MANGUPURA – “Kami akan pertahankan warisan dan pura kami sampai titik darah penghabisan (puputan). Pura dan tanah ini adalah warisan leluhur kami sejak ratusan tahun yang lalu. Laksanakan kewajiban dulu baru minta hak, jangan hianati leluhur!!!
Demikian tertulis dalam spanduk yang terbentang di depan Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh, Banjar Babakan, Desa Canggu, Kuta Utara, Badung.
Sempat hendak dieksekusi alias dibongkar, Selasa (29/10/2019) silam namun dihadang oleh ribuan warga dari tujuh banjar, yakni Banjar Adat Canggu, Padang Linjong, Tegal Gundul, Babakan,
Umabuluh, Kayutulang, dan Pipitan, Senin (20/7) kemarin, Pengadilan Negeri (PN) Kelas 1 A Denpasar melakukan pemeriksaan setempat (PS) serangkaian perkara perdata yang sedang bergulir.
Baik pihak penggugat maupun tergugat seluruhnya hadir. Para penggugat yang mewakili 55 KK pengempon Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh terdiri atas I Made Widana, 52, (kelihan pura),
I Nengah Sirde, 59, (pengempon dan Kelian Penyarikan/ sekretaris pura), dan I Nengah Sirnayasa, 50, (pengempon dan juru raksa (bendahara) pura).
Sementara para tergugat terdiri atas Kornelius I Wayan Mega, 64, (tergugat I), Thomas I Nengah Suprapta, 61, (tergugat II), I Wayan Emilius, 53, (tergugat III), dan I Nyoman Bernadus, 53, (tergugat IV). Kedua belah pihak didampingi kuasa hukum masing-masing.
Wakil Ketua PN Kelas 1 A Denpasar Dr. I Wayan Gede Rumega, S.H.,M.H. langsung terjun ke lokasi. Dia didampingi Humas PN Kelas 1 A Denpasar I Made Pasek, S.H.,M.H, dan hakim I Dewa Made Budi Watsara, S.H.
“Pemeriksaan setempat wajib dilakukan oleh majelis hakim. Hari ini majelis hakim turun ke lokasi. Objek yang disengketakan sudah dilihat; batas-batasnya, penguasaannya.
Hal ini akan menjadi pertimbangan majelis hakim dalam pengambilan keputusan. Senin depan, Senin, 27 Juli 2020 diberikan kesempatan kepada pihak-pihak untuk mengajukan bukti-bukti tambahan kalau ada,” ucap Made Pasek ditemui di lokasi.
Dr. I Wayan Bagiarta dari Kantor Advokat dan Penasihat Hukum Sri Kresna Duta yang mendampingi penggugat tak menampik Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh “terancam dieksekusi” oleh pihak tergugat.
“Dari dulu ingin dieksekusi. Yang berperkara sebelumnya adalah pihak-pihak antar pribadi. Sekarang pihak pengempon pura yang berjumlah 55 KK yang melayangkan gugatan.
Hari ini (Senin, 20/7, red), seluruhnya hadir dalam sidang pemeriksaan setempat oleh PN Denpasar. Terima kasih karena sudah berjalan dengan baik.
Kami ingin membuktikan bahwa dalam persidangan ada yang menyebut (Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh, red) ongokan batu dari pihak saksi tergugat.
Astungkara tadi majelis hakim hadir dan menyaksikan itu memang pura. Kami sangat menyangkan karena orang yang lahir di Bali tidak tahu pura. Padahal usianya sudah lebih dari 70 tahun,” ujarnya.
Dengan dilaksanakannya sidang pemeriksaan ke lokasi yang menjadi objek sengketa, yakni tanah seluas 20,5 are, Bagiarta berharap persoalan menjadi jelas.
Dalam perkara terdahulu, jelasnya pihak tergugat mengajukan pipil atas nama Nang Djageri dt.
“Dalam persidangan sudah terungkap dari saksi ahli bahwa dt dimaksud adalah duwe tengah (tanah milik pura yang berada di tengah, red).
Itu menurut kesaksian ahli hukum adat Bali,” ungkap Bagiarta sembari menegaskan pihak adat memohon keputusan yang seadil-adilnya karena sengketa tersebut menyangkut eksistensi tempat suci agama Hindu.
“Menurut saksi ahli tanah tersebut adalah telajakan pura. Sumber keberadaan pipil Nang Djageri dt. adalah Nang Rangin (alm) yang menginzinkan dibangunnya pura.
Nang Rangin ini adalah seorang pemangku. Termasuk keturunannya, Nang Djageri juga pemangku.
Pengempon pura menyadari bahwa pura tersebut adalah warisan Nang Rangin (kakek Nang Djageri, red), maka sudah seharusnya pengempon pura yang mengajukan gugatan.
“Pengempon pura menggugat tanah seluas 20,5 are karena merupakan satu kesatuan pipil. Seluruh tanah ini akan menjadi milik pengempon pura,” tegasnya.
Terangnya Bagiarta para tergugat (4 KK) tinggal di tanah yang merupakan pelaba pura alias sudah diiklaskan oleh Nang Rangin.
Buktinya muncul istilah pipil Nang Djageri dt. Dalam posisi seluruhnya tak lagi berstatus pengempon pura lantaran beralih agama, ungkapnya, masih bisa tinggal di sana merupakan kebaikan pihak adat.
“Mengacu keputusan Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan hukum adat Bali, ahli waris akan kehilangan warisan jika beralih agama.
Hal ini dikarenakan si pewaris tidak lagi berhubungan dengan sanggah kemulan, banjar, desa, dan kahyangan tiga sehingga haknyaa hilang,” tegasnya sembari
menegaskan sengketa mulai terendus karena para tergugat hendak mensertifikatkan tanah pelaba Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh, Banjar Babakan, Desa Canggu, Kuta Utara, Badung.
Bagaimana kesaksian tergugat? Thomas I Nengah Suprapta didampingi kuasa hukumnya, Jakob Antolis mengungkapkan sengketa dipicu oleh oknum bernama Medri.
Objek yang digugat adalah pipil tanah bernomor 57 atas nama Nang Djageri. “Itu adalah warisan dari kakek saya. Digugat karena dia merasa masih ada haknya di sini. Itu tidak benar.
Karena sudah pembagian waris tahun 1960. Masing-masing sudah mendapatkan bagian pipil,” tandasnya.
Meski bersikukuh objek sengketa merupakan tanah warisan, Thomas I Nengah Suprapta menyebut tanah seluas 20,5 are tersebut belum disertifikatkan.
Sebagaimana diketahui, pihak pengempon Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh, Banjar Babakan, Desa Canggu, Kuta Utara, Badung sempat kalah di Pengadilan Negeri Denpasar, namun menang di Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
Dalam perjalanan mereka kalah lagi dalam Peninjauan Kembali (PK) sesuai PK MA RI Nomor 482/Pdt/2018 tanggal 16 Agustus 2018.
Merujuk keputusan inilah Pura Hyang Ibu Pasek Gaduh hendak dibongkar meski para tergugat menyebutnya sebagai onggokan batu.