DENPASAR – Pelaporan anggota DPD RI Shri I Gusti Ngurah Arya Wedakarna Mahendradatta Wedasteraputra Suyasa atau AWK, Selasa (21/2) membuat jagat dunia maya gempar.
Salah satu yang menyita perhatian adalah bullying yang ditujukan kepada Pinisepuh Perguruan Sandhi Murti Indonesia, I Gusti Agung Ngurah Harta.
Pemilik akun Facebook Ketut Riyawan bahkan membully Ngurah Harta dengan sebutan Si Beduda Tai Urek alias kumbang pemakan kotoran.
Dan, Rabu malam (22/1) kemarin, muncul nama baru yang mencuri perhatian publik. I Nengah Sumerta, petani asli Klungkung sesumbar bisa menunjukkan 1.527 kepalsuan terlapor AWK.
Sebagai gantinya, dia hanya meminta satu hal yang benar-benar diperbuat AWK untuk Bali. Lantas, dia mulai mencicil kebohongan AWK satu per satu lewat akun media sosialnya, Rabu (22/1) pukul 19.48 malam.
Kebohongan pertama AWK, terangnya, mengaku sebagai putra pendiri parisadha atau majelis organisasi umat Hindu Indonesia.
Dia menyebut tak ada satupun bukti autentik yang menyatakan bahwa AWK adalah putra pendiri parisadha.
Untuk mempertegas pernyataan itu, Sumerta melampirkan video sesuai klaim AWK dimaksud. Dalam video berdurasi 16 menit 03 detik itu, AWK menyebut diri sebagai putra pendiri parisadha pada menit ke-10 detik 05.
“Karena tiang putra pendiri parisadha. Kenapa Ajik Wedakarna niki selalu getol berbicara Hindu karena tiang putra pendiri parisadha. Termasuk Bapak Ida Bagus Mantra tadi.
Ayahnya, sahabat ayah tiang, putra pendiri parisadha. Wenten Gusti Puja, Bapak Gede Puja, wenten Gusti Sugriwa. Ada 7 orang Hindu yang diakui parisadha.
Sudah mendirikan parisadha tahun 1959. Maka dari itu kita harus tahu akar sejarahnya,” ucap AWK mengutip isi pidatonya dalam video.
Klaim AWK bahwa dirinya adalah putra pendiri parisadha tegas Sumerta adalah kebohongan besar.
Terangnya, PHDI yang awalnya bernama Parisada Hindu Dharma Bali didirikan pada 1959 oleh Pedanda Gede Wayan Sidemen dan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra.
Bertujuan untuk memperjuangkan agar agama Hindu diakui di Indonesia. Pada 1964, nama organisasi ini diubah menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.
Sebelumnya, pada 26 Juni 1958, 8 organisasi keagamaan mengadakan pertemuan pembahasan usulan kepada pemerintah.
Terdiri atas Satya Hindu Dharma (I Gusti Ananda Kusuma), Yayasan Dwijendra (Ida Bagus Wayan Gede), Partai Nasional Agama Hindu (Ida I Dewa Agung Geg), Majelis Hinduisme (Ida Bagus Tugur),
Paruman Para Pandita (Pedanda Made Kemenuh), Panti Agama Hindu Bali (I Ketut Kandia), Angkatan Muda Hindu Bali (Ida Bagus Gede Doster), dan Eka Adnyana (Ida Bagus Gede Manuaba).
Kecuali Ida Bagus Mantra, tidak ada satu pun nama yang disebut AWK terlibat dalam pendirian parisadha dan perjuangan agar agama Hindu diakui oleh negara.
“Dia (AWK, red) menunggangi kenyataan bahwa generasi muda kita sebagian besar melek teknologi, tapi malas memanfaatkan otak, lalu menyebarkan propagandis bohong,” ungkap Sumerta.
Menurutnya, propaganda AWK mirip dengan propaganda Menteri Penerangan dan Propaganda Nazi di bawah kekuasaan Adolf Hitler, Paul Joseph Goebbels.
Sang Bapak propaganda modern Goebbels jelasnya memiliki sebuah konsep yang dikenal dengan Argentum ad Nausem atau lebih dikenal dengan teknik Big Lie, kebohongan besar.
“Cara kerjanya itu cukup simpel, hanya menyebarluaskan berita bohong melalui media massa sebanyak mungkin dan sesering
mungkin hingga kemudian kebohongan tersebut dianggap sebagai suatu kebenaran. Sederhana namun mematikan,” rincinya.
Menariknya, dalam video AWK berkata tidak sudi menerima percikan tirta dari sulinggih dan pemangku yang cemer alias kotor atau ternoda.
AWK juga menuntut sulinggih dan pemangku agar perfect, tidak boleh berasal dari kalangan ekonomi lemah atau miskin serta harus bersertifikat.
Ke depan jelasnya, tirta yatra, khususnya yang diikuti pemangku dipisah antara perempuan dan laki-laki meniru “agama sebelah” agar tidak terjadi perselingkuhan.
“Kebohongan akan melahirkan kebohongan. Anda bisa berbohong di depan umat, tapi di depan niskala Anda tidak bisa berbohong,” katanya.