27.1 C
Jakarta
22 November 2024, 2:08 AM WIB

Stop Titipkan Jenazah, PHDI: Larang Ngaben, Boleh Mekinsan Dipertiwi

DENPASAR  – Banyaknya krama Bali yang menitipkan jenazah kerabatnya di rumah sakit karena serangkaian Panca Wali Krama di Pura Agung Besakih, disikapi Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) dan Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali.  

Baik MUDP maupun PHDI sepakat mengeluarkan imabuan kepada masyarakat agar mengikuti keputusan Pasamuhan Madya PHDI Bali pada 16 Agustus 2018 silam.

Ketua MUDP Provinsi Bali, Jero Gede Suwena Putus Upadesa menghimbau masyarakat untuk tidak lagi menitipkan layon atau jenazah di rumah sakit.

Seharusnya jenazah dihormati dan ditempatkan dengan baik. Tapi yang sekarang terjadi, banyak jenazah begitu saja ditempatkan di Rumah Sakit.

“Kalau tidak segera di lakukan upacara, kan cukup lama jadinya “sebel” (berduka, Red).  Selain itu juga tidak bisa mengikuti prosesi karya Panca Wali Krama di Pura Agung Besakih

yang dilaksanakan setiap 10 tahun,” jelas Jero Suwena dalam rapat bersama di Kantor Gubernuran, kemarin (19/3). 

Lebih lanjut dijelaskan, sebenarnya jenazah yang meninggal saat upacara Panca Wali Krama bisa dikuburkan seperti biasa (mekinsan dipertiwi) atau mekinsan digeni. Sesuai dengan aturan yang ada, maka jenazahnya bisa dikubur.

Jenazah itu bisa dikuburkan setelah matahari terbenam atau dikuburkan secara diam-diam. Ini berlaku untuk orang biasa.

Sementara untuk orang-orang suci seperti pedanda, pemangku maka bisa mekinsan digeni. “Masyarakat atau umat Hindu seharusnya paham,

bahwa baik mependem(dikubur) atau mekinsan digeni itu bukan upacara ngaben. Yang dilarang itu hanya ngaben. Ini harus dipahami,” tegasnya.

Hal senada diungkapkan Ketua PHDI Provinsi Bali, I Gusti Ngurah Sudiana. Dijelaskan, saat ini tengah terjadi kesalapahaman umat Hindu soal jenazah yang dititipkan di rumah sakit di Bali,

sehingga mengakibatkan overload di beberapa rumah sakit. Penitipan jenazah di rumah sakit seolah malah mengabaikan orang yang sudah meninggal.

“Yang tidak diperbolehkan itu ngaben. Kalau mekinsan di pertiwi atau digeni boleh. Ini ada salah paham, sehingga jenazah keluarga yang ditingalkan dititipkan di rumah sakit. Ini tidak benar,” tuturnya.

Untuk itu, ia meminta agar bagi masyarakat yang menitipkan jenazahnya di rumah sakit agar segera diambil untuk dikuburkan atau mekinsan di geni.

“Jauh lebih utama mendem (mengubur). Apalagi meninggal di desa lalu dititipkan di rumah sakit, dalam sastra itu disebut nundung sawa,” paparnya.

Sementara itu, Gubernur Koster berharap agar masyarakat dapat mengikuti keputusan yang telah dikeluarkan oleh PHDI.

Menurut Koster, dirinya tidak memiliki kewenangan lebih dalam mengambil keputusan terkait dengan keputusan yang telah ditetapkan melalui Pesamuan Madya.

Menurut Koster, permasalahan yang terjadi saat ini sejatinya telah diatur dalam keputusan PHDI namun banyak masyarakat yang tidak mengikuti.

Untuk itu, Ia berharap agar semua pihak bisa melaksanakan keputusan dengan baik sehingga permasalahan ini tidak berkelanjutan. 

DENPASAR  – Banyaknya krama Bali yang menitipkan jenazah kerabatnya di rumah sakit karena serangkaian Panca Wali Krama di Pura Agung Besakih, disikapi Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) dan Parisada Hindu Darma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali.  

Baik MUDP maupun PHDI sepakat mengeluarkan imabuan kepada masyarakat agar mengikuti keputusan Pasamuhan Madya PHDI Bali pada 16 Agustus 2018 silam.

Ketua MUDP Provinsi Bali, Jero Gede Suwena Putus Upadesa menghimbau masyarakat untuk tidak lagi menitipkan layon atau jenazah di rumah sakit.

Seharusnya jenazah dihormati dan ditempatkan dengan baik. Tapi yang sekarang terjadi, banyak jenazah begitu saja ditempatkan di Rumah Sakit.

“Kalau tidak segera di lakukan upacara, kan cukup lama jadinya “sebel” (berduka, Red).  Selain itu juga tidak bisa mengikuti prosesi karya Panca Wali Krama di Pura Agung Besakih

yang dilaksanakan setiap 10 tahun,” jelas Jero Suwena dalam rapat bersama di Kantor Gubernuran, kemarin (19/3). 

Lebih lanjut dijelaskan, sebenarnya jenazah yang meninggal saat upacara Panca Wali Krama bisa dikuburkan seperti biasa (mekinsan dipertiwi) atau mekinsan digeni. Sesuai dengan aturan yang ada, maka jenazahnya bisa dikubur.

Jenazah itu bisa dikuburkan setelah matahari terbenam atau dikuburkan secara diam-diam. Ini berlaku untuk orang biasa.

Sementara untuk orang-orang suci seperti pedanda, pemangku maka bisa mekinsan digeni. “Masyarakat atau umat Hindu seharusnya paham,

bahwa baik mependem(dikubur) atau mekinsan digeni itu bukan upacara ngaben. Yang dilarang itu hanya ngaben. Ini harus dipahami,” tegasnya.

Hal senada diungkapkan Ketua PHDI Provinsi Bali, I Gusti Ngurah Sudiana. Dijelaskan, saat ini tengah terjadi kesalapahaman umat Hindu soal jenazah yang dititipkan di rumah sakit di Bali,

sehingga mengakibatkan overload di beberapa rumah sakit. Penitipan jenazah di rumah sakit seolah malah mengabaikan orang yang sudah meninggal.

“Yang tidak diperbolehkan itu ngaben. Kalau mekinsan di pertiwi atau digeni boleh. Ini ada salah paham, sehingga jenazah keluarga yang ditingalkan dititipkan di rumah sakit. Ini tidak benar,” tuturnya.

Untuk itu, ia meminta agar bagi masyarakat yang menitipkan jenazahnya di rumah sakit agar segera diambil untuk dikuburkan atau mekinsan di geni.

“Jauh lebih utama mendem (mengubur). Apalagi meninggal di desa lalu dititipkan di rumah sakit, dalam sastra itu disebut nundung sawa,” paparnya.

Sementara itu, Gubernur Koster berharap agar masyarakat dapat mengikuti keputusan yang telah dikeluarkan oleh PHDI.

Menurut Koster, dirinya tidak memiliki kewenangan lebih dalam mengambil keputusan terkait dengan keputusan yang telah ditetapkan melalui Pesamuan Madya.

Menurut Koster, permasalahan yang terjadi saat ini sejatinya telah diatur dalam keputusan PHDI namun banyak masyarakat yang tidak mengikuti.

Untuk itu, Ia berharap agar semua pihak bisa melaksanakan keputusan dengan baik sehingga permasalahan ini tidak berkelanjutan. 

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/