adalah korban,” jawab ahli.

Namun yang menarik, ahli mengaku belum pernah melihat surat kuasa untuk melaporkan orang.

Kemudian juga dibedah mengenai pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2 UU ITE. Dikatakan, pasal 27 ayat 3 UU ITE ini norma pokoknya ada di pasal 310 KUHP di mana pasal terkait pencemaran nama baik ini harus jelas orang yang dituduhkan sehingga merasa benar-benar tercemar namanya (korban).

Sedangkan, dalam pasal 28 ayat 3 UU ITE, untuk menyebarkan kebencian pun harus ada dua golongan. Di sana tertulis antargolongan. “Kalau satu golongan saja, itu tidak menimbulkan kebencian antargolongan (SARA),” pungkas ahli.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/