RadarBali.com – Pansus Ranperda Bendega DPRD Bali kembali menyerap aspirasi kelompok nelayan di Kabupaten Jembrana.
Tidak jauh beda dengan nelayan di Karangasem dan Buleleng, kelompok nelayan di Jembrana juga mengeluh sering menjadi korban arogan para investor yang memiliki lahan di tepi pantai.
Investor pemilik hotel, vila dan akomodasi pariwisata lainnya kerap menindas para nelayan.
“Kondisi di lapangan, para nelayan kesulitan menyandarkan jukung dan menaruh peralatan seperti jaring. Nelayan tidak boleh menaruh jukung dan alatnya di tepi pantai yang berdekatan dengan lahan milik investor,” ungkap Ketua Pansus Bendega IG Putu Budiarta.
Pria yang sudah tiga periode duduk di parlemen Renon ini menduga kondisi tak jauh beda terjadi di tempat lain.
Terutama di daerah yang menjadi pusat pariwisata seperti Kabupaten Badung. Menurut Budiarta, kondisi tersebut memang cukup miris.
Nelayan sebagai rakyat kecil kerap menjadi korban. Dia pun berharap dengan disahkannya ranperda menjadi perda bisa melindungi nelayan.
“Perda ini tujuannya untuk melindungi dan menguatkan nelayan tradisional. Dengan perda ini nelayan tidak lagi digeser dan digusur,” imbuh politisi asal Pedungan, Denpasar ini.
Budiarta mengklaim nelayan sepakat dengan isi ranperda. Terutama kelompok nelayan di Karangasem yang menginginkan agar ranperda bisa segera disahkan.
Terkait isi ranperda, Budiarta menjelaskan, perda bendega mengatur tentang bendega atau kelompok nelayan tradisional Bali.
Secara filosofi, bendega adalah nelayan tradisional yang memiliki kearifan lokal. Terutama parahyangan, palemahan dan pawongan.
Dijelaskan lebih jauh, yang dimaksud parahyangan, yaitu nelayan memiliki tempat suci seperti pura segara.
Sementara palemahan, nelayan memiliki tempat atau lahan bekerja, jika pekaseh memiliki sawah garapan.
Sedangkan pawongan, nelayan memiliki krama atau kelompok masyarakat. Bagaimana dengan nelayan yang non-hindu?
“Untuk nelayan non-Hindu tidak diwajibkan menjadi pengempon pura atau aspek parahyangan. Tapi, jelasnya nanti akan kami buatkan seminar tersendiri,” tukasnya.
Ditambahkan, nelayan non-Hindu di Bali terutama di daerah Jembrana dan Buleleng jumlahnya cukup banyak.
Pansus sendiri berusaha membuat pemahaman kepada mereka apa yang dimaksud dengan bendega.
Menurutnya, secara umum nelayan non-Hindu bisa menerima prinsip yang tertuang dalam ranperda.
“Perbedaan nelayan Muslim dan Hindu terletak pada kewajiban parahyangan. Bendega menganut falsafah Tri Hita Karana. Nelayan Muslim bisa menerima sepanjang tidak wajib menjadi pengempon pura,” tandas Budiarta.
Terkait praktik ranperda di lapangan, Budiarta menyatakan akan diteruskan di tingkat kabupaten/kota.
Setiap kabupaten/kota dapat membuat turunan perda bendega yang dibuat provinsi. Sebab, kabupaten/kota yang mengetahui persis kondisi masyarakatnya. “Kami hanya ingin nelayan dilindungi,” pungkasnya