34.7 C
Jakarta
30 April 2024, 14:58 PM WIB

OTT Dugaan Pungli Desa Adat, Ngurah Harta: Mari Duduk Bersama!

DENPASAR- Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan aparat kepolisian terhadap pelaku pungutan yang dilakukan aparat desa adat menjadi perhatian serius I Gusti Ngurah Harta.

 

Turah-sapaan I Gusti Ngurah Harta menyayangkan adanya penindakan yang terjadi pada 11 orang warga adat di pintu masuk Pantai Matahari Terbit, Desa Sanur Kaja, Denpasar Selatan, Kamis (1/11) dan dua penjaga tiket Pura Tirta Empul, Desa Pakraman Manukaya Let, Selasa (6/11).

 

Pasalnya, warga adat tersebut melakukan pungutan sesuai pararem dan awig-awig alias aturan yang disepakati paruman (rapat) adat.

 

Kepada Jawa Pos Radar Bali, calon anggota DPD RI nomor urut 31 yang menetap di Jalan Tukad Citarum P. No. 2, Renon, Denpasar menyebut tindakan pihak kepolisian tersebut telah melemahkan eksistensi desa adat. 

 

Distorsi alias tidak adanya titik temu antara pararem dan awig-awig (hukum adat, red) dengan hukum positif tegasnya harus segera diselesaikan.

 

Lebih-lebih upaya menggali pendapatan yang dilakukan desa adat sebetulnya bukan penyimpangan.

 

Pasalnya, uang yang didapat sebagai bagian dari sumbangan atau kontribusi untuk desa adat tidak disalahgunakan.

 

Kata lain, Menurut Turah, dana itu dipakai untuk kepentingan desa adat itu sendiri.

 

Pun soal pernyataan Gubernur Bali Wayan Koster yang menilai bahwa  perlu segera payung hukum untuk menjembatani pararem dan awig-awig desa adat agar tidak berbenturan dengan Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2016 tentang pemberantasan pungli, pihaknya mengaku sangat merespon positif.

 

 “Gubernur Bali, Kapolda, MUDP (Majelis Utama Desa Pakraman), dan Bendesa Adat se-Bali harus duduk bersama. Pihak kepolisian seharusnya bukan hanya melakukan penangkapan, tapi memberikan solusi terbaik. Apa yang harus dilakukan oleh desa adat,” ucapnya Minggu (11/11).

 

Bila pertemuan ini tidak segera dilakukan, Ngurah Harta menyebut semua warga adat di Bali berpotensi terjaring OTT.

 

“Ini mutlak dan mendesak dalam rangka membentengi desa adat. Kalau ini tidak dilakukan bisa berbahaya, khususnya terhadap eksistensi desa adat,”tegas pinisepuh Perguruan Sandhi Murti Indonesia yang “pasang badan” kala juru bicara Front Pembela Islam (FPI) Munarman menuding pecalang melakukan pelemparan rumah dan melarang umat Islam shalat Jumat di Bali 2016 lalu.

 

Bila kondisi ini berlanjut, Ngurah Harta memprediksi akan terjadi ekses atau dampak buruk lebih lanjut berupa lemahnya desa adat atau pakraman menangkal “serangan” globalisasi. 

 

Selain duduk bersama, mengajak agar krama tamiu juga ikut merawat desa adat.

 

Pasalnya, tidak hanya orang asli Bali yang hidup dan mengais rezeki di Pulau Dewata, melainkan juga krama tamiu alias penduduk pendatang.

 

“Bom Bali 1 dan 2 tidak lantas “meruntuhkan” Bali. Situasi aman. Tidak terjadi gejolak. Itu semata-mata karena kekuatan desa adat.

 

Para bendesa dan krama adat sangat tanggap menyikapi situasi chaos tersebut. Bendesa memberi ultimatum agar masyarakat adat tidak melakukan hal-hal yang berbau anarkis dan itu didengarkan.

 

Ini yang harus dipahami oleh pemegang kebijakan hukum di tanah Bali” tandasnya.

 

Lebih lanjut, Ngurah Harta meminta pemegang kebijakan hukum yang sedang bertugas di Bali tidak hanya melihat persoalan dari satu sisi, melainkan meski holistik.

 

Dua kasus, yakni dugaan pungli Matahari Terbit dan Tirta Empul hematnya tidak harus terjadi bila aparat mengedepankan koordinasi sekaligus memberikan jalan keluar.

 

Sembari memuji ketegasan Kapolda Bali Irjen Pol Petrus Reinhard Golose terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas), Turah menyebut inilah saatnya juga diberikan solusi terkait apa yang seharusnya dilakukan oleh desa adat.

 

 “Kalau dengan cara seperti ini (OTT) jelas pelemahan adat jadinya. Sekali lagi Gubernur Bali harus segera memfasilitasi dan mengundang semua pihak,” tandasnya.

 

Ditambahkannya, Bali menjadi destinasi pariwisata internasional bukan lantaran keindahan alam. Pulau Jawa, Sulawesi, Lombok, Kalimantan, Papua, Sumatera jauh lebih indah dari Bali.

 

Wisatawan terpikat dan datang ke Bali tegasnya karena ketertarikan terhadap adat istiadat serta cara hidup orang Bali. “Adat istiadat ini dipelihara oleh masyarakat adat. Kalau bendesa atau masyarakat adat dikriminalisasi kan jelas-jelas sudah melemahkan fungsi adat. Seharusnya berikan desa adat jalan keluar terbaik.”

 

“Selama ini pertemuan seluruh elemen itu belum ada. Kalau mau bertemu, duduk bersama, pasti ada jalan keluar,” tegasnya.

 

Ngurah Harta menekankan pembangunan di Provinsi Bali jauh berbeda dengan provinsi lain di Indonesia.

 

“Persoalan dan pola pembangunan Bali ini spesifik. Ini yang harus dipahami. Psikologi adat di Bali harus dipahami oleh Bapak Kapolda Bali Irjen Pol Petrus Reinhard Golose dan pemegang kebijakan hukum di Pulau Dewata.

 

Kalau tidak seperti itu pariwisata Bali akan hancur. Belum adanya titik temu antara hukum positif dan hukum adat Bali terangnya lantaran koordinasi yang tidak terjalin utuh selama ini.

 

Terakhir, terkait pungutan parkir, Ngurah Harta mencontohkan harus ada batas maksimal dan minimal yang jelas.

 

Dirinya tak memungkiri dalam upaya mempertahankan adat istiadat Bali, masyarakat lokal menanggung beban yang sangat berat.

 

Di luar memenuhi kewajiban sebagai warga negara Indonesia yang baik lewat pajak, masyarakat Bali juga tidak lepas dari ayah-ayahan (kewajiban adat, red), baik berupa materi (uang) maupun tenaga.(rba/ken)

 

DENPASAR- Operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan aparat kepolisian terhadap pelaku pungutan yang dilakukan aparat desa adat menjadi perhatian serius I Gusti Ngurah Harta.

 

Turah-sapaan I Gusti Ngurah Harta menyayangkan adanya penindakan yang terjadi pada 11 orang warga adat di pintu masuk Pantai Matahari Terbit, Desa Sanur Kaja, Denpasar Selatan, Kamis (1/11) dan dua penjaga tiket Pura Tirta Empul, Desa Pakraman Manukaya Let, Selasa (6/11).

 

Pasalnya, warga adat tersebut melakukan pungutan sesuai pararem dan awig-awig alias aturan yang disepakati paruman (rapat) adat.

 

Kepada Jawa Pos Radar Bali, calon anggota DPD RI nomor urut 31 yang menetap di Jalan Tukad Citarum P. No. 2, Renon, Denpasar menyebut tindakan pihak kepolisian tersebut telah melemahkan eksistensi desa adat. 

 

Distorsi alias tidak adanya titik temu antara pararem dan awig-awig (hukum adat, red) dengan hukum positif tegasnya harus segera diselesaikan.

 

Lebih-lebih upaya menggali pendapatan yang dilakukan desa adat sebetulnya bukan penyimpangan.

 

Pasalnya, uang yang didapat sebagai bagian dari sumbangan atau kontribusi untuk desa adat tidak disalahgunakan.

 

Kata lain, Menurut Turah, dana itu dipakai untuk kepentingan desa adat itu sendiri.

 

Pun soal pernyataan Gubernur Bali Wayan Koster yang menilai bahwa  perlu segera payung hukum untuk menjembatani pararem dan awig-awig desa adat agar tidak berbenturan dengan Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2016 tentang pemberantasan pungli, pihaknya mengaku sangat merespon positif.

 

 “Gubernur Bali, Kapolda, MUDP (Majelis Utama Desa Pakraman), dan Bendesa Adat se-Bali harus duduk bersama. Pihak kepolisian seharusnya bukan hanya melakukan penangkapan, tapi memberikan solusi terbaik. Apa yang harus dilakukan oleh desa adat,” ucapnya Minggu (11/11).

 

Bila pertemuan ini tidak segera dilakukan, Ngurah Harta menyebut semua warga adat di Bali berpotensi terjaring OTT.

 

“Ini mutlak dan mendesak dalam rangka membentengi desa adat. Kalau ini tidak dilakukan bisa berbahaya, khususnya terhadap eksistensi desa adat,”tegas pinisepuh Perguruan Sandhi Murti Indonesia yang “pasang badan” kala juru bicara Front Pembela Islam (FPI) Munarman menuding pecalang melakukan pelemparan rumah dan melarang umat Islam shalat Jumat di Bali 2016 lalu.

 

Bila kondisi ini berlanjut, Ngurah Harta memprediksi akan terjadi ekses atau dampak buruk lebih lanjut berupa lemahnya desa adat atau pakraman menangkal “serangan” globalisasi. 

 

Selain duduk bersama, mengajak agar krama tamiu juga ikut merawat desa adat.

 

Pasalnya, tidak hanya orang asli Bali yang hidup dan mengais rezeki di Pulau Dewata, melainkan juga krama tamiu alias penduduk pendatang.

 

“Bom Bali 1 dan 2 tidak lantas “meruntuhkan” Bali. Situasi aman. Tidak terjadi gejolak. Itu semata-mata karena kekuatan desa adat.

 

Para bendesa dan krama adat sangat tanggap menyikapi situasi chaos tersebut. Bendesa memberi ultimatum agar masyarakat adat tidak melakukan hal-hal yang berbau anarkis dan itu didengarkan.

 

Ini yang harus dipahami oleh pemegang kebijakan hukum di tanah Bali” tandasnya.

 

Lebih lanjut, Ngurah Harta meminta pemegang kebijakan hukum yang sedang bertugas di Bali tidak hanya melihat persoalan dari satu sisi, melainkan meski holistik.

 

Dua kasus, yakni dugaan pungli Matahari Terbit dan Tirta Empul hematnya tidak harus terjadi bila aparat mengedepankan koordinasi sekaligus memberikan jalan keluar.

 

Sembari memuji ketegasan Kapolda Bali Irjen Pol Petrus Reinhard Golose terhadap organisasi kemasyarakatan (ormas), Turah menyebut inilah saatnya juga diberikan solusi terkait apa yang seharusnya dilakukan oleh desa adat.

 

 “Kalau dengan cara seperti ini (OTT) jelas pelemahan adat jadinya. Sekali lagi Gubernur Bali harus segera memfasilitasi dan mengundang semua pihak,” tandasnya.

 

Ditambahkannya, Bali menjadi destinasi pariwisata internasional bukan lantaran keindahan alam. Pulau Jawa, Sulawesi, Lombok, Kalimantan, Papua, Sumatera jauh lebih indah dari Bali.

 

Wisatawan terpikat dan datang ke Bali tegasnya karena ketertarikan terhadap adat istiadat serta cara hidup orang Bali. “Adat istiadat ini dipelihara oleh masyarakat adat. Kalau bendesa atau masyarakat adat dikriminalisasi kan jelas-jelas sudah melemahkan fungsi adat. Seharusnya berikan desa adat jalan keluar terbaik.”

 

“Selama ini pertemuan seluruh elemen itu belum ada. Kalau mau bertemu, duduk bersama, pasti ada jalan keluar,” tegasnya.

 

Ngurah Harta menekankan pembangunan di Provinsi Bali jauh berbeda dengan provinsi lain di Indonesia.

 

“Persoalan dan pola pembangunan Bali ini spesifik. Ini yang harus dipahami. Psikologi adat di Bali harus dipahami oleh Bapak Kapolda Bali Irjen Pol Petrus Reinhard Golose dan pemegang kebijakan hukum di Pulau Dewata.

 

Kalau tidak seperti itu pariwisata Bali akan hancur. Belum adanya titik temu antara hukum positif dan hukum adat Bali terangnya lantaran koordinasi yang tidak terjalin utuh selama ini.

 

Terakhir, terkait pungutan parkir, Ngurah Harta mencontohkan harus ada batas maksimal dan minimal yang jelas.

 

Dirinya tak memungkiri dalam upaya mempertahankan adat istiadat Bali, masyarakat lokal menanggung beban yang sangat berat.

 

Di luar memenuhi kewajiban sebagai warga negara Indonesia yang baik lewat pajak, masyarakat Bali juga tidak lepas dari ayah-ayahan (kewajiban adat, red), baik berupa materi (uang) maupun tenaga.(rba/ken)

 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/