DENPASAR – Penutupan Asram Krishna Balaram Jalan Padang Galak, Denpasar beberapa waktu lalu oleh Desa Adat Kesiman berbuntut panjang. Di mana saat itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Bali (YLBHI) sempat berkomentar.
Menurut LBH penutupan itu berpotensi melanggar hukum dan HAM dan tidak sesuai prosedur.
Terkait pernyataan YLBHI Bali itu, Sekjen Forum Komunikasi Taksu Bali, Khismayana Dwidjanegara angkat bicara. Menurutnya, pernyataan dari YLBHI Bali itu tidak memahami tujuan penutupan itu.
YLBHI Bali, kata dia, seperti buta terhadap adat istiadat dresta Bali yang bernapaskan Agama Hindu. Terlihat pernyataannya dangkal, tidak kontekstual, tidak berdasarkan fakta di lapangan dan mengganggap sikap-sikap yang lahir dari norma adat di Bali melanggar HAM.
‘’Jika mau memahami Bali secara utuh, belajarlah hukum adat dengan baik. Pahami adat istiadat, dresta yang ada di Bali dengan baik. Pernyataan YLBHI Bali kami nilai sangat dangkal pemahaman masalahnya. Apa itu Desa Adat, apa itu Hare Krishna harus dipahami dulu, sebelum berkomentar. Tiba-tiba sudah mengukutuk Desa Adat. Salah-salah lembaga Anda (LBH) yang terkutuk karena tak tahu adat,’’ tegas Khismayana Wijanegara, Sabtu (25/4).
Menurutnya, Desa Adat Kesiman yang menutup aktivitas Ashram Krishna Balaram, menyatakan menutup aktivitas ritual yang bertentangan dengan dresta non Bali yang dilaksanakan di ashram tersebut. Hal tersebut dikuatkan dan sesuai dengan Perda No 4 Tahun 2019 dan SKB PHDI-MDA Bali tahun 2020.
‘’Ini yang dikomentari adalah sanksi adat kesepekang yang melanggar HAM. Jelas pemahaman masalah sangat dangkal dan sepertinya hanya memihak Hare Krishna secara membabi buta. Hanya bersandar pada hukum-hukum formal sesuai pemahaman YLBHI sendiri. Malah kami yang mencurigai, YLBHI Bali yang terkontaminasi aliran yang bertentangan dengan Hindu dan non dresta Bali,’’ paparnya.
Mengenai perlindungan atas kebebasan memeluk agama, menurut Khismayana, Desa Adat selama bertahun-tahun sangat toleran dan sangat menghargai pelaksanaan kegiatan agama lain di wilayahnya. Namun, terhadap Hare Krishna dan sampradaya nondresta Bali, mulai bertingkah dan melakukan upaya-upaya pengrorongan.
‘’Mereka mengaku Hindu. KTP mereka Hindu, namun mereka tidak melaksanakan ajaran Hindu. Menyebut Tuhannya adalah Sri Sri Krisna Balaram. Bahkan Pendirinya, menyebut Hare Krishna tidak Hindu. Terus agama mereka apa? Hindu kami didopleng dan pelaksanaan agama kami di Bali diserang dan terus dijelek-jelekan. Jelas mereka telah merusak dan merorong ajaran Hindu Bali. Kami sebut mereka sebagai ajarat sesat yang masuk ke Hindu Bali,’’ tandasnya.
Sementara itu, Kordinator Tim Advokasi Bali Metangi, I Komang Sutrisna, SH., menambahkan jika memang YLBHI Bali mengganggap telah terjadi pelanggaran hukum atas penutupan Ashram Krishna Balaram, silakan menempuh jalur hukum.
“Jangan hanya berbicara di media dan malah mengutuk Desa Adat dengan berbagai argumentasi hukum yang sangat dangkal,” kata dia.
Sebagai lembaga bantuan hukum, kata dia, sebelum berkomentar harusnya membuat kajian-kajian lapangan yang komprehensif, jangan hanya melihat aturan yuridis. Banyak fakta dan bukti lapangan yang harus dipelajari dan dijadikan kajian hukum.
‘’Ini menjadi tidak jelas. Apa anda jernih atau tidak. Sebutkan legal standingnya. Apa YLBHI Bali sebagai kuasa dari Hare Krishna atau masyarakat Bali. Siapa yang anda wakili ini? Jika berbicara atas nama lembaga, berbicaralah antarlembaga. Tidak langsung mengutuk dan mengganggap Desa Adat tidak toleran. Tunjukkan data anda tentang Hare Krishna dan Desa Adat yang anda sebut melanggar HAM. Anda pastinya harus tahu, seberapa toleran masyarakat Adat Bali untuk menjaga kerukunan antar umat beragama selama ini,’’ ujar Sutrisna.
Untuk ajaran Hare Krishna di Indonesia, tambah Komang Sutrisna, Kejaksaan Agung RI telah mengeluarkan Keputusan Jaksa Agung RI No. Kep.107/JA/5/1984 tentang larangan peredaran barang‐barang cetakan yang memuat ajaran kepercayaan Hare Krsna di Indonesia. Keputusan Jaksa Agung ini, sampai saat ini belum dicabut. Sehingga secara yuridis formal masih berlaku.
Ini memberikan gambaran, tambah Sutrisna, bahwa Hare Krishna adalah ajaran yang dilarang. Saat ini, mereka berdalih belajar Weda dalam Ashram Krisna Balaram, ternyata mereka mengemban ajaran-ajaran yang bertentangan dengan aturan negara. Walau ada pengayoman bagi sampradaya, namun kekuatan Putusan Jaksa Agung ini, tidak dapat terbantahkan.
“Selama ini toleransi Desa Adat sudah luar biasa. Namun malah dimanfaatkan,” tandasnya.