32.7 C
Jakarta
22 November 2024, 15:54 PM WIB

Massa ABTD Turun ke Jalan, 80 Persen Rakyat Bali Tolak RUU Omnibus Law

DENPASAR – Puluhan massa dari Aliansi Bali Tidak Diam (ABTD) kembali menggelar unjuk rasa di KM 0, Denpasar, Minggu (16/8) sore.

Dalam aksi yang dijaga ketat aparat kepolisian tersebut, mereka menyuarakan beberapa tuntutan. Poin paling penting, 80 persen rakyat menolak RUU Omnibus Law.

Setidaknya ada empat tuntutan yang mereka suarakan. Yang pertama mereka meminta pemerintah dan DPR RI menghentikan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Kemudian mereka meminta pemerintah dan DPR RI agar segera mengesahkan RUU PKS. Mereka juga meminta pemerintah menghentikan privatisasi, liberalisasi dan komersialisasi pendidikan.

Selain itu, mereka juga secara tegas meminta pemerintah menghentikan kriminalisasi, intimidasi dan diskriminasi terhadap masyarakat dan mahasiswa terkhususnya kepada Rakyat Papua.

Koordinator lapangan Aliansi Bali Tidak Diam I Wayan Nata Manik Kusuma mengatakan, kasus diskriminasi, intimidasi dan kriminalisasi yang terjadi di masyarakat kian hari kian bertambah.

Hal ini seharusnya menjadi tanda tanya tersendiri mengenai kemana arah demokrasi dan persatuan yang selama ini digemborkan oleh Indonesia.

Beberapa kasus sudah menjadi warisan turun temurun yang belum menemukan suatu hasil yang memuaskan, justru kian hari bukan hanya masyarakat biasa, aktivis, bahkan mahasiswa pun ikut menjadi korban. 

“Tidak pandang bulu, pemerintah dan masyarakat sendiri terkadang lupa akan rasa kemanusiaannya.  Salah satu bentuk nyata dari adanya diskriminasi,

intimidasi dan kriminalisasi di Indonesia adalah permasalahan yang terjadi di Papua. Bumi Cendrawasih ini bahkan mengalami tekanan-tekanan

yang lebih dari buruk dari sekedar diskriminatif, intimidasi, kriminalisasi, rasial, kekerasan, persekusi, intimidatif ataupun represif,” terang Nata Manik Kusuma.

Menurutnya, mengacu kepada Papua Road Map yang dibuat Tim Kajian Papua LIPI pada 2009, sumber konflik di Papua bersumber dari pelanggaran

HAM masa lalu yang penyelesaiannya menggantung serta persoalan sejarah dan status politik, kegagalan pembangunan hingga marjinalisasi masyarakat Papua.

“Streotype atau prasangka mengenai Papua inilah yang membuat seolah Papua bukanlah bagian dari Indonesia,” ujarnya. 

Selain terkait persoalan Papua, massa aksi juga mengecam penelitian yang berpihak pada kapitalis dan mengondisikan seolah olah masyarakat Bali setuju dengan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

“Melalui gerakan turun kejalan, kami menyuarakan aspirasi rakyat Bali bahwa 80 persen rakyat Bali menolak Omnibus law dan merebut

kedaulatan kami yang menjadi HAM yang dilindungi konstitusi,” tandasnya. Dalam aksi yang berjalan damai itu ditutup dengan pembakaran lilin. 

DENPASAR – Puluhan massa dari Aliansi Bali Tidak Diam (ABTD) kembali menggelar unjuk rasa di KM 0, Denpasar, Minggu (16/8) sore.

Dalam aksi yang dijaga ketat aparat kepolisian tersebut, mereka menyuarakan beberapa tuntutan. Poin paling penting, 80 persen rakyat menolak RUU Omnibus Law.

Setidaknya ada empat tuntutan yang mereka suarakan. Yang pertama mereka meminta pemerintah dan DPR RI menghentikan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Kemudian mereka meminta pemerintah dan DPR RI agar segera mengesahkan RUU PKS. Mereka juga meminta pemerintah menghentikan privatisasi, liberalisasi dan komersialisasi pendidikan.

Selain itu, mereka juga secara tegas meminta pemerintah menghentikan kriminalisasi, intimidasi dan diskriminasi terhadap masyarakat dan mahasiswa terkhususnya kepada Rakyat Papua.

Koordinator lapangan Aliansi Bali Tidak Diam I Wayan Nata Manik Kusuma mengatakan, kasus diskriminasi, intimidasi dan kriminalisasi yang terjadi di masyarakat kian hari kian bertambah.

Hal ini seharusnya menjadi tanda tanya tersendiri mengenai kemana arah demokrasi dan persatuan yang selama ini digemborkan oleh Indonesia.

Beberapa kasus sudah menjadi warisan turun temurun yang belum menemukan suatu hasil yang memuaskan, justru kian hari bukan hanya masyarakat biasa, aktivis, bahkan mahasiswa pun ikut menjadi korban. 

“Tidak pandang bulu, pemerintah dan masyarakat sendiri terkadang lupa akan rasa kemanusiaannya.  Salah satu bentuk nyata dari adanya diskriminasi,

intimidasi dan kriminalisasi di Indonesia adalah permasalahan yang terjadi di Papua. Bumi Cendrawasih ini bahkan mengalami tekanan-tekanan

yang lebih dari buruk dari sekedar diskriminatif, intimidasi, kriminalisasi, rasial, kekerasan, persekusi, intimidatif ataupun represif,” terang Nata Manik Kusuma.

Menurutnya, mengacu kepada Papua Road Map yang dibuat Tim Kajian Papua LIPI pada 2009, sumber konflik di Papua bersumber dari pelanggaran

HAM masa lalu yang penyelesaiannya menggantung serta persoalan sejarah dan status politik, kegagalan pembangunan hingga marjinalisasi masyarakat Papua.

“Streotype atau prasangka mengenai Papua inilah yang membuat seolah Papua bukanlah bagian dari Indonesia,” ujarnya. 

Selain terkait persoalan Papua, massa aksi juga mengecam penelitian yang berpihak pada kapitalis dan mengondisikan seolah olah masyarakat Bali setuju dengan RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

“Melalui gerakan turun kejalan, kami menyuarakan aspirasi rakyat Bali bahwa 80 persen rakyat Bali menolak Omnibus law dan merebut

kedaulatan kami yang menjadi HAM yang dilindungi konstitusi,” tandasnya. Dalam aksi yang berjalan damai itu ditutup dengan pembakaran lilin. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/