29.2 C
Jakarta
30 April 2024, 1:57 AM WIB

Tolak Pajak Sembako, Prof Windia: Perguruan Tinggi Layak Dipungut PPN

DENPASAR – Rencana perluasan objek pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako hingga unit pendidikan,

masih mengundang polemik luas di masyarakat. Polemik ini juga mengundang perhatian Ketua Stispol Wira Bhakti Denpasar Prof. Wayan Windia.

Menurut Prof. Wayan Windia, rencana pemerintah menerapkan pajak untuk sembako dan unit pendidikan mengindikasikan negara sedang memerlukan peningkatan pendapatan untuk mengendalikan dampak pandemi corona.

“Biaya untuk membiayai dampak serangan corona ternyata sangat mahal. Negara tampaknya sudah kewalahan,” ujar Prof. Windia.   

Yang jelas, Prof. Windia menolak kalau sembako dikenakan pajak. Karena akan sangat membebani masyarakat miskin, yang kini sudah lelah lantaran merosotnya perekonomian.

Tapi ia sependapat kalau perguruan tinggi yang kaya perlu dikenakan pajak. Mereka harus bersedia membayar pajak.

“Kalau tidak mau, lalu pemerintah mencari uang di mana?” katanya. Tentu ada aturan, dalam batas kekayaan yang seberapa, sebuah lembaga pendidikan perlu dikenakan pajak.

Prof. Windia mendapat informasi bahwa perguruan tinggi yang kaya di Bali menyimpan uang hingga Rp 500-an milyar di bank.

Tentu saja uang itu berasal dari mahasiswa yang dipungut ratusan juta per orang untuk bisa memasuki prodi atau fakultas favorit. Itu adalah hak-nya. Tetapi sekarang perlu ada kewajiban. 

Dikatakan bahwa saat ini negara sedang membutuhkan dana, dan orang-orang serta lembaga yang kaya (termasuk lembaga pendidikan), perlu “memberi” kepada negaranya. 

Guru Besar Pertanian ini menyatakan tatkala pada zaman perang kemerdekaan, rakyat dengan ikhlas “memberi” kepada bangsa dan negaranya.

Bahkan, yang diberikan sampai-sampai pada tetes darahnya yang terakhir. Katanya,  kondisi negara saat ini mungkin mirip.

Negara kini sedang membutuhkan, dan masyarakat yang mampu, perlu “memberi” kepada bangsa dan negaranya.

Pada saat negara sudah stabil, bisa saja pajak untuk pendidikan dihapus. Seperti telah dihapusnya pajak sepeda, pajak TV, dan lain-lain. 

Namun Windia menyayangkan bahwa pendapatan negara kita, sangat banyak digunakan untuk kepentingan politik.

Diberikan kepada parpol, biaya pilkada dan pemilu langsung satu orang satu suara, dll. Sedangkan banyak kader parpol yang sedang meneguk kekuasaan, lalu terjerambab dalam kasus korupsi, dan masuk bui.

“Seharusnya ada sanksi, bahwa kalau ada kader parpol yang korup dalam pemerintahan, maka bantuan kepada parpol tersebut harus dicabut. “Buat apa membiayai parpol yang tidak mampu membina kader-kadernya ?” tanyanya. 

Hal ini tentu dilema hal  ini sangat sulit, karena UU dibuat oleh para kader parpol di DPR dan pemerintah. 

DENPASAR – Rencana perluasan objek pajak khususnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako hingga unit pendidikan,

masih mengundang polemik luas di masyarakat. Polemik ini juga mengundang perhatian Ketua Stispol Wira Bhakti Denpasar Prof. Wayan Windia.

Menurut Prof. Wayan Windia, rencana pemerintah menerapkan pajak untuk sembako dan unit pendidikan mengindikasikan negara sedang memerlukan peningkatan pendapatan untuk mengendalikan dampak pandemi corona.

“Biaya untuk membiayai dampak serangan corona ternyata sangat mahal. Negara tampaknya sudah kewalahan,” ujar Prof. Windia.   

Yang jelas, Prof. Windia menolak kalau sembako dikenakan pajak. Karena akan sangat membebani masyarakat miskin, yang kini sudah lelah lantaran merosotnya perekonomian.

Tapi ia sependapat kalau perguruan tinggi yang kaya perlu dikenakan pajak. Mereka harus bersedia membayar pajak.

“Kalau tidak mau, lalu pemerintah mencari uang di mana?” katanya. Tentu ada aturan, dalam batas kekayaan yang seberapa, sebuah lembaga pendidikan perlu dikenakan pajak.

Prof. Windia mendapat informasi bahwa perguruan tinggi yang kaya di Bali menyimpan uang hingga Rp 500-an milyar di bank.

Tentu saja uang itu berasal dari mahasiswa yang dipungut ratusan juta per orang untuk bisa memasuki prodi atau fakultas favorit. Itu adalah hak-nya. Tetapi sekarang perlu ada kewajiban. 

Dikatakan bahwa saat ini negara sedang membutuhkan dana, dan orang-orang serta lembaga yang kaya (termasuk lembaga pendidikan), perlu “memberi” kepada negaranya. 

Guru Besar Pertanian ini menyatakan tatkala pada zaman perang kemerdekaan, rakyat dengan ikhlas “memberi” kepada bangsa dan negaranya.

Bahkan, yang diberikan sampai-sampai pada tetes darahnya yang terakhir. Katanya,  kondisi negara saat ini mungkin mirip.

Negara kini sedang membutuhkan, dan masyarakat yang mampu, perlu “memberi” kepada bangsa dan negaranya.

Pada saat negara sudah stabil, bisa saja pajak untuk pendidikan dihapus. Seperti telah dihapusnya pajak sepeda, pajak TV, dan lain-lain. 

Namun Windia menyayangkan bahwa pendapatan negara kita, sangat banyak digunakan untuk kepentingan politik.

Diberikan kepada parpol, biaya pilkada dan pemilu langsung satu orang satu suara, dll. Sedangkan banyak kader parpol yang sedang meneguk kekuasaan, lalu terjerambab dalam kasus korupsi, dan masuk bui.

“Seharusnya ada sanksi, bahwa kalau ada kader parpol yang korup dalam pemerintahan, maka bantuan kepada parpol tersebut harus dicabut. “Buat apa membiayai parpol yang tidak mampu membina kader-kadernya ?” tanyanya. 

Hal ini tentu dilema hal  ini sangat sulit, karena UU dibuat oleh para kader parpol di DPR dan pemerintah. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/