28.4 C
Jakarta
30 April 2024, 6:04 AM WIB

Politik Pengawasan Berhasil untuk Menentang Gerakan Kritis di Bali

Politik Pengawasan

Sejarah pengawasan terhadap rakyat Bali menggunakan instrumen barisan milisi, telik sandi (mata-mata) terhadap tingkah polah rakyat memiliki rekam jejak panjang. Pecalang salah satunya dianggap sudah menjadi bagian dari kebudayaan Bali sejak zaman kerajaan dengan nama-nama yang berbeda seperti sikep, dolap atau sambangan.

Entah ini diada-adakan, atau dikait-kaitkan, yang jelas pecalang mulai naik daun sejak menjadi Satgas (Satuan Tugas) pengamanan Kongres PDIP pada 1999 (Santikarma, 2004; Suryawan, 2015). Bagi para keluarga penyintas dan survivor Tragedi 1965 di Bali, satuan pecalang membawa ingatan mereka terhadap barisan hitam tameng, pasukan jagal yang membunuh orang Bali yang di-PKI-kan.      

Pecalang dalam pengamanan Kongres PDIP 1999 menunjukkan dengan jelas bagaimana relasi politik, simbol, budaya dan kekuasaan dimanfaatkan dengan baik untuk pencitraan akan Bali. Pecalang menjadi wacana menarik antara relasi politik dan kebudayaan. Ini karena kemudian dalam konteks politik, keberadaannya menjadi satuan politik pengamanan, milisi untuk kepentingan adat, politik dan kekuasaan yang dimunculkan oleh partai politik. 

Pasca-Bom Bali 2002 dan 2005, pecalang mengambil bagian penting dalam fragmen razia, penggerebekan, atau “penertiban“ penduduk pendatang. Aksi sweeping tersebut dirasa penting untuk memulihkan keamanan dan kedamaian Bali pasca-Bom Bali 2002 dan 2005. Masyarakat Bali sungguh gerah dengan begitu banyaknya penduduk yang mengadu nasib ke Bali.

Masyarakat Bali mulai waspada dan siaga dengan pengaruh krama tamiu (saudara tamu), nyame dauh tukad, nak Jawa, yang lambat laun merebut akses ekonomi politik. Masyarakat Bali merasa terancam dengan kepungan para “pendatang” ini dan merasa perlu untuk membentengi diri dengan sikap waspada dan siaga. 

Jauh sebelumnya, belum lekang dalam ingatan, kewaspadaan dan kesiagaan telah lama tumbuh subur di Bali. Masih teringat bagaimana di tahun 1980-an, terjadi pencurian pretima (simbol dewa di pura-pura Bali) yang begitu meresahkan masyarakat Hindu Bali. 

Pura-pura tempat mereka bersembahyang berantakan dan logam emas simbol pretima (Dewa Hindu) yang berada di dalam pura tersebut hilang dicuri. Masyarakat panik. Selain penyelesaian secara ritual, merekapun waspada dan bersiaga, siapa kira-kira yang melakukannya? 

Setelah itu, muncul gerakan untuk mengantisipasi dan mewaspadai orang luar, para pendatang yang datang ke Bali. Politik kecurigaan, kewaspadaan, dan pengawasan terlihat dengan munculnya papan pengumuman di gang-gang kecil di seluruh pelosok Bali; “Pemulung Dilarang Masuk”, atau spanduk “Masuk Daerah Denpasar, Lengkapi Diri Anda dengan Identitas”. Bisa ditangkap, masyarakat mulai saling curiga, saling mewaspadai dan inilah awal dari bagaimana politik kewaspadaan melekat pada diri masyarakat.

Politik pengawasan melekat kuat dalam kebudayaan Bali. Lebih daripada itu, politik pengawasan ini selalu berhasil untuk menentang gerakan-gerakan kritis di Bali. Istilah yang kemudian menjadi senjata sakti untuk merangkul masyarakat Bali: demi keamanan dan ketertiban Bali. Selain itu, menjaga Bali dari kehancuran (yang sayangnya selalu ditimpakan) yang disebabkan pihak “pihak luar“. Oleh sebab itulah gerakan kritis, demonstrasi, dan anarkisme bukanlah perilaku orang Bali. Orang Bali adalah para prajurit yang selalu nindihin (membela) agar Bali tetap ajeg (kuat, kokoh, stabil).  

Mengajegkan Bali bagi orang Bali adalah memperkuat dan memperkokoh budaya Bali. Orang Bali-lah yang memiliki dan menjaga kebudayaan Bali tersebut. Konsep Ajeg ini menjadi obat dahaga di tengah kehausan masyarakat Bali untuk mencari benteng dan pertahanan baru di tengah transformasi sosial yang semakin mendesak.

Benteng ini semakin hari semakin kuat dengan bertemunya korporasi media, negara, politisi, kelompok masyarakat adat, kelompok sipil/milisi/preman di dalamnya. Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang disampaikan haruslah juga Ajeg Hindu. Benteng dan wacana yang bisa lari ke esensialisme dan sudah pasti fundamentalisme agama. Sesuatu yang tidak terhindarkan meskipun dibantah habis-habisan oleh think thank dari kelompok Ajeg Bali sendiri. 

Dengan wacana inilah kemudian melahirkan politik pengawasan bagi orang Bali sendiri. Pecalang menjadi salah satu radar pengawas yang disiapkan untuk mengawasi gerak-gerik orang Bali, apalagi para “pendatang”. 

Pentas yang kita saksikan beberapa hari lalu, saat satuan pecalang bahu-membahu bersama aparratus keamanan negara menjaga demonstrasi mahasiswa dan elemen rakyat, secara tersirat menempatkan budaya (Bali) pada soal ketertiban, stabilitas, keamanan, dan hak milik. Negara bekerja sama dengan “wajah-wajahnya” di tengah masyarakat mendominasi narasi (yang seharusnya) dalam kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara. 

Rambu-rambu diciptakan dan ditentukan mana yang “semestinya” dan yang mana “melanggar”. Tujuannya adalah mendisiplinkan orang Bali agar tampak tertib, penurut, manis dan menjadi pelayan budaya dan pariwisata yang baik. Maka lahirlah manusia Bali yang Sapta Pesonik, lingkungan yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah), agar nantinya dalam postcard pariwisata tampil wajah Bali yang murah senyum, ramah dan sopan santun.

I Ngurah Suryawan, Antropolog dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa. Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).  

1

Politik Pengawasan

Sejarah pengawasan terhadap rakyat Bali menggunakan instrumen barisan milisi, telik sandi (mata-mata) terhadap tingkah polah rakyat memiliki rekam jejak panjang. Pecalang salah satunya dianggap sudah menjadi bagian dari kebudayaan Bali sejak zaman kerajaan dengan nama-nama yang berbeda seperti sikep, dolap atau sambangan.

Entah ini diada-adakan, atau dikait-kaitkan, yang jelas pecalang mulai naik daun sejak menjadi Satgas (Satuan Tugas) pengamanan Kongres PDIP pada 1999 (Santikarma, 2004; Suryawan, 2015). Bagi para keluarga penyintas dan survivor Tragedi 1965 di Bali, satuan pecalang membawa ingatan mereka terhadap barisan hitam tameng, pasukan jagal yang membunuh orang Bali yang di-PKI-kan.      

Pecalang dalam pengamanan Kongres PDIP 1999 menunjukkan dengan jelas bagaimana relasi politik, simbol, budaya dan kekuasaan dimanfaatkan dengan baik untuk pencitraan akan Bali. Pecalang menjadi wacana menarik antara relasi politik dan kebudayaan. Ini karena kemudian dalam konteks politik, keberadaannya menjadi satuan politik pengamanan, milisi untuk kepentingan adat, politik dan kekuasaan yang dimunculkan oleh partai politik. 

Pasca-Bom Bali 2002 dan 2005, pecalang mengambil bagian penting dalam fragmen razia, penggerebekan, atau “penertiban“ penduduk pendatang. Aksi sweeping tersebut dirasa penting untuk memulihkan keamanan dan kedamaian Bali pasca-Bom Bali 2002 dan 2005. Masyarakat Bali sungguh gerah dengan begitu banyaknya penduduk yang mengadu nasib ke Bali.

Masyarakat Bali mulai waspada dan siaga dengan pengaruh krama tamiu (saudara tamu), nyame dauh tukad, nak Jawa, yang lambat laun merebut akses ekonomi politik. Masyarakat Bali merasa terancam dengan kepungan para “pendatang” ini dan merasa perlu untuk membentengi diri dengan sikap waspada dan siaga. 

Jauh sebelumnya, belum lekang dalam ingatan, kewaspadaan dan kesiagaan telah lama tumbuh subur di Bali. Masih teringat bagaimana di tahun 1980-an, terjadi pencurian pretima (simbol dewa di pura-pura Bali) yang begitu meresahkan masyarakat Hindu Bali. 

Pura-pura tempat mereka bersembahyang berantakan dan logam emas simbol pretima (Dewa Hindu) yang berada di dalam pura tersebut hilang dicuri. Masyarakat panik. Selain penyelesaian secara ritual, merekapun waspada dan bersiaga, siapa kira-kira yang melakukannya? 

Setelah itu, muncul gerakan untuk mengantisipasi dan mewaspadai orang luar, para pendatang yang datang ke Bali. Politik kecurigaan, kewaspadaan, dan pengawasan terlihat dengan munculnya papan pengumuman di gang-gang kecil di seluruh pelosok Bali; “Pemulung Dilarang Masuk”, atau spanduk “Masuk Daerah Denpasar, Lengkapi Diri Anda dengan Identitas”. Bisa ditangkap, masyarakat mulai saling curiga, saling mewaspadai dan inilah awal dari bagaimana politik kewaspadaan melekat pada diri masyarakat.

Politik pengawasan melekat kuat dalam kebudayaan Bali. Lebih daripada itu, politik pengawasan ini selalu berhasil untuk menentang gerakan-gerakan kritis di Bali. Istilah yang kemudian menjadi senjata sakti untuk merangkul masyarakat Bali: demi keamanan dan ketertiban Bali. Selain itu, menjaga Bali dari kehancuran (yang sayangnya selalu ditimpakan) yang disebabkan pihak “pihak luar“. Oleh sebab itulah gerakan kritis, demonstrasi, dan anarkisme bukanlah perilaku orang Bali. Orang Bali adalah para prajurit yang selalu nindihin (membela) agar Bali tetap ajeg (kuat, kokoh, stabil).  

Mengajegkan Bali bagi orang Bali adalah memperkuat dan memperkokoh budaya Bali. Orang Bali-lah yang memiliki dan menjaga kebudayaan Bali tersebut. Konsep Ajeg ini menjadi obat dahaga di tengah kehausan masyarakat Bali untuk mencari benteng dan pertahanan baru di tengah transformasi sosial yang semakin mendesak.

Benteng ini semakin hari semakin kuat dengan bertemunya korporasi media, negara, politisi, kelompok masyarakat adat, kelompok sipil/milisi/preman di dalamnya. Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang disampaikan haruslah juga Ajeg Hindu. Benteng dan wacana yang bisa lari ke esensialisme dan sudah pasti fundamentalisme agama. Sesuatu yang tidak terhindarkan meskipun dibantah habis-habisan oleh think thank dari kelompok Ajeg Bali sendiri. 

Dengan wacana inilah kemudian melahirkan politik pengawasan bagi orang Bali sendiri. Pecalang menjadi salah satu radar pengawas yang disiapkan untuk mengawasi gerak-gerik orang Bali, apalagi para “pendatang”. 

Pentas yang kita saksikan beberapa hari lalu, saat satuan pecalang bahu-membahu bersama aparratus keamanan negara menjaga demonstrasi mahasiswa dan elemen rakyat, secara tersirat menempatkan budaya (Bali) pada soal ketertiban, stabilitas, keamanan, dan hak milik. Negara bekerja sama dengan “wajah-wajahnya” di tengah masyarakat mendominasi narasi (yang seharusnya) dalam kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara. 

Rambu-rambu diciptakan dan ditentukan mana yang “semestinya” dan yang mana “melanggar”. Tujuannya adalah mendisiplinkan orang Bali agar tampak tertib, penurut, manis dan menjadi pelayan budaya dan pariwisata yang baik. Maka lahirlah manusia Bali yang Sapta Pesonik, lingkungan yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah), agar nantinya dalam postcard pariwisata tampil wajah Bali yang murah senyum, ramah dan sopan santun.

I Ngurah Suryawan, Antropolog dan Dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan, FISIP Universitas Warmadewa. Peneliti di Warmadewa Research Centre (WaRC).  

1

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/