25.9 C
Jakarta
5 November 2024, 22:13 PM WIB

Muncul Petisi Dukung PSBB, Koster Malah Bilang Tak Usah Bicara PSBB

DENPASAR – Kasus positif corona virus diseases (Covid-19) di Bali setiap hari kian meningkat. Desakan sejumlah pihak untuk melakukan PSBB pun terus bermunculan.

Salah satunya melalui petisi yang dibuat aktivis 98 Wayan “Gendo” Suardana. Dalam petisinya, pria asal Ubud, Gianyar ini menyebut ada kelalaian dari Pemprov Bali dalam menangani Covid – 19 ini.

“Setelah sebelumnya Pemprov Bali abai terhadap pandemi, lalu gelagapan menghadapinnya terbukti dengan kebijakan “surplus” imbauan kemandirian masyarakat untuk mencegah

penanggulangan Covid-19, akhirnya ada saat pemerintah pusat, Presdien Jokowi menetapkan status darurat kesehatan masyarakat dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)

sebagai bentuk respon kedarutannya, gubernur mengeluarkan instruksi No: 8551 Tahun 2020. Problemnya, instruksi itu tidak jauh berbeda dengan isi imbaun-imbauan sebelumnya.

Di satu sisi instruksi terbit, namun disisi lain terjadi kenaikan jumlah warga yang positif Covid-19 yang saat ini sudah mencapai angka 98 orang.

Tuntutan warga agar segera diterapkan PSBB dimentahkan oleh Gubenur Bali yang dalam konferensi persnya menyatakan bahwa situasi Bali belum memenuhi syarat pemberlakuan PSBB.

Alasannya kasus belum besar, dengan jumlah kasus positif 81 orang, 19 sembuh dan 2 meninggal sisa 60 yang dirawat. Lalu Gubernur menyatakan 51 dari PMI, 13 dari luar daerah dan lokal hanya 8”.

“Sebenarnya transmisi lokalnya, aliran lokalnya itu menurut saya kecil di Bali.  Karena itu untuk memberlakukan PSBB di Bali masih jauh, jauh…,” kata Gubernur Bali.

Pernyataan ini tentu bertolak belakang dengan situasi yang ada. Jika mengikuti logika berpikir dari gubernur Bali, maka dapat dianalisa sebagai berikut:

jumlah kasus posititf 81 orang, dihubungkan dengan jumlah penduduk di Bali yakni 3,890,757 penduduk (jumlah penduduk per 2010 versi BPS)

maka  jumlah kasus kasus positif adalah 22 per 1 juta penduduk, oleh karenanya prosentase positif berkisar  pada 0,0022%.

Dengan prosentase itu artinya Bali berada di peringkat ke 4 nasional, padahal situasi ini dalam kondisi orang yang ditest belum mencapai 1.000 orang.

Bila kasus positif sudah mencapai peringkat 4 nasional, maka menurut Saya itu sudah memenuhi kriteria pemberlakuan PSBB sebagaimana diatur dalam pasal 3 PP No: 21 Tahun 2020.

Jika gubernur Bali beralasan bahwa kasus positif itu bukan transmisi lokal, maka patut catat bahwa PP No: 21 Tahun 2020 tidak mensyaratkan jenis transmisi sebagai parameter kriteria PSBB.

Lagipula, berdasarkan keterangan gubernur Bali, ada 13 orang positif dari luar daerah, artinya ada transmisi akibat dari pelintasan orang antar wilayah.

Dengan demikian hal itu sudah memenuhi syarat untuk memberlakukan PSBB. Oleh karenanya, PSBB sudah dapat diusulkan karena telah memenuhi kriteria sebagamana PP No: 21 Tahun 2020.

Jangan sampai menunggu banyak yang meninggal karena Covid – 19 untuk dijadikan dasar penerapan PSBB.

Tidak ada alasan rasional bagi Gubenur Bali untuk menunda PSBB apalagi menyatakan PSBB masih jauh,

 selain karena urusan anggaran dan masalah kewajiban memperharikan kebutuhan dasar penduduk jika melakukan PSBB.

Berdasarkan hal itu, mari kita tuntut Gubernur Bali agar:

1. Segera menyiapkan anggaran bersama 9 Pemkab/Pemkot di Bali guna memenuhi kebutuhan dasar penduduk sebagai prasyarat pengusulan penerapan PSBB diterapkan di Bali.

2. Segera mengusulkan kepada pemerintah pusat c.q Menteri Kesehatan untuk menerapkan PSBB di wilayah Bali sebagaimana PP No 21 Tahun 2020.

3. Segera berkoordinasi ke Gubernur Jatim dan Gubernur NTB guna bersama-sama menerapkan PSBB atau setidak-tidaknya membantu Propinsi Bali

jika memberlakukan PSB agar pintu masuk wilayah utama di pelabuhan dapat diperketat protokol perlintasannya guna efektifitas penerapan PSBB.

Semoga tuntutan ini diperhatikan dengan guna keselamatan kita bersama. Mari dukung Pemprov Bali dengan cara menandatangani petisi ini agar punya keberanian untuk mengusulkan penerapan PSBB di Bali.”

Dalam kurun waktu 3 jam sejak diluncurkan pada Kamis (16/4), petisi ini pun sudah ditandatangani 250 orang lebih. 

Saat dikonfirmasi lebih lanjut terkait  pengajuan petisi tersebut, Gendo menyebut hal ini penting dilakukan sebagaimana alasan dalam petisi tersebut.

Lalu apakah ada kerugian bagi Bali jika diterapkan PSBB? “Susah ngukur kerugian jika berurusan dengan wabah pandemik yang terkait dengan nyawa manusia,” jawab Gendo, Kamis sore.

Sebab, lanjutnya, jika ditarik dalam sisi kemanusiaan maka untuk urusan nyawa manusia maka kerugian itu menjadi relative.

Bahkan, dalam banyak hal harta itu tidak berarti dibanding kehilangan nyawa. “Jika itu itu dipakai ukuran maka atas dasar keselamatan publik maka tidak relevan lagi bicara kerugian,” katanya.

Namun, kalau kerugian itu ditempatkan pada atas standar untung dan rugi, maka  penerapan PSBB sejatinya gak ada ruginya untuk Bali

selain Pemerintah daetah Bali dan pemkab/kota harus merealokasi anggaran dan memeras anggaran untuk membiayai kebutuhan dasar rakyat. 

“Sebab saat ini kan juga situasinya sudah kayak PSBB hanya bedanya ini situasi PSBB tanpa ada kewajiban pemerintah membiayai kebutuhan dasar warga,” jawabnya.

Akhirnya warga yang mandiri, PSBB mandiri dengan biaya mandiri. Pun yang bergerak adalah desa adat, lembaga-lembaga ekonomi adat, banjar dan komunitas untuk membiayai kebutuhan dasar warganya. 

Jika itu dipakai perbandingan, kata Gendo,  jika tanpa PSBB, yang rugi ya rakyat karena mereka membiayai diri sendiri dan pemerintah lepas dari tanggungjawab membiayai kebutuhan dasar warga.

“Kalau PSBB ya memang “pemerintah rugi” karena biaya kebutuhan dasar rakyat tapi kalau tidak maka “rakyat yang rugi,””katanya tanda petik.

Tapi dengan penerapan PSBB, dengan dasar argumen bahwa kasus positif Bali justru dari transmisi luar daerah maka penerapan PSBB dengan kerjasama

provinsi NTB dan Jatim maka pengetatan pintu wilayah dapat dilakukan secara legal. “Dan ini dapat mencegah transmisi antar wilayah,” tuturnya.

Di lain sisi, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk diterapkan di Bali sepertinya tidak menjadi pilihan Gubernur Bali Wayan Koster.

“Belum waktunya (PSBB) dan masih jauh. Karena saya melihat dari jumlah positif, meninggal termasuk kasus transmisi lokal sangat kecil di Bali,”ujar Koster beberapa waktu lalu 

 

DENPASAR – Kasus positif corona virus diseases (Covid-19) di Bali setiap hari kian meningkat. Desakan sejumlah pihak untuk melakukan PSBB pun terus bermunculan.

Salah satunya melalui petisi yang dibuat aktivis 98 Wayan “Gendo” Suardana. Dalam petisinya, pria asal Ubud, Gianyar ini menyebut ada kelalaian dari Pemprov Bali dalam menangani Covid – 19 ini.

“Setelah sebelumnya Pemprov Bali abai terhadap pandemi, lalu gelagapan menghadapinnya terbukti dengan kebijakan “surplus” imbauan kemandirian masyarakat untuk mencegah

penanggulangan Covid-19, akhirnya ada saat pemerintah pusat, Presdien Jokowi menetapkan status darurat kesehatan masyarakat dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)

sebagai bentuk respon kedarutannya, gubernur mengeluarkan instruksi No: 8551 Tahun 2020. Problemnya, instruksi itu tidak jauh berbeda dengan isi imbaun-imbauan sebelumnya.

Di satu sisi instruksi terbit, namun disisi lain terjadi kenaikan jumlah warga yang positif Covid-19 yang saat ini sudah mencapai angka 98 orang.

Tuntutan warga agar segera diterapkan PSBB dimentahkan oleh Gubenur Bali yang dalam konferensi persnya menyatakan bahwa situasi Bali belum memenuhi syarat pemberlakuan PSBB.

Alasannya kasus belum besar, dengan jumlah kasus positif 81 orang, 19 sembuh dan 2 meninggal sisa 60 yang dirawat. Lalu Gubernur menyatakan 51 dari PMI, 13 dari luar daerah dan lokal hanya 8”.

“Sebenarnya transmisi lokalnya, aliran lokalnya itu menurut saya kecil di Bali.  Karena itu untuk memberlakukan PSBB di Bali masih jauh, jauh…,” kata Gubernur Bali.

Pernyataan ini tentu bertolak belakang dengan situasi yang ada. Jika mengikuti logika berpikir dari gubernur Bali, maka dapat dianalisa sebagai berikut:

jumlah kasus posititf 81 orang, dihubungkan dengan jumlah penduduk di Bali yakni 3,890,757 penduduk (jumlah penduduk per 2010 versi BPS)

maka  jumlah kasus kasus positif adalah 22 per 1 juta penduduk, oleh karenanya prosentase positif berkisar  pada 0,0022%.

Dengan prosentase itu artinya Bali berada di peringkat ke 4 nasional, padahal situasi ini dalam kondisi orang yang ditest belum mencapai 1.000 orang.

Bila kasus positif sudah mencapai peringkat 4 nasional, maka menurut Saya itu sudah memenuhi kriteria pemberlakuan PSBB sebagaimana diatur dalam pasal 3 PP No: 21 Tahun 2020.

Jika gubernur Bali beralasan bahwa kasus positif itu bukan transmisi lokal, maka patut catat bahwa PP No: 21 Tahun 2020 tidak mensyaratkan jenis transmisi sebagai parameter kriteria PSBB.

Lagipula, berdasarkan keterangan gubernur Bali, ada 13 orang positif dari luar daerah, artinya ada transmisi akibat dari pelintasan orang antar wilayah.

Dengan demikian hal itu sudah memenuhi syarat untuk memberlakukan PSBB. Oleh karenanya, PSBB sudah dapat diusulkan karena telah memenuhi kriteria sebagamana PP No: 21 Tahun 2020.

Jangan sampai menunggu banyak yang meninggal karena Covid – 19 untuk dijadikan dasar penerapan PSBB.

Tidak ada alasan rasional bagi Gubenur Bali untuk menunda PSBB apalagi menyatakan PSBB masih jauh,

 selain karena urusan anggaran dan masalah kewajiban memperharikan kebutuhan dasar penduduk jika melakukan PSBB.

Berdasarkan hal itu, mari kita tuntut Gubernur Bali agar:

1. Segera menyiapkan anggaran bersama 9 Pemkab/Pemkot di Bali guna memenuhi kebutuhan dasar penduduk sebagai prasyarat pengusulan penerapan PSBB diterapkan di Bali.

2. Segera mengusulkan kepada pemerintah pusat c.q Menteri Kesehatan untuk menerapkan PSBB di wilayah Bali sebagaimana PP No 21 Tahun 2020.

3. Segera berkoordinasi ke Gubernur Jatim dan Gubernur NTB guna bersama-sama menerapkan PSBB atau setidak-tidaknya membantu Propinsi Bali

jika memberlakukan PSB agar pintu masuk wilayah utama di pelabuhan dapat diperketat protokol perlintasannya guna efektifitas penerapan PSBB.

Semoga tuntutan ini diperhatikan dengan guna keselamatan kita bersama. Mari dukung Pemprov Bali dengan cara menandatangani petisi ini agar punya keberanian untuk mengusulkan penerapan PSBB di Bali.”

Dalam kurun waktu 3 jam sejak diluncurkan pada Kamis (16/4), petisi ini pun sudah ditandatangani 250 orang lebih. 

Saat dikonfirmasi lebih lanjut terkait  pengajuan petisi tersebut, Gendo menyebut hal ini penting dilakukan sebagaimana alasan dalam petisi tersebut.

Lalu apakah ada kerugian bagi Bali jika diterapkan PSBB? “Susah ngukur kerugian jika berurusan dengan wabah pandemik yang terkait dengan nyawa manusia,” jawab Gendo, Kamis sore.

Sebab, lanjutnya, jika ditarik dalam sisi kemanusiaan maka untuk urusan nyawa manusia maka kerugian itu menjadi relative.

Bahkan, dalam banyak hal harta itu tidak berarti dibanding kehilangan nyawa. “Jika itu itu dipakai ukuran maka atas dasar keselamatan publik maka tidak relevan lagi bicara kerugian,” katanya.

Namun, kalau kerugian itu ditempatkan pada atas standar untung dan rugi, maka  penerapan PSBB sejatinya gak ada ruginya untuk Bali

selain Pemerintah daetah Bali dan pemkab/kota harus merealokasi anggaran dan memeras anggaran untuk membiayai kebutuhan dasar rakyat. 

“Sebab saat ini kan juga situasinya sudah kayak PSBB hanya bedanya ini situasi PSBB tanpa ada kewajiban pemerintah membiayai kebutuhan dasar warga,” jawabnya.

Akhirnya warga yang mandiri, PSBB mandiri dengan biaya mandiri. Pun yang bergerak adalah desa adat, lembaga-lembaga ekonomi adat, banjar dan komunitas untuk membiayai kebutuhan dasar warganya. 

Jika itu dipakai perbandingan, kata Gendo,  jika tanpa PSBB, yang rugi ya rakyat karena mereka membiayai diri sendiri dan pemerintah lepas dari tanggungjawab membiayai kebutuhan dasar warga.

“Kalau PSBB ya memang “pemerintah rugi” karena biaya kebutuhan dasar rakyat tapi kalau tidak maka “rakyat yang rugi,””katanya tanda petik.

Tapi dengan penerapan PSBB, dengan dasar argumen bahwa kasus positif Bali justru dari transmisi luar daerah maka penerapan PSBB dengan kerjasama

provinsi NTB dan Jatim maka pengetatan pintu wilayah dapat dilakukan secara legal. “Dan ini dapat mencegah transmisi antar wilayah,” tuturnya.

Di lain sisi, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk diterapkan di Bali sepertinya tidak menjadi pilihan Gubernur Bali Wayan Koster.

“Belum waktunya (PSBB) dan masih jauh. Karena saya melihat dari jumlah positif, meninggal termasuk kasus transmisi lokal sangat kecil di Bali,”ujar Koster beberapa waktu lalu 

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/