RadarBali.com – Kurang lebih 600 ribu dari 1,8 juta bidang tanah belum bersertifikat di Bali. Hal ini tak sejalan dengan amanat UU No. 5 tahun 1960 (UUPA).
Juga menyimpang dari intruksi Presiden Joko Widodo agar seluruh bidang tanah di Indonesia terdaftar (bersertifikat) pada tahun 2025.
Oleh karena itu, Badan Pertanahan Nasional yang bernaung di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Jumat (28/7) kemarin menggelar Sosialisasi Program Nasional Agraria Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Tahun 2017 di Ruang Rapat Prajasabha Kantor Gubernur Bali.
Tujuannya untuk memantapkan komitmen membebaskan 5.363,66 km2 luas tanah di Bali dari kasus tanah tak bersertifikat pada 2019 mendatang.
Pendaftaran atau sertifikat tanah ini menjadi hal yang mendesak agar pemerintah bisa memberi menjamin kepastian hukum sesuai Pasal 19 ayat 1.
Wakil Gubernur Bali I Ketut Sudikerta selaku pemimpin rapat mengatakan PTSL dilaksanakan untuk mempercepat terwujudnya pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia, khususnya Bali.
Diungkapkannya, setelah 50 tahun lebih (1960-2017) bidang tanah yang terdaftar alias bersertifikat sebanyak 1,2 juta (1.264.964) atau 60,84 persen.
Sudikerta merinci biaya PTSL ini bersumber dari dana APBN (sebesar Rp 209.00 perbidang), pihak ketiga, dan pendampingan. Sosialisasi kemarin digelar untuk menjelaskan dana pendampingan dimaksud.
“Menurut SKN (surat keputusan bersama) tiga menteri disepakati angka Rp 150.000 per bidang. Biaya pendampingan ini dibebankan kepada masing-masing kabupaten/kota se- Bali,” tandasnya.
Kepala Kantor Wilayah BPN Bali, Jaya mengatakan manfaat PTSL bagi Provinsi Bali. “Hasil dari pelaksanaan PTSL adalah basis data pertanahan yang lengkap dan terintegrasi (peta tunggal) dengan data lainnya sehingga akan menunjang pembangunan Provinsi Bali,” tandas Jaya.
Imbuhnya, PTSL juga berdampak positif terhadap pembangunan perekonomian Bali. Hal ini dapat disimak dari aktivitas yang terkait dengan pertanahan pada 2016, yaitu hak atas tanah (HT), Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), dan pajak penghasilan (Pph).
Tercatat HT senilai Rp 154 triliun, BPHTB Rp 340 miliar, dan Pph Rp 301 miliar. “Apabila seluruh bidang tanah di Bali telah bersertifikat, maka nilai tersebut akan jauh lebih tinggi. Tingginya nilai-nilai itu adalah indikator penggerak perekonomian Bali,” jelasnya.
Bagaimana dengan tanah pekarangan desa (PKD) dan tanah ayahan desa (AYDS)? Jaya menjawab hal tersebut telah diatur dalam Perda Provinsi Bali No. 3 tahun 2001.
“Sertifikatnya akan dibuat atas nama desa pakraman masing-masing,” tandasnya. Terkait tanah yang berstatus dalam sengketa, Sudikerta menambahkan akan dicarikan jalan keluar terbaik.
“Tentu masalah-masalah tersebut harus dicatat terlebih dahulu. Kemudian dicarikan jalan keluarnya,” tegasnya.
Sudikerta berharap program pendaftaran tanah sistematis lengkap ini dapat berjalan dengan baik dan didukung oleh seluruh kepala daerah di Bali.
Program ini merupakan hal yang penting dan strategis untuk dokumen daerah yang memiliki kepastian hukum dalam mewujudkan kebenaran atas subyek dan obyek tanah itu sendiri.