DENPASAR – Angka kekerasan terhadap perempuan di Bali pada tahun 2017 lalu meningkat 75 persen.
Di tahun 2018 ini, kasus pembuangan orok pun cukup tinggi. Setidaknya ada 11 orok yang ditemukan dalam kondisi meninggal dunia dan dibawa ke RS Sanglah.
Hal ini pun menjadi keprihatinan semua pihak di Pulau Dewata, termasuk pihak media. Hal ini terungkap dalam diskusi yang digelar di Kubu Kopi, Denpasar, Selasa sore (31/7).
Wahyu Budi Nugroho, pengajar Sosiolog Universitas Udayana (Unud) ini menerangkan bahwa terkait kasus kehamilan yang tidak diinginkan (KTD), sejatinya bukanlah fenomena baru.
Melainkan telah lama terjadi di negeri ini. “Dulu di era kerajaan, raja selalu mempunyai gundik-gundik, yakni anak perempuan di bawah umur yang dijadikan pelayan seks.
Di era penjajahan Jepang, pengalaman jugun ianfu menyebabkan banyak wanita Indonesia jadi korban KTD, era reformasi 1998 juga ada. Pada era sekarang, pelaporan kasus-kasus KTD pun semakin banyak,” ujarnya.
Penyebabnya pun cukup banyak. Antaranya terjadi relasi yang timpang antara pria dan wanita karena kultur patriarki.
“Para remaja ini tahu, hubungan seks ini dilarang. Hanya hubungan sosial di lingkungan itu menjadi biasa. Seperti saat valentine, ramai-ramai beli kondom.
Padahal, kita tahu, seks itu ditunjukkan untuk membuat keturunan. Sakral. Tapi sekarang karena nafsu,” terangnya.
“Budaya pop yang menampilkan sosok pria playboy seperti Don Juan atau Cassanova pun juga mempunyai andil. Seolah Anda baru menjadi pria kalau sudah berhubungan seks dengan banyak wanita,” terangnya.
Solusi yang ditawarkan atas KTD di sebagian masyarakat ini pun menurut Wahyu cukup aneh. Yakni, korban KTD sekaligus merupakan korban pemerkosaan ini dinikahkan.
Menurutnya, ini bukan solusi. Jika jalan ini yang diambil, artinya sang wanita menjadi korban perkosaan seumur hidupnya.
Selain itu, solusi personal pun juga penting. Yakni seks harus dilakukan secara sadar dan atas kesepakatan bersama.
Selain itu diharapkan ada upaya menyediakan shelter atau tempat menampung para korban KTD untuk memenuhi segala kebutuhan
korban termasuk kebutuhan menutupi rasa malu, konseling dan juga dipersiapkan untuk kembali ke keluarga dan masyarakat.
Pembicara lain, Gusti Ayu Agung Yuli Marhaeni dari P2TP2A faktor meningkatnya kekerasan seksual di Bali disebabkan anak-anak sekarang belum mengetahui persoalan.
“Mereka seharusnya tahu bahwa melakukan tindakan seksual dengan anak di bawah umur itu tindakan kriminal. Apa pun alasannya,” ujarnya dalam diskusi yang digelar Divisi Kemitraan dan Perempuan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, ini.