DENPASAR – Komisi IX DPR bersama Kementerian Kesehatan melakukan kunjungan kerja Bali Jumat lalu.
Tujuan kedatangan mereka adalah untuk pengawasan premi JKN bagi para peserta yang tercantum dalam daftar penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (B) kelas III
sebagaimana yang diatur dalam Perpres No.75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Sebagaimana diketahui, naiknya iuran BPJS Kesehatan ini menuai keberatan dari berbagai pihak. Pemprov Bali sendiri harus menanggung pembiayaan kurang lebih 1,5 juta jiwa.
Total anggaran yang dikeluarkan mencapai Rp 495.671.353.200 dengan pola pembagian beban yaitu Pemprov Bali sebesar Rp 170.468.649.798 dan Pemkab/Pemkot se-Bali sebesar Rp325.202.703.402 yang sudah disiapkan dalam APBD Tahun 2019.
Sementara Program Pelayanan Kesehatan JKN-KBS menjangkau sebanyak 4.192.457 Krama Bali dari total penduduk Bali yang berjumlah 4.245.108 atau telah mencapai target minimum sebesar 95 persen Universal Health Coverage (UHC).
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr Ketut Suarjaya, jika premi dinaikkan, Pemprov Bali harus menambah Rp 135 miliar lagi.
Jadi, total yang harus ditanggung Pemprov Bali sebesar Rp 297 miliar lebih. Kalau totalnya sebelum kenaikkan Rp 495 miliar, setelah kenaikan dihitung-hitungan yang harus dibayar Rp 770 miliar.
Hal itu lebih besar biayanya dibandingkan biaya Jamkesda zaman Gubernur Bali Made Mangku Pastika yang hanya membayar premi sekitar Rp 10 ribu.
Tapi, manfaatnya dirasakan masyarakat. Sayangnya, kekurangan Jamkesda hanya tak bisa dipakai di luar Provinsi Bali.
Selain itu, jika anggaran tidak dinaikkan, berarti kata Suarjaya jumlah yang ditanggung harus dikurangi. Nah, itu akan membingungkan siapa yang harus dipotong dan mana yang tidak.
“Kami tetap berharap pusat memberikan reward dengan memberikan subsidi premi karena Pemprov Bali sudah UHC. Kalau kembali total anggaran saja berarti harus ada yang di-cut.
Kalau di-cut kami kesulitan yang mau di-cut yang mana. Kembali kebijakan kepala daerah sambil menunggu kepastian dari pusat,” imbuhnya.
Sementara itu, anggota Komisi IX DPR RI, Ketut Kariyasa Adnyana mengungkapkan perbedaan jomplang Jamkesda dan BPJS.
Bahkan, Jamkesda dulu menanggung semuanya dengan biaya premi murah. Tapi, menurutnya, tidak mungkin berjalan mundur lagi kembali ke Jamkesda.
“Kami ketahui yang merancang Jamkesda komisi IV dengan Gubernur Made Mangku Pastika. Bahwa kenapa masyarakat Bali secara psikologis saat ini lebih manfaat,
karena mereka merasa tidak dipersulit. Kemudian, tidak sampai Rp 200 miliar, sekarang kalau menjadi dengan Rp 770 miliar lebih berarti kan hampir empat kali lipat naik.
Sehingga kalau itu dimafaatkan seperti jamkesda sakit apapun ditanggung karena karena dulu contoh cuci darah itu ditanggung semua, kemudian patah tulang.
Berarti akan ada yang salah pelaksanaan PBJS itu masalahnya. Karena kita lihat kemarin rujukan sangat mudah dan duitnya itu, kita di provinsi Bali tidak hilang itu bayar orang yang sakit.
Kalau sekarang kan nggak. Kita bayar, sakit nggak sakit kan hilang. Dan, itu rumah sakit daerah masuk ke kantong kiri masuk ke kantong kanan kan seperti inilah yang harus apakah, kan ada perdebatan revisi UU BPJS,” ucap Politisi PDIP ini.
“Sehingga kami yakin 2020 pasti akan banyak masalah yang repot Pak Jokowi dan PDIP juga. Sekarang tentu apakah diperbaiki data dan pelayanan.
Coba bayangkan daerah kecil stres kepala daerah nya. Bukan berarti kami juga tidak ingin, ini cita cita UU. Bagaimana ini bentuk UU yang harus dirubah Jamkesnas dan teknis.
Enak sekali Jamkesda, hanya surat Dinsos. Ini yang menjadi catatan, bukan berarti mundur lagi,” pungkasnya.