DENPASAR – Dari dulu, Bali memang dikenal dengan dengan dunia pariwisata yang menawarkan keindahan alam atau wisata budaya yang kuat.
Namun, Bali ternyata masih memiliki potensi lain, yakni wisata medis. Hal ini dikarenakan Bali didukung oleh sejumlah sumberdaya yang mumpuni.
Sebut saja, ada sebanyak 280 rumah sakit di Bali sudah terakreditasi paripurna, sementara 30 rumah sakit sudah terakreditasi internasional.
Selain itu, Bali sejak peristiwa Bom Bali I dan II hingga sebelum pandemi covid-19 terus membenahi diri, khususnya dalam aspek layanan kesehatan.
Maka tak heran bila banyak warga asing yang bersedia mencoba layanan medis sembari berlibur di Pulau Dewata.
Beragam jenis layanan tentu bisa dilakukan. Seperti layanan kosmetik, baik untuk bedah plastik, face implant, face lift, liposuction hingga yang bersifat non-invasif.
Data menyebut jumlahnya bisa mencapai 60 pasien per bulan dengan pendapatan mencapai Rp 1.2 miliar.
Wacana ini ternyata juga diamini oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Bahkan yang bersangkutan memberikan statement langsung mengenai hal ini.
Dia berharap, masyarakat Indonesia tak perlu lagi keluar negeri jika di Bali sendiri memiliki tempat medis yang layak.
Lalu kabar mencuat, apakah benar yang menjadi investor untuk wisata medis di Bali adalah pihak dari Jepang?
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali dr. Ketut Suarjaya saat dikonfirmasi belum bisa memberikan kepastian. “Itu baru wacana. Kami masih menunggu kepastian,” ujar dr. Suarjaya, Minggu (29/11).
Kabar beredar, perusahaan Jepang yang akan menjadi investor bernama Mitsui Healthcare setelah ditawarkan oleh pemerintah.
Jika dilihat track recordnya, Mitsui memang tak perlu diragukan lagi. Sahamnya di sejumlah rumah sakit besar di Asia Tenggara cukup banyak.